Dunia Mila

60 12 0
                                    

Dunia begitu luas, begitu dalam juga, rasa-rasanya kita tidak akan pernah bisa memeluknya. Tapi Mila Akanan bertanggung jawab untuk melakukan hal mustahil itu, lebih tepatnya dituntut tanpa dasar ingin dari dirinya sendiri.

Jikalau Yuda dituntut untuk sempurna, maka Mila dituntut untuk jadi lebih dari kata sempurna. Hanya bedanya tidak ada kekerasan di dalam keluarga gadis itu, kedua orang tuanya sungguh memberi kasih dengan tulus walau terkadang tidak terlihat lantaran banyaknya tuntutan yang mereka lakukan kepada Mila, anak semata wayang mereka.

"Mila, jadwal untuk bulan ini dan dua bulan kedepan sudah Bunda buatkan, " ucap wanita dengan surai panjang tergerai, tangannya masih sibuk dengan tablet di depan, membiarkan jemari-jemari itu berselancar sampai tidak bisa menatap anaknya saat bicara. "Semua jadwal tidak bisa dirubah, ingat itu, Mila."

Wanita itu tersenyum, sungguh manis, manis sekali sampai Mila muak dan menggigit bibirnya saat melihat bagaimana ibunya tersenyum. Gadis itu tidak menjawab apapun, dia malah meremat tas ranselnya dan berdiri dari duduknya.

"Aku berangkat, " ucap Mila seraya berjalan meninggalkan meja makan yang penuh dengan makanan, tapi tampaknya gadis itu tidak berselera untuk makan walau hanya satu suap pun.

Jadwal Mila kian padat, ibunya benar-benar tidak membiarkan anak semata wayangnya untuk tidur cukup. Entah apa yang dikejar oleh wanita itu hingga menuntut Mila untuk pandai disegala bidang. Untuk apa? Untuk apa anak sekolah menengah pertama dipaksa bisa memainkan alat musik dan juga ikut kelas memasak di hari libur? Untuk apa Mila mengikuti lebih dari dua bimbel hanya demi nilai bagus, satu saja sudah cukup bukan?

"Ah... aku ingin tidak menjadi aku, " ucap gadis itu seraya memainkan kakinya, mengayun-ayun kecil seraya duduk di kursi panjang belakang sekolah. Lagi dan lagi Mila membolos kelas, pura-pura sakit lalu akhirnya termenung di belakang sekolah seperti sekarang ini.

Mila mengedarkan pandangan, menatap pohon yang sedikit layu, lemari tak terpakai yang sudah lapuk, lalu matanya membesar kala melihat sosok tak asing melewati lorong di depan sana. Dengan cepat Mila melompat turun, mengejar sosok tadi yang sepertinya berjalan ke arah ruang kesehatan.

Tangan gadis itu terulur, menepuk punggung sosok di depannya agar berbalik melihatnya. "Yuta, " ucap Mila dengan suara lemah, dirinya hampir kehabisan napas hanya karena mengejar Yuta yang tak lari. Memang Mila saja terlalu semangat sebenarnya.

"Mila? Sedang apa disini?" tanya Yuta dengan bahasa isyarat, dahinya yang mengerut membuat gadis di depannya tersenyum lucu.

"Aku sakit, kamu juga sakit? Ayo ke ruang kesehatan sama-sama, " balas Mila dengan bahasa isyarat yang terbata-bata. Lalu dia menarik tangan Yuta untuk masuk ke dalam ruang kesehatan agar tidak ketauan oleh guru-guru yang mungkin saja berlalu lalang.

Sekarang Yuta dibuat bingung dengan terdiamnya Mila, sehabis di tarik ke dalam ruang kesehatan secara paksa kini malah pelakunya diam saja. Anak Laki-laki itu memang benar adanya ingin mampir ke ruang kesehatan, dia merasakan sakit kepala yang begitu luar biasa setelah diberi tugas untuk membaca cepat, karena takut muntah dan merepotkan anak kelas yang malah akan membuat dirinya semakin dirundung, Yuta memutuskan untuk ke ruang kesehatan.

Anak dengan pipi tirus itu merebahkan diri, sembari melihat Mila yang masih terdiam sambil menatap dirinya. Apa ada yang salah dengan Yuta, apa Yuta terlihat sangat amat buruk rupa sampai-sampai seorang Mila Akanan yang manis jelita itu terdiam melihat rupanya, atau bagaimana?

Yuta menepuk tangannya lemah, berniat mengambil atensi dari anak perempuan di seberangnya. "Mengapa terdiam, Mila?" tanya Yuta dengan bahasa isyarat setelah merasa dirinya benar-benar mendapatkan atensi seorang Mila.

Mila tersenyum manis, matanya menyipit. Dia melompat turun dari ranjang ruang kesehatan, menghampiri ranjang yang ditiduri oleh Yuta dan naik untuk duduk di pinggir ranjang. "Yuta, apa sakit sekali?" Jemari-jemari mungil milik gadis itu mengusap lebam berwarna biru keunguan yang ada di lengan Yuta. "Apa sakit sekali?" tanyanya sekali lagi, kini sambil menitihkan air matanya.

Anak laki-laki yang mendapatkan pertanyaan itu hanya membisu, walau memang bisu, tapi sungguh Yuta tidak bisa menjawab pertanyaan Mila dengan bahasa isyarat atau gerak bibir sekali pun. Tangisan gadis itu, air mata yang meleleh dari sepasang netra indah, dan juga suara ringisan kecil, semua itu mampu membuat dada Yuta sesak bukan kepalang.

"Berkata semua akan baik-baik saja adalah sebuah kebohongan kan? Karena itu aku tidak bisa memberikanmu sebuah kebohongan untuk menjadi penyemangat." Mila kembari mengusap lebam milik Yuta, mengusapnya perlahan layaknya sentuhan jemarinya akan menghilangkan rasa nyeri dan juga sakit yang ada pada lebam tersebut. "Tetap ada disini ya, Yuta. Kalau kamu gak punya alasan untuk tetap disini, jadikan aku alasan, " lanjutnya dengan senyuman lebar di penghujung kalimat.






















Terimakasih karena telah menunggu

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now