Masa Sekolah Dasar

525 119 4
                                    

"Hidup ini gak pernah lebih dari sebuah pengorbanan, Yuta. Saat kamu berharap lebih, maka akan banyak hal yang harus kamu relakan."

Perempuan muda itu mengusap surai kelam Yuta, sedikit kusut namun wangi shampoo membuat Bu Ren betah berlama-lama memangku kepala anak yang berbaring di ranjang UKS.

"Apa yang harus Yuta korbankan biar Ayah dan Ibu mau peluk Yuta?" tanya anak itu dengan bahasa isyarat.

Bu Ren yang mengerti bahasa isyarat walau tak mahir tersenyum pahit, dia menangkup pipi tirus Yuta dan diputar-putar. Bibir anak laki-laki berumur sebelas tahun itu mengerucut, dia memegang tangan gurunya untuk memberi tanda berhenti.

"Yuta tidak perlu berkorban, " kekeh Bu Ren sembari melepaskan kedua tangannya dari pipi Yuta dan kembali mengusap lembut kepala anak itu. "Karena seharusnya mereka yang berkorban untuk itu."

Setiap perbuatan akan ada resiko, setiap keinginan akan ada yang meminta bayaran untuk tiket pengabulan. Semua timbal balik itu tidak bisa lepas, terikat, tersimpul kuat dan berlaku untuk setiap manusia.

Lusi dan Heru adalah sepasang suami istri yang tak siap menjadi orang tua. Lusi yang saat itu tengah sibuk menata bata kesuksesannya di dunia fashion tiba-tiba terpaksa tidak ikut terbang ke acara penting di luar negeri karena kehamilannya. Ini semua karena Heru kelepasan, lupa pakai pengaman saat bulan madu ke Perancis.

Semua dimulai dari terpaksa, tidak terencana, berantakan akhirnya. Heru sebenarnya senang-senang saja, hatinya terbuka untuk menerima kehadiran bayi. Namun, dia sama sekali belum siap meninggalkan kursi besar perusahaan hanya karena harus mengurus ibu hamil dan bayi menangis.

Permintaan Lusi saat mengetahui dirinya hamil hanya satu, yaitu si kembar terlahir sempurna seperti dirinya dan Heru. Dan permintaan itu terkabul. Namun hanya salah satu yang sempurna, yang lainnya cacat, bisu sejak pertama kali hadir di dunia.

Heru tidak terlalu peduli, yang penting anaknya selamat. Tetapi Lusi, wanita itu benar-benar tertekan. Dia sudah mengorbankan semuanya, acara penting di Jerman yang sialnya sudah dia tunggu-tunggu sedari masa kuliah, butiknya yang terpaksa gulung tikar karena perbuatan kakak-kakak sang suami yang kecewa padanya.

Melahirkan anak cacat bukanlah bagian dari mimpi Lusi, bahkan tidak pernah terbayangkan sekalipun. Dia tidak seharusnya mendapat banyak fitnah dan ujian hanya karena anak itu, dia hanya korban, dia hanya menghadirkan anak itu bukan menciptakannya.

Lusi sebenarnya ingin merengkuh anak-anaknya, mendekap lebih dekat dan hangat. Namun seribu sayang dia benar-benar buta akan rasa kecewa dan sakit yang diterima hanya karena kehadiran si kecil Yuta. Butik hasil keringatnya, desain baju yang dibuat dari pembelajaran selama masa kuliah, bahkan gelarnya di mata orang-orang lenyap tak bersisa.

Lusi sekarang hanyalah seorang wanita kantoran.

Jika seperti ini siapa yang harus berkorban, siapa yang pantas merela agar sama-sama sembuh dari luka, apakah Yuta atau Lusi?

__-__

Yuda, anak laki-laki yang ditempa untuk menjadi sempurna. Terlihat seperti singa, raja hutan yang akan menaklukkan segalanya. Ya, itu niat awalnya. Semua permintaan Lusi dan Heru, mereka yang memaksa Yuda mengambil banyak waktu les, lomba sana-sini, dan sebagainya.

Apa Yuda menjadi pintar? Oh tentu saja, tidak ada yang bisa mengalahkan anak itu di sekolah. Rangking satu paralel, siswa teladan, bahkan satu sekolah kenal Yuda karena ramah tamahnya.

Dibalik permintaan orang tuanya, harus ada pengorbanan. Dan Yuda yang melakukan itu, dia merelakan waktu bermain, mental yang sehat, sampai-sampai merelakan kulit tangan yang bersih tanpa luka.

Yuda sudah lama mati, dia hidup menjadi boneka selama ini. Dia hanya bisa terdiam, seperti kini Yuda diam saja saat Yuta tengah sibuk meraup napas dan meronta-ronta karena sang Ibu mencekiknya dengan dasi.

"Bajingan kecil ini! Kamu kira hidup disini gratis? Berani-beraninya kamu makan di atas meja makan!"

Lusi semakin menarik dasi merah yang dipakai Yuta ke atas, tidak peduli dengan leher anak sulungnya yang memerah.

Yuda terduduk di atas kursi empuk, tidak melirik sama sekali ke arah Ibu yang berbuat hal keji kepada kakaknya. Dia lebih memilih memotong steak yang berada di depannya, memasukkan potongan daging itu ke mulutnya dan memakannya dengan hikmat.

Anak laki-laki itu terlihat tenang, namun piring berisi daging panggang itu dihiasi dengan air mata yang jatuh perlahan. Yuda sakit hati kepada sikap ibunya, setiap pukulan yang kakaknya terima benar-benar bisa dia rasakan. Menusuk dada dan memporak-porandakan pertahanannya.

Dia ingin berlari, menarik tubuh kurus itu. Tapi Yuda sangat ingat bagaimana sakitnya belajar, sesaknya berada di dalam ruangan belajar, lengan yang penuh sayatan. Yuda ingat itu, semua hal yang datang karena kakaknya, Yuta.

Yuta terlahir bisu, dia juga tidak pintar. Membuat kedua orangtuanya membebankan semua tanggung jawab dan nama baik keluarga kepada Yuda, anak laki-laki yang tidak pernah tahu bagaimana serunya   tidur nyenyak tanpa perlu memikirkan nilai-nilai di atas kertas itu.

Yuda menyayangi Yuta, tapi maaf dia pikir bahwa rasa sakit yang kakaknya dapat adalah bayaran dari semua tuntutan yang dia dapat

Trang!

Piring berisi steak yang baru dimakan setengah jatuh, pecah berhamburan memenuhi lantai. Dengan sengaja Yuda menginjak remahan beling itu, membuat darah segar berlomba-lomba keluar dari sobekan kulit.

"Yuda!" Ibu berlari ke arah anak bungsunya, memanggil pelayan untuk mengangkat Yuda dan dibawa ke rumah sakit.

"Aku pahlawannya bukan?"
















Semua orang punya luka masing-masing





Maaf baru kembali, saya lagi malas edit foto untuk pembuka. Jadi tolong nikmati narasinya saja, semoga kalian menyukainya.

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now