Dua Sisi Koin

176 43 4
                                    

Mempunyai saudara kembar sering dibayangkan sebagai peristiwa yang akan menghadirkan banyak kebahagiaan, begitulah yang ada di dalam angan-angan manusia lain, manusia lain yang tidak pernah merasakan memiliki saudara nan sedari dalam kandungan selalu bersama.

Mungkin sebagian besar anak kembar akan mengalami hal-hal bahagia tersebut, perihal yang dipikirkan oleh manusia lainnya. Tapi tidak sedikit juga yang hanya mengalami mimpi buruk, mimpi yang tidak bisa raib hanya dengan berusaha terbangun dari sebuah tidur lelap.

Yuda dan Yuta adalah salah satu dari sedikit anak kembar yang mengalami mimpi buruk. Lagi-lagi ini bukanlah kesalahan mereka, bukan juga salah Tuhan tentunya, ini hanya salah takdir, dan hanya takdir yang bisa disalahkan saat ini. Karena Yuda maupun Yuta juga sudah lelah menyalahkan diri mereka sendiri, penat dengan tingkah orang tuanya yang sudah jelas karena didikan dari nenek dan kakek mereka. Dan untuk menyalahkan Tuhan, rasanya akan sangat kurang ajar bukan?

Pada intinya, si kembar hanya bisa bergumul dengan isi kepala mereka sendiri, menyalahkan takdir yang telah dituliskan untuk mereka. Walau Tuhan-lah yang menentukan takdir seseorang, namun tetap saja itu bukanlah salah Tuhan, itu tetap salah takdir. Dan lagi pula semua takdir yang diberikan hanyalah sebuah awal kisah, orientasi, kita sebagai manusia bisa mengubahnya dengan banyak cara. Tetapi Yuda dan Yuta tidak tahu caranya, atau mungkin belum.

Ruangan gelap bukanlah hal yang menakutkan untuk Yuta, ruangan gelap dan pengap sangatlah akrab dengan anak laki-laki yang kini menginjak umur empat belas tahun itu. Terlalu akrab hingga rasa takut pun tidak akan menghampirinya, setidaknya disini dirinya tidak begitu kedinginan seperti di kunci dalam kamar mandi, setidaknya disini dirinya tidak begitu kotor seperti dipukuli di atas tanah gembur taman belakang.

Yuta memejamkan matanya, air mata mulai jatuh, membasahi pipi dan juga lengan bajunya yang dipakai untuk mengusap wajahnya. Anak laki-laki itu benci dirinya yang lemah, tak berdaya, tidak bisa melawan kedua orang tuanya yang naas sangat dirinya sayangi. Yuta amat ingin membuat ibunya tersenyum kepadanya, dia ingin ayahnya mengusap pucuk kepalanya dan mengatakan jikalau Yuta adalah anak yang pintar dan membanggakan, anak itu ingin semua hal yang didapatkan Yuda.

Terkesan jahat ya? Iri hati kepada adik sendiri, saudara sedarah. Tapi memang begitulah adanya, Yuta selalu menginginkan apa yang didapatkan oleh adiknya, ingin sekali lantaran dirinya tidak pernah mendapatkan itu.

Kreit, pintu ruangan itu dibuka perlahan, Yuta yang mendengar suara pelan itu lantas menolehkan kepalanya. Seketika matanya membola, dirinya langsung bangkit dari duduknya dan berdiri menghadap seseorang yang masuk ke dalam ruangan dan lantas menutup kembali pintu, membuat ruangan kembali menjadi sangat gelap, amat sangat.

"Yuda dimana?" tanyanya tanpa suara, lantas dirinya kembali duduk dan mulai menepuk-nepuk lantai ruangan yang kotor agar adiknya mengetahui dimana kehadirannya.

Yuda yang mendengar itu dengan sangat jelas lantaran ruangan yang amat sepi menutup mulutnya, entah kenapa dirinya menjadi cengeng seperti ini, dan entah kenapa pula dirinya menjadi begitu nekat hingga mengambil kunci cadangan yang berada di kamar ibunya hanya untuk masuk ke dalam ruangan gelap dan pengap ini.

Anak laki-laki yang tengah menitihkan air mata itu lantas berjalan mendekati arah suara, duduk tepat di atas lantai yang ditepuk-tepuk oleh kakaknya. Yuta yang sadar akan kehadiran adiknya langsung saja menjulurkan tangan untuk meraba-raba adiknya, dia menarik tangan Yuda dan membuat telapan tangan adiknya itu menengadah.

"Kenapa kesini? Disini dingin, kamu bisa masuk angin." Yuta menuliskan kalimat itu di atas telapak tangan Yuda, membuatnya dengan goresan jemari telunjuknya.

