Tolong

1.1K 240 22
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.




Rumah sebesar setengah lapangan bola nampak begitu sepi, hanya ada suara yang dibuat oleh ranting pohon pinus di pesisir rumah. Langit begitu mendung hari ini, matahari pun ditutupi awan. Sepertinya hujan akan datang.

Anak laki-laki dengan kemeja putih sedang duduk di kursi, satu kaki menumpu kaki yang lain, matanya tidak lepas dari taman bunga dekat kolam air mancur depan rumah.

"Tidak berangkat, Tuan Muda?" tanya pelayan pria yang menaruh setoples penuh kue coklat di atas meja kaca.

Tei menggeleng pelan, jemarinya menunjuk toples sebagai isyarat minta dibukakan. "Tidak, aku sedang menunggu Gefa."

Sang pelayan membuka toples, menaruh kembali benda itu ke tempat semula. "Berandalan kecil yang makannya banyak itu?"

"Dia bukan berandalan, Paman. Dia hanya sedikit tidak tahu aturan, " bela Tei sembari mengambil sepotong kue coklat dan mengunyahnya perlahan. "Lagipula dia tidak kecil. Gefa hanya satu tahun di bawahku, dia terlalu cepat masuk sekolah."

Pelayan yang akrab dipanggil paman itu mengangguk, dia tidak ingin berdebat dengan Tuan Muda. Kalau boleh jujur, Paman tidak menyukai Gefa, bocah hiperaktif dan badung luar biasa. Anak itu seperti kelebihan energi, lari kesana, lompat kesini. Semua orang di rumah besar ini sudah lelah.

"Tei!" pekik bocah yang sedikit lebih tinggi dari Tei, kaki rampingnya berlari kecil dari arah gerbang. Surai Gefa melompat-lompat lucu, mata bulatnya berbinar walau tak dihujam cahaya matahari.

"Aku berangkat, Paman, " ucap Tei sembari memakai tas dan berdiri. "Aku titip Bunda, bilang padanya jika Tei sedang bermain pasir di taman belakang dan tidak bisa diganggu. Aku akan pulang cepat." Langkahnya menghampiri Gefa yang berdiri di dekat kolam air mancur.

"Ayo berangkat, lo kenapa jadi bengong disini?" Gefa memajukan kepalanya, memperhatikan wajah Tei lekat. "Lo mau ngapain!" Tei mendorong bahu yang lebih muda.

"Di bibir lo ada coklat. Lo habis makan coklat, Tei?" tanyanya penuh selidik, jemarinya menodong wajah tampan orang dihadapannya.

"Mau gue makan tai sekali pun bukan urusan lo, " decak Tei sebal, kenapa sahabatnya yang satu ini tidak pernah besikap normal.

"Ada kue coklat ya? Gue minta satu, lo tunggu sini."

Tei menggeleng kepala saat orang dihadapannya berlari untuk mengambil kue coklat, anak itu maniak sekali. "Gefa cepetan!" Gefa berlari kembali ke arah Tei, kedua tangannya memeluk toples kue coklat. "Lo bukan minta, Gef. Tapi ngerampok!"

Mereka berdua berteman lama, satu sekolah saat sekolah dasar bersama Wira dan Yuda. Setiap hari Gefa akan datang ke rumah Tei, menumpang di mobil mahal bocah itu untuk pergi ke sekolah.

__-__


"Lo jangan ambil jatah gue dong, Wir!" marah Gefa saat orang di sampingnya terus memasukkan tangan ke dalam toples yang berada dalam pelukannya. "Beli sono! Percuma dompet tebel kalau minta terus!"

Wira melotot ke arah si bungsu, pipi penuh itu sedikit memerah. "Heh! Ini kue juga boleh minta dari Tei. Jangan sok iye deh lo, pengen gue gampar mulut lo." Kepala tangannya memukul bibir Gefa, membuat yang lebih muda meringis.

"Gue dateng ke sekolah cuman buat liat lo berdua berantem?" tanya Yuda yang duduk di batang pohon mangga belakang sekolah.

Empat serangkai sedang bersantai ria di belakang sekolah, menunggu bel masuk. Sebenarnya mereka bisa saja menunggu di aula, tapi Yuda tidak suka berada di lingkup yang sama dengan Yuta. Dan itu membuat yang lain harus setuju duduk di kursi kotor dengan tumpukan daun kering.

"Lima menit lagi bel, " celetuk Tei sembari melirik jam yang melingkar apik di pergelangan tangan. "Lo pada masih mau diem disini?"

Bruk, Yuda melompat turun. "Gc, yang terakhir pacarnya Bu Jum!" teriak Yuda sembari berlari cepat meninggalkan ketiga bocah yang masih diam terduduk di kursi besi berkarat.

Tei dan Gefa lantas berlari kencang, mengejar Yuda yang sudah hilang entah kemana. Sedangkan Wira, anak laki-laki dengan mata minimalis itu malah mengernyit heran. "Kenapa mereka lari?" tanyanya sembari mengunyah kue coklat hasil pertandingan adu mulut dengan Gefa.

"Lo ngapain diem, Wira! Lo mau jadi pacarnya Bu Jum?" pekik Tei yang ternyata kembali karena sadar satu sahabatnya tertinggal.

"Gue gak mau jadi pacar Bu Jum!" balas Wira keras, Tei sampai memejamkan mata lantaran kaget.

__-__


"Gue gak mau jadi pacarnya Bu Jum, Gef, " keluh Wira pelan.

Gefa yang duduk di samping Wira menghela napas kasar. Sudah lima menit mereka berada di aula dan bocah itu tetap mempermasalahkan permainan bodoh Yuda, merengek kepada yang lebih muda sembari memeluk lengan Tei yang kebetulan duduk di sebelah kanannya.

Karena tak tahan dengan keluh kesah, gundah gulana, atau apalah itu. Gefa memilih ke kamar mandi tanpa meminta ijin. Dia berjalan pelan, kedua tangannya dimasukkan ke saku celana.

"Pagi-pagi gini enaknya jalan-jalan, menikmati indahnya dunia. Apa ini pertanda gue harus bolos?"

Buk

Tubuh Gefa tersentak saat mendengar suara keras dari arah area kamar mandi. Dia berlari masuk ke area kamar mandi dan bersembunyi dibalik dinding. Matanya membola sempurna, seketika tenggorokan bocah itu kering saat melihat Jum'at dan Sabah sedang menghimpit tubuh kecil Yuta, kembaran Yuda sahabatnya.

"Lo beruntung kemarin ketemu pahlawan, tapi sekarang." Sabah menoleh ke arah Jum'at, tersenyum kecil. "Lo gak mungkin lepas dari kita, " ucapnya sembari menepuk-nepuk bahu Yuta yang sudah mengigit bibir.

"Aku salah apa? Aku tidak membuat masalah."  Yuta memakai bahasa isyarat dengan tangan gemetar.

Seketika wajah Jum'at berubah masam, tawa yang sempat terukir berganti dengan geraman. "Sialan!" pekiknya sembari menarik kerah kemeja adik kelasnya, melempar tubuh kecil itu ke dalam salah satu bilik kamar mandi.

Yuta meringis, kepalanya menghantam toilet duduk keras. "Lo emang gak buat masalah, tapi lo bikin gue marah!" Jum'at meremat rambut tebal Yuta, menarik keras hingga anak itu mengeluarkan air mata. "Lo mau tau apa yang bikin gue marah?"

Jum'at menekan kepala Yuta masuk ke dalam lubang toilet, anak itu memegang sisi toilet berusaha menahan dorongan Jum'at. "Lo bikin gue gak bisa tidur, lo bikin hari-hari gue hancur!" Dia semakin mendorong kencang, tak peduli dengan ukuran lubang toilet yang kecil.

"Aku tak paham!" jerit Yuta saat air yang menggenang di toilet mengenai hidung dan membuat dirinya kesulitan bernapas.












Saya mau mundur

Yuda | YutaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang