Tingkat Tiga

278 52 10
                                    

Sebanyak apapun buku yang Yuta baca, sekeras apapun dia berusaha, dan sesabar apapun dia menghadapi keadaan. Tidak ada satupun hasil yang bisa dia raih, tidak ada peringkat bagus, tidak ada kemenangan, dan tidak akan ada rasa iba pada diri teman-teman sekolah untuk berhenti merundung Yuta.

Kadang anak itu lelah, bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Mengapa hanya dirinya yang mendapatkan semua hal tidak mengenakan ini, apakah ini semua karena dosa-dosanya di kehidupan sebelumnya, atau karena dia tidak lagi mengingat Tuhannya?

Keluarga Al-hanan, seperti namanya, semua yang berada di dalam lingkup keluarga besar itu adalah penganut agama islam. Begitu pula dengan Yuta, Yuda, dan kedua orang tua mereka. Namun, siapa yang peduli dengan kenyataannya bahwa Al-hanan tidak seagamis seperti yang dipikirkan orang-orang diluar sana.

Persaingan tiap kepala, saling menjatuhkan, memakan riba, memfitnah satu sama lain. Masih banyak lagi prilaku busuk di dalam sana, membuat agama hanya menjadi identitas di kartu tanda penduduk, mengesampingkan fakta bahwasannya semua kejayaan yang dimiliki mereka kini adalah pemberiaan Tuhan.

Sedari kecil anak kembar itu tidak pernah diajarkan perihal agama, mengenal Tuhan pun hanya saat ada pelajaran agama di sekolah. Apakah Yuta pernah ibadah? Jawabannya adalah pernah, itu hal yang paling menenangkan. Tapi makin banyak pukulan yang dia dapat, makin besar pula rasa dendam pada Tuhannya. 

Semua kekurangan, semua pukulan, semua kebodohan, semua itu adalah salah Tuhan bagi Yuta. Dia selalu merasa sia-sia, merasa Tuhan tak adil. Hati kecilnya terkadang memikirkan bagaimana jika dia kembali taat, namun semua kandas karena rasa sakit menyelimutinya.

"Nyalahin Gusti Allah teu aya gunanya, Yuta, " (Menyalahkan Allah tidak ada gunanya, Yuta) ucap Pak Bahari, matanya melirik ke arah spion dalam angkot untuk melihat Yuta menggunakan bahasa isyaratnya.

"Tapi Allah gak pernah kabulin doa Yuta, Pak. Allah cuma nambah sedih dan sakit, jadi itu semua salah Allah kan? Dia pemilik takdir, Pak, " jawab Yuta dengan raut wajah sendu, melihat itu Pak bahari menghela napas panjang.

"Ujian nu Gusti Allah kasih pastina sesuai kemampuan hambanya, buktina Yuta bertahan sampai sekarang. Jadi, ulah nyalahkeun Gusti Allah ya, Bageur." (Ujian yang Allah beri pasti sesuai kemampuan hambanya, buktinya Yuta bertahan sampai sekarang. Jadi, jangan menyalahkan Allah ya, Anak baik)

Kira-kira begitulah obrolan yang sering terjadi di dalam angkot, sampai sekarang pun Pak Bahari terus menyakinkan Yuta untuk kembali pada Tuhannya. Entahlah, biasanya Yuta akan menganggap perkataan Pak Bahari angin lalu saja, namun kini dia tergugu di depan musholla sekolah seraya memikirkan perkataan pria berumur kepala tiga itu.

Yuta mengusap wajahnya kasar, berjalan pelan ke arah tempat wudhu dan memasuki musholla yang kosong melompong. Ini pertama kali Yuta berdiri di dalam musholla sekolahnya setelah dua tahun bersekolah disini, dia sudah kelas akhir sekarang.

Belum apa-apa Yuta sudah menitihkan air mata, pipinya basah. "Apa aku masih boleh sholat setelah meninggalkannya bertahun-tahun?" tanyanya tanpa suara. Setelah menangis beberapa menit, Yuta memantapkan diri untuk menunaikan sholat dzuhur.

"Allahuakbar, " ucapnya dengan hati yang bergetar, darahnya berdesis, kenangan pahit yang membuat dirinya meninggalkan Tuhannya tiba-tiba saja terputar. Yuta kembali menenangkan hatinya, mengkosongkan pikirannya dari hal dunia. Hanya ada dirinya yang bersujud, menangis bisu, meminta pengampunan.

Ini adalah sholat paling berat yang pernah Yuta lakukan, dia tidak bisa menahan tangisnya walau kini sudah berhasil menyelesaikan sholat. Hatinya sesak, ada rasa lega juga disana. Campur aduk, namun penyesalan adalah yang terbesar. 

"Maafkan aku yang selalu menyalahkan-Mu, maaf karena pernah berpikir jika Engkau adalah yang terjahat dalam hidupku. Maafkan aku Ya Rabb." Yuta terus meneteskan air mata, hidungnya berair, sampai-sampai seseorang diluar musholla yang tengah bersandar pada pohon besar menatapnya iba.

