Kamar Si Kembar

367 73 0
                                    

Lusi dan Heru mencari Yuda kemana-mana. Awalnya mereka tidak panik saat anak bungsu mereka tidak pulang tepat waktu, karena biasanya Yuda akan berada di tempat lesnya hingga sore hari. Tapi sampai malam hari Lusi dan Heru tidak melihat ada tanda-tanda Yuda di kamarnya, CCTV yang ditaruh di sudut kamar Yuda menjelaskan semuanya.

Pergerakan Yuda itu selalu diketahui kedua orang tuanya, kecuali saat berada di dalam ruangan sempit tempat penghukuman. Ruangan pengap itu bebas dari CCTV dan mata-mata lainnya.

"Hubungi teman Yuda, Lusi!" pekik Heru panik, sudah tengah malam dan anak kebanggaannya belum kembali.

Wanita dengan pakaian tidur itu berlari cepat, mengambil ponsel yang ditaruh di atas meja kerjanya. Dia berjalan cepat ke arah Heru sembari mengotak-atik ponselnya.

"Cepat, Lusi!" tekan Heru.

"Aku tidak punya nomor ponsel teman-temannya, aku bahkan tidak tau dia punya teman!" marah Lusi lantaran tidak menemukan apapun di ponselnya kecuali kontak para petinggi perusahaan.

Heru menepuk dahinya, dia juga sama seperti Lusi. Kontak di ponselnya hanya berisi rekan kerja dan orang-orang penting saja.

"Nomor gurunya! Kamu punya kan, Lusi?" tanya Heru.

Lusi menggeleng, membuat pria dengan wajah berantakan itu semakin frustasi.

"Ayah, Ibu? Apa yang kalian lakukan?"

Kedua orang itu lantas menoleh, menatap kaget ke arah Yuda yang berdiri di depan mereka. Wajah Heru memerah, panas menjalar hingga ke kepala hingga rasa-rasanya otak Heru mendidih. Pria itu berjalan menghampiri Yuda yang dengan tidak sopannya menaikkan satu alis sembari menggendong tasnya di bahu kanan.

Plak!

Kepala Yuda terpaksa menoleh, tamparan pria di hadapannya cukup keras, menghadiahkan sudut bibir yang terluka. Yuda menjulurkan lidahnya, menjilat darah yang keluar. Anak itu dengan berani menoleh, menatap Heru dengan lantang.

Plak! Dua kali. Plak! Tiga kali. Plak! Empat kali.

Yuta yang melihat itu dari balik pilar rumah meringis, air matanya mengalir karena adik kecilnya terluka. Dia ingin sekali membantu, tapi dia tau Yuda tidak akan senang jika dia berbuat itu.

"Masuk ke ruanganmu, Yuda! Tidak ada perintah keluar sebelum pagi tiba!"

Baru pulang dari rumah sakit, baru saja mendapat istirahat. Tapi sekarang Yuda harus kembali belajar, padahal dia mengantuk berat karena obat yang diberi Pak Sam.

"Dua pil sepertinya cukup, " ucapnya sembari menelan obat anti kantuk tanpa air.

Kenapa Yuda tidak tidur saja di ruangan itu, kan tidak ada CCTV? Tidur sama dengan tidak belajar, dan Yuda tidak bisa keluar jika tidak ada catatan yang bertambah dan buku latihan soal yang diisi. Lusi dan Heru selalu mengecek hasil belajar Yuda, bergantian setiap harinya.

Yuda menggulung lengan kemeja putihnya, dia tidak mengganti baju lantaran berpikir untuk apa juga. Sekalian saja untuk besok pagi, karena sepertinya dia tidak akan bisa mandi agar bisa datang ke sekolah tepat waktu.

"Mari selesaikan ini, " ujarnya seraya membuka buku setebal balok kayu itu. 

Lampu belajar dengan aksen warna kuning terus berpendar, mungkin jika kalian menyentuhnya akan menyengat kulit lantaran panas. Lampu belajar yang diberi nama minion itu ada saksi bisu seberapa sering Yuda menghabiskan waktu di ruangan sempit ini.

Ruangan yang bahkan jika Yuda menolehkan kepala ke berbagai arah, dia akan terus melihat dinding yang dilapisi busa kedap suara. Sempit, pengap, sungguh mengintimidasi hinga rasa-rasa banyak sekali sosok monster yang mendekam disana dan siap menghabisi Yuda.

Sudah tiga jam Yuda berkutik dengan soal-soal, sudah berlembar-lembar pula yang terisi penuh dengan coretannya. Mata anak laki-laki itu sedikit memburam, dia mengedip berkali-kali demi mengembalikan fokus.

Tes, tes. Cairan merah pekat menetes ke atas kertas, menciptakan jejak bulat berantakan. Yuda tersenyum tipis, mengehembuskan napas berat. Dia sudah tau waktu ini akan datang, waktu yang menandakan tubuhnya akan mengistirahatkan dirinya sendiri.

Kepala Yuda terjatuh di atas buku tebal, matanya tertutup sempurna. Anak itu sudah terbiasa tidur dengan keadaan pingsan begini, ini adalah alarm khusus tubuhnya. Saat dia sudah terlalu berusaha, maka darah akan mengalir dari hidungnya dan Yuda kehilangan kesadaran. Begitu terus, entah sampai kapan. Tapi anak itu berharap ini akan segera selesai.

Yuda bisa saja kabur, tapi dia tidak senekat itu. Dia tidak ingin semua fasilitas dan kenikmatan yang dia terima dengan susah payah ini hilang karena kebodohannya, yaitu kabur. Setidaknya Yuda harus memiliki tabungan, setidaknya dia mendapat tempat tidur yang layak di luar sana nanti.

Setelah dua jam terlelap, Yuda terbangun lantaran suara air dari kamar mandi. Yuda mendengar jelas lantaran dinding kamar mandi dan ruangan sempit ini adalah satu, walau dilapisi peredam suara tetap saja Yuda mendengarnya samar-samar.

"Ngapain dia mandi pagi buta begini, gue jadi kebangun, " ujarnya seraya bangkit, menutup buku tebal itu dan keluar dari ruangan sempit menyebalkan. "Dia dipukulin lagi semalem? Sial! Gue pingsan kayak orang mati sampai gak denger apa-apa, " rutuknya kesal.

Yuda keluar dari kamarnya, melirik jam yang berapa di dinding lorong tepat di tengah-tengah pintu kamarnya dan Yuta. "Udah gue duga, subuh." Anak itu mendorong pintu kamar Yuta, berjalan perlahan ke meja belajar kecil yang penuh dengan coretan spidol warna-warni.

"Anak itu masih suka menggambar?" Yuda mengusap meja itu pelan sebelum matanya menangkap buku bersampul biru yang di tempel dengan foto dua bocah kembar di depannya. "Maaf, maaf tidak bisa lagi jadi kita yang dulu."


Yuda | YutaWhere stories live. Discover now