Apa yang dilakukan Yuta membuat air mata pemuda dihadapannya makin bercucuran, sungguh Yuda saat ini memang hanya ingin menangis sepertinya, dirinya tidak berhenti menangis. Namun ego yang dimiliki seorang Yuda Al-hanan adalah utama, lihat bagaimana dia berusaha untuk tidak menitihkan air mata dan juga memastikan kakaknya tidak akan mendengar suaranya yang bergetar.

"Hanya ingin, aku juga tidak lama jadi jangan berbahagia, " ucap Yuda dengan suara yang sama seperti biasanya, tidak bergetar, atau bahkan mengeluarkan sebuah ringis.

Yuta yang mendengar itu lantas terkekeh pelan, tanpa suara, namun getaran tubuh Yuta dapat dirasakan oleh adiknya lantaran anak itu masih menggenggam telapak tangan adiknya. "Aku tau itu kok, " tulis Yuta di atas telapak tangan Yuda. "Mau bercerita atau diceritakan?" tanya Yuta pada Yuda dengan cara yang sama seperti sebelumnya.

Apa sekarang adalah waktu yang tepat untuk menggunakan kalimat itu? Kalimat ynag jika dituliskan akan seperti ini, lagu lama. Ya benar, lagu lama, lagu yang sudah diputar waktu itu, di masa lalu secara berulang-ulang hingga melekat di dalam memori. Saat si kembar kecil, Yuta akan selalu bertanya perihal mau bercerita atau diceritakan, pertanyaan itu terus saja muncul ketika Yuta mempunyai waktu untuk berbincang dengan Yuda.

"Diceritakan, " jawab Yuda, jawaban yang entah kenapa sepertinya asing sekali keluar dari kedua bilah bibirnya.

Dulu, dulu sekali, Yuda selalu menjawab jikalau dirinyalah yang ingin bercerita. Yuda kecil yang sungguh sangat bawel itu tidak pernah membiarkan kakaknya bercerita, diceritakan rasanya sangat amatlah jarang, hingga hari ini dirinya mendapatkan kesempatan yang tidak pernah dirinya ambil di masa lalu.

"Susah kalau bercerita disini bukan?" tanya Yuta dengan menuliskan pertanyaan itu di atas telapak tangan adiknya. 

"Lakukan saja, kita punya banyak waktu. Ayah tidak akan pulang malam ini, " ucap Yuda dengan pelan, dirinya tidak ingin membuat sang ibu yang sudah tertidur lelap di kamarnya terbangun hanya karena mulutnya yang tidak bisa dikontrol. "Ceritakan masa depan, " lanjut Yuda.

Yuta menganggukkan kepalanya, dirinya selalu semangat jikalau disuruh menceritakan masa depan, mungkin itu karena dirinya tidak mempunyai banyak kesempatan untuk membahasnya, bahkan Yuta tidak yakin dirinya mempunyai kesempatan untuk menikmati masa depan.

"Aku ingin masuk ke SMA Negeri ternama, aku sangat ingin bersekolah disana. Walau itu hanya mimpi, tidak bisa kugapai tentunya, tapi aku ingin mempunyai kenangan disana. Rasanya, jikalau di masa depan aku bersekolah disana, akan sangat bahagia. Ibu dan ayah juga akan bangga dan mulai melihatku." Yuta menghela napasnya pelan, hembusan itu tentu saja dapat dirasakan oleh Yuda yang duduk di depan kakaknya.

"Tapi aku adalah orang paling bodoh di dunia, idiot mungkin. Aku tidak sepertimu, Yuda. Bahkan akan tidak bisa membaca dengan waktu yang lama, aku juga tidak bisa mengingat materi pelajaran yang sudah aku baca dan coba pahami. Bukankah aku idiot?"

Pertanyaan itu membuat tubuh Yuda menegang, bibir anak laki-laki itu bergetar begitu hebat, kenangan lama yang dirinya coba kubur kembali teringat. Dia adalah masalah disini, Yuda lah yang menjadi sebab semua masalah yang dihadapi oleh kakaknya, dirinya yang membuat Yuta tidak bisa membaca dengan waktu yang lama, Yuda yang menghadiahkan predikat idiot kepada kakaknya sendiri. 

"Maafkan aku, " ucap Yuda tanpa suara, dirinya tidak memiliki keberanian untung mengutarakan itu, dia tidak memiliki keberanian untuk mengakui kesalahannya dan membiarkan Yuta mengingat kejadian yang terjadi di masa lalu.




















Lama tak sua, lama juga tak saling sapa. Jadi, selamat malam tuan dan puan. Semoga cerita ini masih sanggup menemani imajinasi kalian.

Yuda | YutaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora