Jaket Abu-Abu

824 203 59
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Sendok sepertinya sudah beralih fungsi. Tidak terpakai lagi untuk menyendok makanan, namun digunakan Yuda sebagai mainan. Anak itu tidak berselera makan, semangkuk bubur di hadapannya hanya diaduk-aduk sampai sedikit berair dan encer. Padahal Yuda adalah sekte bubur gak diaduk.

"Ibu tidak suka melihat makanan dimainkan, Yuda. Tuhan marah jika kita tidak bersyukur, " ucap perempuan dengan rambut digerai.

Yuda tak dapat menahan tawa, dia hanya bisa tersenyum miring dan menghembuskan napas kasar. Bersyukur katanya. Apa Yuda tidak salah dengar jika ibunya itu takut Tuhan marah? Oh ayolah, Yuda saja tidak pernah melihat Ibunya ibadah.

"Ibu juga tidak pernah mensyukuri kehadiran kami, jadi aku dan Ibu sama."

Pernyataan Yuda membuat perempuan di sebrangnya membola. Begitu pula Ayah yang tadinya fokus dengan berkas, sekarang melirik anak bungsunya sembari mendorong kacamata yang turun ke pangkal hidung.

"Berjuta kali kita bahas ini, Yuda. Masih ingin berdebat?" Ayah melempar benda di tangannya kasar, bunyi yang dihasilkan oleh berkas dan permukaan meja makan tidak membuat Yuda gentar. Pemuda itu malah semakin mendelik tajam.

"Jangan sok suci, kalian terlalu kotor. Lagipula aku berharap tidak lahir dikeluarga ini. Orang tua tak layak, kakak bisu, dikekang. Lalu apa? Apa aku harus berkorban lagi demi ini semua, demi dia, demi kalian. Aku berangkat!"

Yuda menyambar ranselnya yang berada di kursi sebelah, berjalan cepat meninggalkan meja makan. Sepasang mata di balik dinding menatap sendu, hatinya sedikit terluka dengan perkataan adik kembarnya.

"Maafkan kakak, Yuda. Maaf karena menjadi bisu."

__-__


Kelas benar-benar berisik, sebenarnya hanya dua orang yang sedari tadi terus merocos di deratan kursi paling belakang. Siapa lagi kalau bukan Gefa dan Wira, dua sahabat yang selalu punya alasan untuk adu mulut di tiap harinya.

"Begini, Wira. Pantat itu cuma ada satu bukan dua, kok lo maksa banget itu pantat jadi dua!" pekik Gefa sembari berkacak pinggang.

Wira mengusap wajahnya kasar, dia bertanya-tanya kenapa bisa berteman dengan orang aneh seperti Gefa.

"Iya pantat cuma satu, terserah lo pokoknya." Anak itu melambai-lambaikan tangannya abai, tidak ingin melanjutkan perdebatan yang ternyata menghabiskan waktu kosong pelajaran kedua mereka.

"Kode merah! Kode merah!" teriak anak laki-laki dari luar dan berlari masuk ke dalam kelas. "Dua tiang mendekat!"

Satu kelas langsung heboh. Kumpulan anak perempuan yang bergosip berlari cepat ke tempat semula, sebagian lagi yang sedang memainkan ponsel dengan sigap melempar benda persegi panjang itu ke kolong meja.

Sedangkan Wira mengernyitkan dahi, kedua alisnya menyatu. "Kode merah? Dua tiang? Penyanyi?" dialognya seraya menoleh kanan-kiri.

Buk, Tei memukul tengkuk Wira kesal. "Bodoh! Mana ada penyanyi tukang bully. Lo pada balik ke kursi sendiri sono, jangan ngumpul di meja gue!" usirnya.

Mau tak mau Yuda, Gefa, dan Wira menarik kursi mereka kembali ke tempatnya. Tei kalau marah seperti ibu-ibu yang sedang rebutan cabai di pasar, serem abis. Seketika sunyi, menyisakan suara langkah kaki yang beradu mendekati pintu kelas.

"Selamat siang!" teriak Sabah semangat, Jum'at yang berada di depannya memutar bola mata. Sabah terlalu semangat jika mengunjungi kelas 10 dua, ada calon pacar katanya.

"Siang, Kak, " jawab semua serentak.

Jum'at berdeham, dia berjalan mendekati meja deretan depan paling tengah dan menumpu kedua tangannya di atas meja. Membuat anak laki-laki yang duduk disana menciut layaknya permen gula kapas yang disiram air.