"Dia udah ketemu jalannya lagi, " gumam orang yang bersandar itu pelan, dia menyisir rambut tebalnya kebelakang.

"Lo kapan?" Pertanyaan yang mampu membuat orang itu berdecih, melempar tatapan jengah pada anak laki-laki dengan kacamata tanpa lensa. "Ayolah, lo dikit lagi remaja legal. Masa mau buat KTP tapi nanti bingung mau nulis agama apa, gak lucu anjir!" sindirnya seraya merangkul temannya untuk kembali ke kelas lantaran jam istirahat telah usai.

Kini Yuta kembali termenung, di depannya ada secarik kertas berisi nilai tryout. Anak kelas tiga memang sedang menghadapi banyak sekali ujian, dan itu sangat berat menurut Yuta. Anak laki-laki itu tidak pernah berhasil dalam pelajaran apapun sebelumnya, dan dia yakin nilai tryout di atas meja belajar kecilnya sekarang juga tidak berhasil.

Sedangkan Yuda, anak itu malah melipat-lipat kertas hasil tryout, merubahnya menjadi kapal terbang dan meniup-niup pucuk kapal. "Syung..., " gumamnya meniru suara mesin kapal terbang seraya melempar benda itu penuh tenaga.

Bruk! Tubuh Yuda tersentak kala suara pintu kamar dibuka kasar, dia memejamkan mata sesaat kala tau pelaku yang hampir merusak pintu tidak bersalah itu adalah ibunya. Yuda menatap jengah ke arah wanita dengan blouse hitam dan celana bahan berwarna putih tulang.

"Ibu mendapat laporan nilai tryoutmu bukanlah yang tertinggi, Yuda! Apa kamu sudah ketularan bodoh kakakmu itu!" teriak Mira marah seraya menunjuk wajah anak bungsunya dengan telunjuk. "Kamu harapan keluarga kita, Yuda. Apa kamu mau Ibu diinjak-injak oleh saudara-saudara ayahmu?"

Yuda menatap datar wajah merah sang ibu. "Lalu, jika ibu yang diinjak-injak oleh anggota keluarga Al-hanan, apa aku peduli?" Anak laki-laki itu menggeleng pelan, seringai mewarnai raut wajahnya yang dingin. "Aku tidak peduli itu, Bu."

Wanita itu menatap tak percaya, kemana Yuda yang dulu penurut, kemana Yuda yang selalu mengatakan iya saat Mira meminta dia memperbaiki nilai, kemana Yuda yang selalu meminta maaf kala nilainya menurun.

"Yuda, masuk ke ruanganmu!" pekik Mira keras, wajahnya benar-benar memerah sekarang. Dia berjalan mendekati Yuda kala anak itu hanya diam menatapnya, menarik tangan kanan Yuda. Tapi sayang sekali, Yuda anak bungsunya sudah bertambah besar, bertambah tinggi, bertambah kuat.

Mira yang tidak bisa menarik Yuda, akhirnya memilih untuk melepas dan menyerah. Wanita itu keluar kamar Yuda dengan kaki yang dihentak-hentak, berjalan memasuki kamar Yuta, mencari pelampiasan. MIra membuka kamar anak sulungnya kasar, lebih keras dibandingkan dia membuka kamar si bungsu.

Tanpa pikir panjang Mira langsung menarik kursi yang diduduki Yuta, membuat nya jatuh ke belakang. Anak itu memegang bagian belakang kepalanya yang menghantam lantai, dia meringis bisu seraya tak sengaja menitihkan air mata lantaran rasa sakit yang membuatnya pening.

Mira merampas secarik kertas di atas meja belajar si sulung, mendengkus kasar dan menundukkan tubuhnya. "Nilai rata-rata empat, nilai apa itu, Yuta? Bahkan dengan nominal segitu saja, kamu tidak akan mampu membeli sebungkus roti di minimarket!" teriaknya di depan wajah Yuta yang masih meringis menahan sakit.

Jemari Mira menyisir surai gelap Yuta, mengenggamnya erat dan menarik hingga tubuh si sulung yang jauh lebih kecil dibandingkan adiknya itu ikut terbawa. Yuta meronta-ronta, kulit kepalanya memanas, lehernya seperti mau putus, dia berteriak keras namun tetap saja tidak ada suara yang keluar.

Mata si kembar beradu kala tubuh Yuta berhasil diseret keluar kamar, Yuta meminta tolong, tapi Yuda hanya terdiam mematung hingga kakaknya itu di tarik masuk ke gudang gelap. Perempuan itu mengunci rapat pintu gudang lantai dua, dia menatap anak bungsunya sesaat.

"Tunggu ayahmu pulang, kamu akan bernasib sama seperti si cacat itu!"

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now