Salah Masuk

914 220 43
                                    

Oups ! Cette image n'est pas conforme à nos directives de contenu. Afin de continuer la publication, veuillez la retirer ou télécharger une autre image.


Tangan Gefa bergetar, tubuhnya terperosok jatuh ke lantai dingin. Kedua kakinya menendang-nendang, tubuh itu mundur hingga punggung menyatu dengan dinding. Seseorang yang masuk ke area kamar mandi mengernyit dahi melihat tingkat Gefa, dia mencoba mengulurkan tangan. Tetapi Gefa tidak meraihnya, memilih menggunakan tangan untuk menutup kedua telinga.

"Lo harusnya gak sekolah disini! Manusia cacat kayak lo harusnya gak boleh hidup!" teriakan itu membuat Johnny terkejut bukan main, lantas berlari masuk ke bilik dimana Jum'at sedang mendorong kepala Yuta ke dalam toilet dan Sabah hanya melihatnya sembari bersandar pada dinding bilik.

"Apa-apaan kalian!" Johnny menarik kerah belakang kemeja kakak kelasnya, mencoba menghentikan tindakan tak pantas yang dilakukan Jum'at Nuraga. "Sadar woi! Lo bisa bunuh anak orang!" Johnny melempar tubuh itu pelan, menghampiri Yuta yang masih menaruh kepala di toilet.

Sabah berjalan keluar dari toilet, kakinya menendang perut Johnny yang terduduk membantu adik kelasnya. "Pengganggu!" Dia mendekati Jum'at, menarik lengan sahabatnya untuk berdiri dan meninggalkan kamar mandi.

"Yuta? Lo bisa dengar gue?" Suara anak itu melembut, membuat Yuta yang sudah setengah terpejam pun tersenyum. Ini kali pertama namanya dipanggil dengan sangat lembut oleh teman sebayanya, biasanya Yuta hanya mendapat teriakan.

"Jangan tidur dulu, Yut, " ucapnya sembari menggendong tubuh kecil itu di punggungnya.

Saat berjalan keluar mata tajam Johnny bertabrakan dengan milik Yuda yang juga menggendong seseorang, yaitu Gefa. "Lo selalu bantu temen lo, tapi lo gak pernah lihat Yuta barang sekali pun."

"Gefa butuh gue!" pekik Yuda marah, dia hampir menerjang Johnny jika saja Tei tidak menepuk bahunya.

"Ya, dia butuh lo. Tapi bukan berarti Yuta gak butuh lo." Johnny berjalan keluar, dia tak tahan melihat kebodohan Yuda yang sama saja seperti waktu sekolah dasar dulu.

Yuta melihat adik kembarnya sekejap, lalu membuang muka karena air mata kembali turun. "Aku selalu berharap berada di posisi Gefa. Selalu didekap Yuda, selalu dimanja Yuda, dan selalu melihat malaikatku itu tersenyum."

__-__


Ospek hari ketiga ditiadakan karena masalah Jum'at yang hampir melenyapkan nyawa anak baru. Kabar itu merambat dengan cepat, namun juga cepat teredam karena papa Jum'at menutup semua.

Tungkai kurus milik anak bersurai gelap berjalan cepat, sesekali melompat kecil karena terlalu senang. Yuta menarik tali ransel, kedua bahunya bergoyang-goyang sembari memasuki ruang kelas 7C.

Senyumnya makin mengembang kala kelas kosong melompong, dia langsung sibuk memilih kursi. Dan tentu saja Yuta memilih tempat di samping jendela, pemandangan koridor dan langit adalah hiburan paling tepat kala bosan.

Bocah itu sengaja berangkat lebih pagi walau kepalanya masih terasa sakit, dia bahkan berbohong kepada Pak Bahari saat ditanya kenapa ada memar di bagian dahinya. Tapi tak apa, semua sakit hilang hanya karena pagi yang dia kira begitu damai. Namun nyatanya, tidak.

"Masa kita sekelas sama si bisu sih!" dumal salah satu anak perempuan yang baru aja memasuki kelas, teman-teman yang berada di samping kiri dan kanannya ikut menjawab dumal itu dengan hinaan. "Apa gue harus bilang ke papa biar itu manusia cacat dipindahin?"

Kepala Yuta tertunduk, buku dengan sampul coklat lebih menarik daripada ketiga anak perempuan cantik di seberang sana. "Pagi-pagi masa udah disambut sama orang kayak lo!" pekik anak laki-laki dengan rambut coklat sembari menyambar buku Yuta.

Mata Yuta melotot, tangannya terangkat berniat mengambil buku yang diangkat tinggi. "Jangan diambil, itu buku dari Pak Bahari!" teriaknya tanpa suara.

Anak laki-laki yang Yuta tahu bernama Hari mengernyitkan dahi, mata bulatnya menyipit. "Lo ngomong apaan? Gue gak denger." Hari tertawa keras, diikuti murid lain yang memang sudah memenuhi ruang kelas.

Bruk

Suara bantingan pintu mampu mengambil atensi semua, puluhan pasang mata lantas melihat Johnny yang berdiri di depan pintu. "Ngapain lo pada ngeliatin gue? Duduk, " ucapnya dengan suara berat sembari berjalan mendekati kursi yang tersisa.

Johnny tidak perlu berlaku berlebihan, wajah datarnya saja sudah bisa membuat orang berlari ketar-ketir lantaran takut. Ditambah gelar pahlawan karena menjadi satu-satunya murid yang berani melawan Jum'at dan Sabah, semua menjadi segan karena itu.

Seorang wanita dengan buku di tangannya masuk ke dalam kelas, memberi salam dan menyapa murid melalui absen. "Sekali lagi Ibu tekankan. Ibu adalah guru bahasa Indonesia, kalian bisa panggil saya Ibu Ren. Mari kita mulai pem, -"

Ucapan Bu ren terhenti sebab seorang anak perempuan menerobos masuk dan berlari ke arahnya. "Aduh... punten ini mah, Bu. Saya minta maaf sedalam-dalamnya karena terlambat di hari pertama, " ucapnya sembari mengatur napas.

"Mila?" tanya Yuta pelan. "Kenapa dia disini? Aku tidak melihat namanya di absen depan pintu."

"Ceritanya panjang, Bu. Ban mobil saya kempes di tengah jalan, terus akhirnya saya naik ojek. Dan ternyata, Bu. Ada kejadian tragis menimpa tukang ojeknya, " ujar Mila dengan dramatis, dia menutup mulutnya menggunakan tangan dan pura-pura menangis. "Ban motor ojeknya juga kempes, Bu."

Mila mengusap sudut mata walau tidak ada apa-apa disana, sedangkan Yuta yang melihat akting ala sinetron itu terkekeh. "Saya sudah melewati gunung, menyebrangi lembah. Bahkan saya udah mengumpulkan tujuh bola dragon ball, Bu. Terima saya di kelas ini, Bu. Saya janji tidak akan terlambat lagi."

Bu Ren tersenyum kaku, dia melepaskan tangan Mila yang menggenggam tangannya. "Tapi murid di kelas ini sudah hadir semua, seperti kamu salah kelas."

Mulut Mila terbuka lebar, tubuhnya membeku. "Ha? Gimana, Bu?"















Saya gak yakin mau lanjut

Yuda | YutaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant