Semuanya

635 161 17
                                    


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sekolah dasar. Segelintir orang hanya menganggap enam tahun disana hanyalah tempat belajar yang diselingi permainan. Lompat tali, gobak sodor, petak umpet, atau sekedar bermain abc lima dasar di kelas.

Namun, sekolah dasar lebih dari itu. Karena sebenarnya enam tahun disana sama dengan bagaimana kepribadian terbentuk. Diajarkan mandiri, memilih, dan berkonsekuensi.

Seperti yang diketahui, anak-anak sangat mahir dalam meniru perilaku orang sekitar, memiliki alat rekam paling mutakhir di balik bola mata mereka. Dan disinilah anak-anak dipupuk, karena saat mereka sudah melewati angka dua belas tahun, kepribadian akan sulit dirubah.

"Yuda! Perhatikan langkahmu, " tegas Ibu sembari melotot ke arah anak laki-laki yang tersungkur di atas aspal. "Oh Tuhan, ini masih pagi dan aku sudah diberi banyak cobaan." Dia menggulingkan bola mata dan menyambar ponsel dari dalam tas kecil.

Yuda mengusap dengkul pelan, sepertinya ada luka dibalik celana panjang merah itu. Kedua netra itu menatap Ibu yang tengah sibuk menerima telepon, akhirnya Yuda terpaksa bangkit sendiri dan berusaha menahan tangis lantaran takut mengundang amarah Ibu.

"Baik, Pak. Iya saya akan segera kesana, sepuluh menit saya sudah di tempat. Baik, Pak. Saya tutup dulu." Wanita dengan blouse biru tua itu memasukkan ponsel ke dalam tas kecil, menolehkan kepala dan menatap anak bungsunya.

"Masuk kelasmu, langsung duduk rapih dan siapkan semua keperluan di atas meja." Ibu meraih bahu anak berumur delapan tahun itu. "Ingat, Yuda. Tidak boleh ada kesalahan. Ibu menyayangimu."

Kecupan di kedua pipi Yuda mengakhiri sesi antar-jemput di depan gerbang sekolah.

"Kak Yuta dimana? Kok belum sampai?" gumam Yuda sembari memainkan ujung sepatunya. Dia sudah menuruti perintah Ibu, duduk rapih dan tidak buat masalah. Tapi rasa tenang enggan hadir karena kakaknya tidak kunjung masuk kelas.

Bibir merah muda itu mengerucut, pipinya mengembung sempurna. Setelah sepuluh menit melakukan hal di atas, derap langkah cepat mengambil perhatian Yuda. Dia menoleh dan tersenyum lebar saat melihat Yuta datang dengan tampilan acak-acakan.

"Kakak!"

Yuda melambaikan tangannya tinggi-tinggi, menghiraukan teman sekelas yang bingung dengan tingkahnya. Si sulung yang menangkap panggilan Yuda tersenyum manis, menghampiri adiknya dan mengusap lembut surai hitam pekat itu

"Kenapa datangnya telat? Apa mobil Ayah terlalu pelan?"

Si sulung lagi-lagi hanya bisa tersenyum lebar, adiknya selalu saja mengira dia diantar oleh mobil mewah milik Ayah. Tetapi Yuta tak pernah merasakan menaiki mobil itu, dia selalu memakai angkutan umum jika ingin bersekolah.

"Ban mobil Ayah pecah, bunyinya BOMB!" Yuta menampilkan ekspresi kaget yang dibuat-buat, membuat adiknya yang hanya bisa membaca gerakan bibirnya tertawa lepas.

Di rumah besar mereka, tidak ada yang bisa bahasa isyarat. Hanya Yuta, itu pun karena buku yang dibelikan Bibi. Jika tidak ada Bibi, mungkin sampai kini Yuta tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain.

__-__


"Ibu sudah bilang berapa kali, Yuda! Nilai harus di atas sembilan, kenapa ini ada angka delapan!" Ibu menunjuk tulisan bertinta merah di kertas ulangan Yuda. "Mana segala disembunyikan di kolong kasur, kamu kira Ibu ini bodoh?"

Wanita dengan gaun tidur itu menarik kasar tangan Yuda, menggiring anaknya masuk ke ruangan kecil yang berada tepat di samping toilet kamar Yuda.

"Duduk!" Ibu mendorong bahu sempit Yuda, menekannya agar anak itu lekas duduk di atas kursi kayu dengan baik. "Jam belajar Ibu tambah!" ucapnya kasar sembari keluar dan mengunci Yuda sendiri di dalam sana.

Ruangan yang hanya berukuran 3x3 meter itu mendadak sunyi, meja belajar dan rak buku di tiap sisi kanan-kiri juga membisu sedari lama. Yuda termenung beberapa saat, kedua tangannya mengepal erat seakan-akan dia bisa mendapat luka karena itu.

Yuda hanya melakukan kesalahan kecil, nilai bahasa inggris anak kelas tiga itu 88, kurang dua poin untuk mencapai angka sembilan. Jikalau saja Yuda bisa mengerjakan satu soal lagi dengan benar, jikalau saja dia belajar lebih giat lagi kemarin malam. Dan banyak jikalau lainnya, mungkin jam belajarnya tak akan seperti ini.

Jam belajar seorang Yuda Al-hanan dapat dikatakan sedikit ekstrim. Di kelas satu sekolah dasar dia mendapat jam belajar empat jam, dua jam sepulang sekolah dan dua jam setelah mandi sore. Jam belajar akan terus bertambah satu jam seiring bertambahnya tingkatan kelas. Seperti sekarang, di kelas tiga Yuda harus belajar enam jam.

Tetapi, entah kapan dia bisa keluar dari ruang belajar setelah membangkitkan amarah Ibu. Entahlah, mungkin dia akan melewatkan makan malam di dalam sini sendirian. Setidaknya makan.

Berbeda dengan Yuda yang menikmati pusingnya bahasa asing, Yuta Al-hanan malah menikmati dinginnya air bathub.

"Yuta! Kenapa kamu gak pernah turuti apa yang saya bilang?" Ibu meremat surai gelap anak sulungnya, mendorong kepala Yuta menelusup ke dalam bathtub penuh air.

Tubuh Yuta menggelinjang hebat, tangannya mencoba menghalau dorongan Ibu. Tetapi bocah sembilan tahun tidak mampu melawan kekuatan sang Ibu, terlebih-lebih jikalau wanita itu sudah di puncak amarahnya.

Ibu menarik kepala Yuta keluar dari air, menampilkan wajah memerah karena kehabisan napas dan sempat tersedak.

"Anak bodoh! Sialan, mimpi apa aku melahirkan anak sepertimu!" Dia kembali mendorong kepala Yuta, lebih dalam, hingga air pada bathtub berlomba-lomba keluar.

Buk, buk!

Suara keras menarik perhatian Ibu. Wanita itu menoleh, bertanya-tanya siapa yang memukul palu tengah malam begini. Sudah pukul sebelas malam, dan dia yakin jika para tetangga sedang menikmati gulungan selimut hangat bukan berada di kamar mandi seperti dirinya.

"Ibu, Ibu!" teriak Yuda dari balik dinding tebal, suaranya hanya sekedar memantul dan memenuhi ruang belajar, tidak sampai ke telinga sang Ibu yang berada persis di sebelah dinding tebal itu.

"Ibu! Jangan sakiti Kak Yuta!" Dia berteriak heboh, namun teredam dengan suara aliran air yang deras dari tempat sang Ibu. "Ibu!" teriaknya sekali lagi, namun kali ini melemas.

Kepala Yuda tiba-tiba berputar hebat, tubuhnya limbung menabrak rak buku. Dia terjatuh, menyentuh lantai kayu.

"Ibu, jangan apa-apakan Kak Yuta, " lirihnya sembari mengernyit dahi karena merasakan sesuatu dingin mengalir dari hidungnya.

"Aku tidak pilek." Yuda mengusap hidungnya, matan yang mulai mengabur menatap datar jemari penuh noda darah segar.

Ah... sepertinya dia harus menyelamatkan dirinya sendiri, bukan orang lain, bukan juga Yuta yang sekarang tertidur di dalam bathtub.





























Semua tersakiti, dengan porsi masing-masing












Yuda | YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang