Kelas Delapan

622 167 47
                                    

"Kenapa hanya aku yang dirundung?"

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.


"Kenapa hanya aku yang dirundung?"

Ah... pertanyaan itu lagi. Bahkan jika buku harian di atas meja belajar bisa berbicara, mungkin dia akan protes dengan kalimat yang selalu saja Yuta tulis disetiap lembar. Terlalu banyak, terlalu penuh karena kalimat itu.

Anak laki-laki itu sungguh bingung, rasa penasaran menembak hatinya membabi buta. Kenapa hanya dia yang dirundung, kenapa hanya Yuta yang tasnya dibuang ke tempat sampah dan dipermalukan di kantin dengan cara tubuh kecil itu dibanjiri dengan semangkuk panas kuah bakso.

Kenapa Yuda tidak?

Mereka kembar, serupa secara fisik. Namun di mata orang-orang itu, Yuda dan Yuta adalah sosok yang berbandik terbalik. Siapapun bisa melihat, sampai guru-guru menilai begitu.

Yuda Al-hanan, tampan rupawan dan tentu saja hartawan. Dia juga pintar dalam berbagai bidang, pelajaran umum dan kemampuan dalam berolahraga dapat diraih dengan nilai sempurna. Yuda juga gampang bergaul, cukup berbincang sekali dengannya, kalian akan mencari-cari Yuda si pencair suasana dan jenaka.

Sedangkan Yuta. Dia hanyalah seonggok kaleng kosong yang pantas dibuang, ditendang oleh pejalan kaki yang pura-pura tak lihat. Yuta sadar bahwa dia tidak memiliki pakaian bagus seperti yang adiknya pakai, dia juga tidak mempunyai bakat dan otak cemerlang.

Yuta hanyalah Yuta, seorang anak biasa yang penuh dengan senyuman manis. Tapi, apakah senyumnya dapat membayar iba orang-orang yang memandangnya sebelah mata. Apa dia bisa menjual ulasan yang dibuat hingga matanya menyipit, dan menyerahkan uang itu agar semua dapat menganggap Yuta sebagai manusia pada umumnya.

Bisu bukanlah penyakit menular, mereka tidak perlu menarik tangan anak-anak mereka saat Yuta lewat. Mereka tidak perlu berjaga jarak dan memberi makian seakan-akan Yuta akan memberikan virus bisu, dan membuat satu dunia sunyi kerontang.

Sungguh, teman-teman sekolah juga tidak perlu menaruh lem di kursi Yuta, melempar sampah ke wajah anak itu, dan menguncinya di kamar mandi hanya karena tidak mau Yuta masuk ke dalam kelas untuk belajar. Demi Tuhan, tidak perlu.

Yuta berpikir jika wajahnya terlalu menjijikan untuk dilihat, hingga semua harus membuang muka. Atau badan Yuta bau, sampai-sampai mereka menghindar.

Bukan, bukan karena wajah atau penampilannya. Namun, mereka berlaku seperti itu karena kekurangan Yuta. Tidak bisa berbicara dianggap sebagai hal aneh, penyakit, pembawa sial. Mereka berpendapat jika yang tidak bisa bicara adalah orang berderajat rendah.

Padahal semua sama di depan Tuhan, tidak ada yang lebih baik karena paras cantik atau akan masuk surga karena kekayaan yang berlimpah.

Yuta menutup buku hariannya, meninggalkan meja belajar dan berbaring di ranjang keras. Jemarinya mengusap seprai biru lusuh itu perlahan, meremat sembari terisak tanpa suara.

"Bahkan untuk tempat tidur, Ibu dan Ayah tidak membiarkan aku mendapatkan apa yang Yuda dapat."

Ujian semester ganjil sudah terlewat begitu saja. Tidak terasa anak laki-laki itu mampu bertahan satu tahun penuh di kelas satu, dan sekarang sudah enam bulan di kelas dua. Dia tetap duduk dengan tenang di bangkunya walau makian memenuhi telinga.

"Bocah goblok kenapa bisa sekolah disini? Nyogok ya lo!" pekik Hari yang sialnya menjadi teman sekelas Yuta lagi di kelas dua.

Semua penonton tertawa keras, satu-dua melempar gumpalan kertas ke arah Yuta.

"Tapi gak mungkin nyogok. Dia kan miskin, anak buangan, mana mungkin punya uang, " ledek Sabah yang melewati kelas 8-3. Dia sempat-sempatnya melontarkan kalimat walau sedang membawa tumpukan buku yang dibutuhkan anak kelas 9. "Mati aja sana, orang tua lo aja gak terima anak bisu!" teriaknya sembari lanjut berjalan.

Tawa semakin besar, menggema di kepala hingga Yuta terpaksa menunduk dalam. Bunyi pintu terbuka membuat seisi kelas diam, sunyi melanda hanya karena Pak Seta masuk dan duduk di kursinya.

Pak Seta menghela napas berat, menjadi wali dari kelas 8-3 cukup memberi efek samping yang berat. Kepala Pak Seta sering berdenyut, karena sungguh anak-anak di tingkat dua memang merepotkan.

"Seperti biasa, rapot semester satu akan Bapak langsung serahkan ke kalian. Yang Bapak panggil maju ke depan, dan kalau sudah dapat langsung pulang. Hari! Bawakan kursi kesini, taruh di depan meja Bapak!"

Setelah menunggu dua puluh menit, Yuta akhirnya dipanggil. Anak itu lantas berjalan ke arah meja guru, duduk di depan Pak Seta yang meremat surai.

"Jujur saya bingung kenapa nilai kamu bisa seburuk ini. Tidak pernah ada peningkatan. Saya dengar Bu Ren memberi kamu pelajaran tambahan, tapi kenapa tetap seperti ini." Pria itu membuka rapot Yuta, memperlihatkan rapot yang banyak dihiasi nilai merah.

"Mungkin di kelas satu kamu diselamatkan oleh Bu Ren, tapi kali ini saya tidak janji kamu bisa naik kelas jika nilaimu masih seperti ini." Pak Seta menutup rapot, menyerahkan benda itu pada Yuta.

"Berusahalah, Yuta. Sekolah bukan tempat main-main."

Perkataan pria berkepala tiga itu menusuk tepat dia hati Yuta, mencabik-cabik hingga mati rasa. Mata Yuta bergetar, dia berdiri, membungkukkan badan dan keluar dari ruang kelas dengan air mata yang mulai membasahi pipi.

Bermain? Sejak kapan Yuta melakukan itu, dia bahkan tidak pernah mempunyai waktu. Setiap hari dia akan duduk di bangkunya dan menatap buku, mencoba membaca namun itu sulit.

Yuta mengalami kesulitan dalam membaca sebuah kata atau kalimat, deretan huruf akan terlihat bercampur-baur dimatanya. Dia membutuhkan waktu dan proses yang sulit untuk membaca dengan benar.

Selain kesulitan membaca, Yuta juga buruk dalam menghafal sesuatu. Orang normal mungkin bisa menghafal satu hingga dua baris kalimat dengan mudah, namun itu tidak berlaku untuk Yuta. Anak laki-laki itu juga tidak bisa memecahkan soal matematika, angka-angka itu adalah siksaan baginya.

Dia mulai merasakan semua kesulitan itu di masa SMP, sepertinya saat SD kebodohannya tidak separah ini.

__-__


"Akh, " ringis Yuta saat gesper hitam milik Ayah menyentuh permukaan kulit punggungnya yang sudah dihiasi oleh luka dan darah mengering.

Amarah pria itu tidak surut, lima belas menit mencambuk punggung putih pucat anak sulungnya tidak menghilangkan kemarahannya terhadap nilai merah di rapot Yuta.

"Cukup, cukup, cukup, " lirih Yuta sembari mencoba menahan bobot tubuhnya yang terduduk di lantai, dia tidak ingin membuat Ayah semakin marah dengan acara terjatuh tengkurap.

"Sialan! Aku tidak pernah mempunyai anak bodoh sepertimu, mati saja kau!" teriaknya lantang, menggema hingga orang-orang di luar kamar Yuta bisa mendengar suara Ayah.








Apakah orang tuamu ringan tangan?

Yuda | YutaOnde histórias criam vida. Descubra agora