Pahlawan

1.6K 317 77
                                    



Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




MPLS, Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah. Kegiatan wajib bagi seluruh sekolah sebagai acara penyambutan siswa-siswi baru, mengenalkan mereka dengan peraturan dan tata letak sekolah. MPLS di SMPN Karigula dilakukan dalam tiga hari, dan hari pertama dimulai pagi ini.

Kepala Yuta menoleh kanan-kiri, matanya berkeliaran mencari gedung sekolah dari dalam angkutan umum. Tangan anak itu menepuk bahu Pak Bahari, sopir angkutan langganan Yuta. Pak Bahari memberhentikan angkot, menepi di sisi jalan dan menolehkan kepala ke belakang.

"Kenapa, Yut? Kamu mah jangan ngagetin Bapak atuh, " ucap Pak Bahari dengan logat sunda yang kental. Anak itu hanya terkekeh sembari menggaruk tengkuk, membuat Pak Bahari melebarkan lubang hidungnya geram. "Aduh, si ujang! Malah ketawa-ketiwi. Perjalan masih jauh, Yut. SD Geriya masih kudu lewatin pom bensin."

Yuta menepuk kepalanya, menghembuskan napas pelan. "Aku udah SMP, Pak. SMPN Karigula udah kelewat tuh, " ucap anak itu dengan bahasa isyarat seraya menunjuk gedung sekolah yang tertinggal di belakang.

"Waduh!" pekik Pak Bahari, dengan cepat memutar kemudi dan melaju cepat.

Pak Bahari sedikit mengerti bahasa isyarat, paham karena sudah enam tahun kenal dekat dengan Yuta. Sejak sekolah dasar kelas satu, anak itu sudah naik angkutan umum Pak Bahari. Pertamanya Pak Bahari mengira Yuta anak yang pendiam karena hanya tersenyum dan mengangguk saat ditanya.

Namun, semakin lama Pak Bahari makin jengah dengan sepi yang dimiliki Yuta. Pria itu bertanya kenapa Yuta selalu saja diam. Dan saat Yuta memberitahu dia bisu, Pak Bahari tak percaya, berpikir jika anak itu sekedar main-main. Tetapi pada akhirnya, Pak Bahari mau tak mau harus percaya. Karena sungguh Yuta tak pernah bicara satu kata pun.

Setiap pagi di hari sekolah pasti ada satu angkutan umum yang terpakir di Indobarat depan komplek, menunggu Yuta datang untuk diantar. Pak Bahari seperti bukan supir angkot lagi, tetapi merambat menjadi supir pribadi Yuta.

Mungkin ini dikarenakan Pak bahari tidak punya anak, dia dengan senang hati membantu Yuta tanpa balasan. Mengajak berbincang walau nanti akan dihadiahi tepuk tangan dan tawa tanpa suara, membawa Yuta makan bakso Mang Jaja dekat kali, atau hanya mengitari kota dengan angkutan umum. Bikin rugi sih, setoran tidak ke kejar, tapi Pak Bahari ikhlas.

"Kamu entong nakal ya, Yut. Sini salim dulu sama Bapak." Pria itu mengusap telapak tangan yang basah oleh keringat pada kaos putih lusuh sebelum menjulurkannya. Yuta menyambar tangan Pak Bahari semangat, mengecup punggung tangan itu.

"Kalau nanti ada yang ngaganggu, Yuta harus apa?"

Dengan cepat Yuta mengepal kedua tangannya, menaruh di depan wajah dan meninju angin kosong sembari melompat kecil. Pak Bahari tertawa lepas melihat Yuta yang berlaga seperti petarung handal, tangannya terjulur mengusap surai hitam tebal milik anak di hadapannya. "Jadi orang baik, Yuta. Dunia ini teu lagi butuh orang pinter."

Yuda | YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang