Rasa Sakit

433 77 2
                                    

Ruangan itu sangat hening, hanya ada suara tetesan infus dan deru napas Yuda yang teramat pelan. Anak laki-laki yang kini terbaring di atas ranjang empuk rumah sakit tersenyum kecil, mengejek dirinya sendiri.

"Gak ada siapa-siapa, Yuda. Apa yang lo harapin?" tanyanya bersambung dengan kekehan tawa menyebalkan.

Tangan Yuda terangkat, anak itu menutup bagian atas wajahnya dengan telapak tangan. Hatinya merindu, dan isak tangis mengalun dengan sendu. Dia masih terbayang semua kalimat-kalimat yang terucap oleh Bu Ren, gurunya dan Yuta saat sekolah dasar.

Yuda paham betul perihal dialah tersangka utama dari kasus ini, kasus dimana Yuta kehilangan sebagian kemampuannya untuk belajar dan mengingat beberapa hal. Tapi ini bukan sepenuhnya salah Yuda, anak itu hanya meminta bayaran atas bantuan untuk kabur dari hukuman kepada Yuta.

Tapi tetap saja dia salah, Yuda menjadi egois hanya karena perilaku yang dia terima lantaran Yuta memiliki banyak kekurangan. Dia melakukan hal keji karena sungguh rasanya sakit saat dijadikan pengganti orang lain hanya karena orang itu tidak mampu, sangat menyayat hati.

"Lo emang bukan pahlawannya, Yuda! Lo bukan pahlawannya!" pekik Yuda keras sembari memukul-mukul kepalanya.

Dokter yang berada di luar ruangan langsung masuk dan berlari, mencoba menahan pergerakan Yuda yang semakin heboh.

"Tenang, Yuda. Saya disini, " ucap laki-laki yang bergelar dokter itu pelan, kedua tangannya memegang bahu Yuda.

Yuda menatap pria itu, sorot mata kosong, penuh penyesalan dia lontarkan jelas kepada netra di depannya. "Gue gak berhasil jadi pahlawannya, gue egois, gue yang bikin dia jadi kayak gini, " ujarnya datar.

Pria itu menarik tubuh Yuda, memeluk anak itu erat. "Gue gak sekuat itu, gue capek disuruh belajar cuma karena Kak Yuta gak bisa jadi kebanggaan Ayah dan Ibu. Gue capek minum banyak obat biar gak ngantuk karena masuk ruangan sempit itu, gue capek banget. Gue capek selalu jadi orang ramah, padahal sama tubuh sendiri aja enggak, "isaknya di pelukan pria itu.

Jikalau boleh jujur Yuda juga tersakiti, lebih sakit dari apa yang dibayangkan orang diluaran sana. Jadwal belajar gila, hukuman di ruangan sempit, tekanan keluarga besar, obat-obatan, pisau kecil yang berada di lacinya, dan juga beribu-ribu lembar tisu yang dia habiskan karena hidungnya tidak berhenti mengeluarkan darah.

Yuda sakit, Yuta juga, semuanya sakit. Tapi kenapa hanya Yuda yang harus pura-pura kuat, kenapa hanya Yuda yang terlihat baik-baik saja, dan hanya kenapa dirinya yang tidak mendapatkan iba.

"Tenang, Yuda. Saya disini, " ujar dokter itu berkali-kali, hingga tanpa sadar Yuda tertidur kembali.

Pria yang akrab dipanggil Sam menidurkan tubuh Yuda kembali, memastikan anak itu mendapat posisi ternyaman. Dia menghembuskan napas panjang, pertanyaannya cukup terjawab dengan tangis dan pengakuan Yuda tadi.

"Ternyata semua ini karena obat dan kelelahan? Dia juga mendapat banyak tekanan, aku harus meminta bantuan psikolog setelah dia cukup pulih. Kamu kuat, Yuda. Dunia memang jahat kepada manusia-manusia kuat seperti kita, " ujarnya sebelum keluar dari ruangan rawat.

Sam berjalan di lorong dengan langkah kecil, dia tersenyum singkat kala melihat rekan kerjanya di ujung lorong. Sam mengangkat tangannya tinggi, membuat lengan jas putihnya turun dan menampilkan lengan yang dihiasi banyak luka gores.

Jarum panjang jam tepat berada di angka delapan. Yuta sudah terbangun sedari satu jam yang lalu, kini anak itu sedang mengunyah bubur ayam hambar. Dia disuapi oleh Sam, karena  anak itu hanya menatap mangkuk bubur tanpa menyentuhnya, membuat Sam gemas bukan main.

"Jangan minum obat anti kantuk terus, Yuta. Kamu itu harus tidur cukup, ya minimal delapan jam, " ucap Sam sembari menyodorkan segelas air putih.

Yuta hanya mengangguk paham. Dia sudah terbiasa meminum obat anti kantuk sedari umur sembilan tahun, Yuta terpaksa membelinya secara online dengan uang jajan karena rasa kantuk susah sekali ditahan. Apalagi sekarang jam belajar malamnya ditambah, dia harus meminum lebih jika tidak ingin tertangkap basah tertidur.

Karena semua hal diatas, Yuta sering bolos kelas dan tidur di gudang sekolah. Ditemani Gefa, Wira, dan Tei yang selalu ikut bolos, sekedar untuk main ponsel atau makan. Sejak sekolah menengah pertama Yuta sedikit memiliki kebebasan, dia bisa bolos kapan saja tanpa takut gurunya melapor saat pembagian rapot.

Tentu saja dia bebas di sekolah, karena sekolahnya kali ini tidak peduli dengan tingkah muridnya. Bolos, perundungan, apapun itu tidaklah penting. Sekolah hanya mementingkan nilai, uang, dan martabat mereka di mata para orang tua murid.

"Kamu barcode pakai apa? Jangan pakai benda berkarat, jika bisa tidak usah lakukan itu lagi." Sam menaruh mangkuk kembali ke atas nakas. "Kalau kamu mau, saya bisa antar kamu konsultasi ke psikolog. Kebetulan saya dekat dengan beliau, jadi tidak perlu memikirkan uang. Gratis untuk, Yuta, " lanjutnya sembari mencubit pucuk hidung anak itu.

Yuta tersenyum kaku, perlakuan Sam sangat asing. Dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari siapapun. Ayah dan Ibu hanya bisa menyuruhnya belajar, teman-teman dan bibi juga segan memberi perhatian pada Yuta karena anak itu selalu saja membuat tameng yang bertuliskan dia kuat.

"Gak perlu, Pak Sam. Aku baik-baik aja kok, " jawab Yuta seraya tersenyum lebar.

Dokter muda itu menatap iba Yuta, tatapan yang tidak pernah Yuta terima sedari dulu. Label kuat, tahan banting terlalu melekat di diri Yuta sehingga iba saja tak pernah dia terima.

"Kamu gak baik-baik saja, Yuta. Kamu cuma berpura-pura, menjadikan sikap burukmu sebagai dinding tebal. Kamu tidak perlu kuat untuk bahagia, Yuta. Kamu hanya perlu menerima semuanya."












Rela, lagi-lagi siapa yang kini harus merela

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now