Pekan Ujian

49 9 1
                                    

Bisnis ini adalah jalan satu-satunya untuk menuju kekayaan instan tanpa perlu usaha berlebih, mengerjakan soal-soal ujian yang tiap mata pelajarannya tidak lebih dari empat puluh soal bukan masalah rumit, bahkan terlalu mudah untuk seorang Yuda tangani. 

Remaja dengan surai legam itu merenggangkan badannya, membiarkan tulang bertemu tulang hingga menghasilkan bunyi seperti patahan ranting. Sudah lebih dari sepuluh mata pelajaran yang Yuda kerjakan, sekarang dirinya hanya perlu memberikan jawaban tersebut kepada Tei untuk dijadikan design kertas pembungkus penghapus karet. 

Kertas pembungkus penghapus karet, itu adalah ide murni dari Wira. Kertas pembungkus penghapus karet di design sedemikian rupa agar kunci jawaban dari soal-soal yang sudah mereka curi dapat berada disana. Namun jika menulisnya dengan huruf (A, B, C, D) terlalu mencurigakan. Jadi Wira membuat empat pola untuk masing-masing huruf tersebut. 

Pola tersebut akan diulang-ulang sesuai dengan kunci jawaban yang telah dikirimkan oleh Yuda kepada Tei

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Pola tersebut akan diulang-ulang sesuai dengan kunci jawaban yang telah dikirimkan oleh Yuda kepada Tei. Mungkin akan sedikit membingungkan, membuat diantara kalian bertanya-bertanya terkait bagaimana bisa kunci jawaban dari empat puluh soal bisa berada dia satu penghapus karet. Tidak hanya kalian yang bingung, namun Yuda, Tei, Gefa pun sempat heran dengan ide Wira. Namun, setelah dijelaskan, mereka sepakat jikalau Wira adalah seorang brilian.

Siapa yang akan sadar dengan pola lingkaran yang sudah mirip dengan kulit macan tutul itu? Apalagi, Tei membuat design tersebut dengan berbagai warna, membuat seakan-akan memang itu hanyalah sembarang design tanpa maksud

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Siapa yang akan sadar dengan pola lingkaran yang sudah mirip dengan kulit macan tutul itu? Apalagi, Tei membuat design tersebut dengan berbagai warna, membuat seakan-akan memang itu hanyalah sembarang design tanpa maksud. Bagaimana cara membaca pola tersebut? Dari atas, samping kanan, samping kiri, atau bagaimana?

"Sebelum lo pada bagiin itu penghapus, kasih tau cara pakenya. Tapi inget, gak usah jelas-jelas. Cukup apa?" ucap Yuda yang kini tengah berdiri di depan ketiga temannya yang duduk di sofa panjang rumah Tei.

"Cukup bilang dari atas ke bawah, dimulai dari kanan, " ucap mereka serempak. Kekompakkan itu membuahkan senyum seringai dari wajah sempurna Yuda, merasa bangga dengan bisnis barunya yang sangat menjanjikan.

Yuda berjalan ke arah Tei, menepuk bahu temannya itu sebelum akhirnya mereka bertukar posisi. "Setiap hari akan ada dua penghapus dengan warna yang berbeda, biar lo pada gak bego! Gue bakal kasih list warna bagi masing-masing mata pelajaran." Tei menekan tombol di laptopnya, membuat slide power point yang ditampil di depan mereka berganti.

"Matematika dengan warna merah, IPA dengan warna hitam, IPS dengan warna hijau, dan yang lainnya liat sendiri."

Anak laki-laki dengan mata minimalis yang duduk dengan mengangkat kaki satu itu mengangkat tangan, namun sebelum kedua bilah bibir terbuka, Tei sudah memberikan tatapan tajam yang mengisyarakat Wira untuk tetap diam.

"Terus gimana cara bedain penghapus dengan nila seratus, sembilan puluh, dan delapan puluh?" ucap Tei dengan nada bicara yang mirip sekali dengan Wira, sampai bibir-bibirnya pun mirip, membuat Wira berdecih sebal. "Kalau penghapus dengan nilai seratus itu udah pasti polanya sempurna alias ada empat puluh bulatan, kalau sembilan puluh ada tiga puluh enam bulatan, dan delapan puluh ada tiga puluh dua bulatan. Pinter-pinter lo aja dah bagiinnya."

"Besok hari pertama ujian, gue gak mau ada berita apapun, ataupun gosip gak jelas tentang penghapus itu, " ucap Yuda dengan kedua tangan yang bersedekap di dada. "Suruh semua pembeli tutup mulut, ancem kalau perlu. Karena kalau ada satu gosip yang sampe ke telinga gue, kita gak akan lanjutin bisnis ini."

Untung besar dengan resiko besar adalah hal yang cukup sepadan bagi Yuda, namun dirinya sungguh tidak ingin menambah masalah, dirinya hanya ingin menambah uang untuk kebutuhan misinya. Yuda hanya ingin membawa kabur impiannya, memberikan kesempatan untuk mimpi yang lain menjadi nyata. Itu saja, cukup.