"Kebetulan lusa depan hari ulang tahun gue yang ke 16, dan setiap ulang tahun gue pasti bikin pesta khusus untuk anak satu sekolah. Kalian bisa dateng, ada penampilan Lui juga disana. Sab, bagiin undangannya, " ucap Jum'at sembari keluar dari kelas 10 dua, meninggalkan Sabah yang cengar-cengir melihat gebetannya.

"Apa Yuta mendapat undangan?" Anak laki-laki dengan hidung bangir itu memutar kartu undangan berbentuk persegi panjang. "Kenapa gue jadi mikirin dia, " desah Yuda sembari melempar asal undangan ke atas meja.

"Ada apaan sih, Yud?"

"Sialan!" Tubuh Yuda tersentak hebat karena kemunculan Mila di jendela yang berada di sampingnya.

Anak perempuan cantik bersurai sebahu itu tertawa keras, dia menepuk-nepuk tembok. "Lo kaget, berasa lihat bidadari ya..., " goda Mila sembari mengibas-ibas rambut hitamnya.

Bola mata Yuda berputar malas. "Lo kenapa baru mucul, Mil. Pelajaran petama sama kedua udah selesai lo baru nongol, masuk kok pas jam istirahat, " cecarnya. Mila malah mengerucuti bibir dan mengikuti ucapan Yuda. "Kalau orang ngomong itu di dengerin."

Mila berdecak sebal, dia melirik undangan yang berada di atas meja dan mengambilnya. "Jum'at ultah ke 16, tua banget."

"Dia gak naik kelas, nilainya kosong semua di kelas delapan." Mila mengernyitkan dahi, bingung kenapa Yuda tahu perihal kakak kelas mereka. "Gue kenal semua orang di sekolah ini, Mila."

Hanya perlu satu bulan untuk menjadi terkenal. Siapa yang tidak kenal Yuda Al-Hanan, si kupu-kupu indah yang ramah kepada semua orang. Yuda sangat asik di ajak bermain, bicara, atau bahkan bergurau. Semua orang suka Yuda, bahkan kakak kelas pun tak jarang mengajak Yuda bergabung di meja mereka saat istirahat.

Mila menaikkan bahunya acuh, membalik undangan dan menjerit sejadi-jadinya saat membaca nama Lui disana.

"Lui tampil di pesta Jum'at, gue harus dateng. Tapi gue gak dapat undangan. Gue dateng sama lo ya, Yud. Please, kita kan bff. Best friend forever, " bujuk Mila.

Kepala Yuda menggeleng, kedua tangannya juga bergerak seirama. "Gak, satu undangan satu orang."

"Tapi ditulis disini, satu undangan untuk dua orang. Ayolah, Yud. Hari ini gue bantuin lo bolos deh, ajak yang lain juga. Gue traktir mcd. Deal?" Mila menjulurkan tangannya, dia tersenyum puas saat Yuda menjabat tangannya. "Deal."

__-__


"Gefa sialan! Jangan injek sendal gue!" teriak Wira yang bagian belakang sandalnya di injak oleh si paling muda.

"Jangan berisik, " pekik Tei tertahan.

Lima anak itu kini berjalan mendekati pagar belakang sekolah, melewati semak-semak yang tumbuh liar. Mereka berlima cukup sering bolos bersama. Terutama Mila, anak itu jarang sekali masuk kelas, selama satu bulan bisa dihitung jari. Entahlah apa yang dia lakukan.

"Eh! Yuta!" pekik Mila saat melihat seorang anak laki-laki yang tengah berdiri sendirian.

Rambut dan seragam Yuta basah kuyup, hidungnya sedikit memerah karena disiram satu ember berisi air dan es oleh teman sekelasnya tadi. Anak itu sengaja berdiri di belakang sekolah, berjemur dan berharap bajunya akan kering.

Yuta menolehkan kepala, dia menggosok-gosok hidungnya yang mulai berair. "Mila, Yuda. Kalian sedang apa disini?" ucapnya dengan bahasa isyarat.

"Lebih baik kita cepat pergi, Mila. Lo mau ketahuan satpam keliling?" Yuda memanjat pagar, melompat turun. Diikuti Gefa, Wira, dan Tei. Sedangkan Mila terdiam mengigit bibir, dia tak tega meninggalkan Yuta dalam kondisi seperti ini. "Cepat atau gue tinggal!"

"Tunggu sebentar, Jaenudin!" Dengan cepat Mila melepas jaket abu-abu yang dia ikat di pinggang, melemparnya ke arah Yuta. "Pakai itu. Sampai jumpa, Yuda!" teriaknya sembari memanjat pagar, melompat keluar dan mengejar teman-temannya yang meninggalkannya.





Akhirnya badan saya enakan, kalian jaga kesehatan.

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now