Naik Turun

503 73 9
                                    

Tangan Yuda terulur, dia mengusap foto di atas buku bersampul biru itu. "Maaf, maaf. Maaf, Kak, " lirihnya berkali-kali bersamaan dengan air mata yang entah sejak kapan membasahi pipi tirusnya.

Sebenarnya anak laki-laki ceria dan tampak keras itu hanyalah anak-anak, mudah menangis dan gampang sekali terluka. Yuda juga punya sisi lemahnya, namun Lusi tidak pernah memperbolehkan Yuda mengeluarkan emosinya.

Yuda hanya robot penghasil nilai ujian terbaik, piala-piala dan mendali emas yang kini berjejer apik di lemari kaca ruang tamu. Yuda hanya sebatas itu, dan dia tau. Dia tidak bisa lari dari ini semua, dia tidak bisa lari sendirian bukan?

Suara pintu kamar mandi yang hendak dibuka membuat Yuda tersentak, lantas menarik tangannya cepat dan berjalan keluar. Yuta yang sempat melihat punggung adiknya memiringkan kepala, bertanya-tanya untuk apa adik kecilnya berkunjung.

"Apa aku tanya saja?" Yuta yang hendak berjalan keluar kamar berhenti saat mengingat sesuatu. "Lebih baik jangan, pasti adik kecilku gak mau ketemu aku. " sedihnya seraya kembali tenggelam dalam rutinitasnya.

Yuda kini berbaring di atas ranjangnya, memijat kening lantaran kekurangan tidur menyebabkan kepalanya mau pecah. Alasan lain untuk tidak tidur dan mengkonsumsi obat anti kantuk adalah saat Yuda memejamkan mata dan tertidur, dia akan dihantui bayang-bayang masa lalu. Kesalahannya yang tak termaafkan oleh dirinya dan mungkin Tuhan.

Namun terkadang Yuda tidak bisa menahan kantuknya, dia memaksakan diri untuk istirahat walaupun menyakitkan. Setidaknya dia tertidur tidak di malam hari, entahlah tidur malam terasa lebih panjang daripada tidur di siang atau pagi hari.

Seperti kini, anak laki-laki dengan surai legam itu memejamkan matanya yang sungguh berat. "Sebentar saja, " lirihnya sebelum menuju alam bawah sadar.

Wanita dengan blouse hitam berjalan cepat, suara sepatu haknya membuat suara gema yang berisik. Yuda yang sedang asik makan pie susu kesukaannya menoleh, melihat Lusi dengan wajah merah itu mampu membuat Yuda menjatuhkan pienya dan menundukan kepala.

"Yuda! Apa kamu bertengkar lagi di sekolah?" tanya Lusi seraya menaruh tas mewahnya kasar di atas meja makan. "Kamu tau? Aku lelah dengan panggilan itu, gurumu sungguh tidak tau tata krama dalam menelpon! Rapatku hancur, dan naik jabatan hanyalah mimpi karena dirimu, Yuda!"

Bentakan Lusi membuat Yuda makin menunduk, anak berumur tujuh tahun itu hanya bisa meremat celana pendeknya seraya menintihkan air mata. "Kamu ingin seperti kakakmu? Lantas jika kamu sejenis dengannya, siapa yang bisa membanggakan kami? Apa kamu ingin ibumu ini menjadi candaan di keluarga Al-hanan?"

Tangan lentik Lusi terulur, kuku-kuku panjangnya meremat dagu anak bungsunya dan memaksa Yuda untuk mendongakkan kepala. "Jangan menangis! Kamu tampak sama dengan si bisu itu!" Lusi kini menarik tangan kecil Yuda, membawanya menaiki tangga dan masuk ke dalam ruangan sempit yang berada di dalam kamar anak itu.

"Yuda, kamu adalah pengganti si bisu itu! Hanya kamu yang Ibu harapkan, bukan yang lain. Jadilah anak yang baik, sebelum ayahmu bertindak, " ucap Lusi keras sebelum menutup kasar pintu ruangan sempit itu dan menguncinya rapat-rapat.

"Ibu! Ibu! Aku tidak nakal, Ibu! Aku hanya menyelamatkan kak Yuta dari anak-anak nakal, bukan aku yang nakal, Ibu!" teriak Yuda seraya memukul-mukul pintu berlapis busa peredam suara. "Aku hanya menjadi pahlawan kak Yuta, Ibu! Ibu! Ibu! Disini sesak, Ibu!"

Yuda membuka matanya, meraup napas gusar lantaran sesak menyerang dadanya. Dering telepon menyentah tubuh Yuda, membuat anak laki-laki itu dengan cepat menyambar benda persegi panjang.

"Iya, iya gue kesana. Jangan macem-macem lo pada, awas aja, " ujar Yuda kesal karena si penelpon terdengar meledek.

Anak itu bangun dari tidurnya, menyambar tas yang sama sekali belum dia rubah isinya. Peduli setan dengan pelajaran hari ini, hari ini khusus empat sekawan cuti bersama. Ide gila ketiga teman Yuda memang selalu ada-ada saja, tapi itulah yang membuat Yuda bisa melupa sebentar akan masalahnya.

"Lo lama banget sih!" teriak Wira yang berdiri seraya menyender di depan mobil warna kuning terang.

Mata Gefa melotot saat melihat penampilan Yuda. "What! Lo pake baju sekolah? Kita mau jalan-jalan, bukan upacara!" marahnya seraya bertolak pinggang.

"Lo gak bilang kita mau jalan sialan!" sanggah Yuda kesal.

Wira berdecak, menatap jijik ke arah Yuda. "Lo sekarang mirip jamet yang suka cat calling depan warung. Kayak kita dong. Kka ya gak, Tei?" ucapnya bangga saat Tei menganggukkan kepala.

"Kka?" Yuda mengernyitkan dahinya, kedua alisnya menyatu. "Singkatan apa lagi coba?"

Tei mendorong kacamata hitamnya yang merosot ke pangkal hidung. "Keren ketceh abis, " ucapnya seraya berpose aneh. Berdiri dengan kaki v terbalik, mencondongkan badan, dan tidak lupa mengangkat satu tangan ke atas sembari memonyongkan bibir.

Yuda menatap ketiga temannya yang berpose sama, dia memandang jijik dan tidak percaya. Gefa berdecak sebal. "Lo mah kudet, Bang. Masa pengkor aja gak tau, ini tuh lagi tren banget."

"Udah gila lo pada."

Yuda | Yutaحيث تعيش القصص. اكتشف الآن