Suhu hari ini cukup rendah dibandingkan biasanya, tidak banyak cahaya matahari lantaran awan dan juga rintik menghalau. Yuda memakai hoodie berwarna biru muda, berharap dingin tidak mengganggunya hari ini. Dibalik kantung hoodie yang cukup besar, ada lebih dari tiga puluh penghapus, jangan lupakan kedua saku celana yang penuh dengan penghapus karet. Yuda sudah seperti bandar penghapus.

Dirinya mulai menelusuri lantai dasar, dia mendapatkan bagian itu, sedangkan yang lain berada di lantai yang berbeda-beda. Mata pemuda itu bergerak cepat, memeriksa deretan nama yang ada di depan pintu kelas pertama. 

"Jingga, jingga, jingga, " ucap Yuda berulang kali sembari membaca cepat urutan absen tersebut. "Jingga!" pekiknya kecil seraya tersenyum manis sebelum akhirnya memasukin kelas tersebut.

Jingga, pemuda dengan warna rambut coklat gelap itu ternyata sudah menunggu kehadiran Yuda, dirinya langsung sigap berdiri dan mengangkat tangannya guna mengambil atensi Yuda yang sebenarnya sudah tau akan kehadiran Jingga.

"Dari atas ke bawah, dimulai dari kanan, " ucap Yuda seraya memberikan penghapus karet dengan bungkus berwarna merah dan hijau. "Merah untuk matematika dan hijau untuk IPS, gak usah bales omongan gue atau ujian selanjutnya gak bakal ada lagi penghapus keberuntungan buat lo. Terimakasih, Jingga."

Yuda kembali mengitari kelas tersebut, menyapa pembelinya dengan mengatakan hal yang sama seperti apa yang dirinya katakan pada Jingga. Yuda hapal semua pembelinya, mereka memesan dengan nilai berapa pun dirinya hapal. Lagi pula, Tei sudah menambahkan nomor ujian para pembeli dengan tulisan kecil di bagian bawah penghapus.

Lorong lantai dasar makin ramai, Yuda mulai kelimpungan lantaran sedari tadi ada saja yang menyapa dirinya dan melontarkan basa-basi paling basi. "Gue duluan ya, Wan. Masih banyak nih yang antri mau ketemu gue, maklum artis ibukota, " ucap Yuda dengan nama bercanda seraya menepuk bahu Iwan teman satu ekstrakurikulernya.

Ujian dimulai tepat pukul delapan, dan hanya tersisa waktu dua puluh menit lagi untuk menyebarkan semua penghapus karet. Lebih dari cukup jikalau Yuda bisa bergerak cepat lantaran hanya sisa dua kelas lagi. Yuda mempercepat langkahnya, namun terhenti begitu dirinya melihat pemandangan menjijikan.

"Pertama kali nih gue ketemu orang bisu, coba dong kasih tau gue motivasi lo jadi bisu begini?" ucap salah satu pemuda yang tengah duduk di meja Yuta, kedua kakinya berada di atas paha Yuta yang tengah duduk seraya merintih sakit. 

Seketika emosi Yuda meluap, dirinya tanpa sadar memukul pintu kelas dengan amat keras, mengambil semua atensi murid yang ada disana. Jangan lupakan wajah memerah, dan gigi yang beradu hingga menghasilkan suara. 

Wira yang sudah membagikan seluruh penghapus karet di lantai dua dan berniat masuk ke dalam kelas tempat ujiannya langsung merangkul Yuda, mencoba memberikan tepukan pelan, berharap emosi temannya tidak meledak.

"Sorry, tadi pintunya kedorong sama gue, " ucap Wira dengan kekehannya. "Dilanjutin ngobrolnya, sorry ya semua." 

Yuda tidak lagi melirik Yuta, dirinya dengan cepat membagikan penghapus tersebut. Sampai pada dua penghapus terakhir, penghapus karet yang dipesan oleh Sorenata alias Sore, atau banyak juga yang memanggilnya Nata. Dia adalah anak laki-laki yang dengan sangat nyaman duduk di meja Yuta, kaki jenjangnya itu dengan sangat tidak sopan menendang-nendang perut Yuta kalau tidak ada sahutan dari kedua bilah bibir Yuta.

"Sorenata, " panggil Yuda dengan nada yang datar. "Penghapus lo, " lanjutnya seraya menyerahkan dua buah penghapus karet. "Dari atas ke bawah, dimulai dari kanan. Merah matematika, hijau IPS. Tutup mulut lo, dan jangan bales omongan gue." Yuda mengambil langkah besar, berjalan keluar kelas tanpa melirik ke arah si sulung.

"Gue kira lo mau jadi pahlawan, tau-taunya si bisu ini emang gak pernah ada yang ngarepin ya. Mau gimana lagi, namanya juga produk gagal, sampah."























Ada yang nonton bad genius? Saya pikir itu film terbaik yang saya tonton saat era SMP dulu

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now