Tokoh Pertama

177 35 5
                                    

Terkadang kita benar-benar harus merela untuk merelai, melenyapkan sesuatu hal untuk memberi, terkadang dunia tidak membiarkan kita serakah. Namun itu bukanlah inti dari bab kali ini, tidak berkaitan, tapi bisa jadi berkesinambungan. Entahlah, terkadang semuanya begitu membingungkan.

Yuda, anak laki-laki yang kini tengah terdiam di depan meja belajar kecil di dalam ruangan yang tak kalah kecil itu terdiam, menatap buku kumpulan soal matematika yang kini terbuka di hadapannya.

Ayah si kembar telah pulang, tepatnya pagi ini. Pria itu langsung saja menyeret Yuda yang tengah berbaring di kasur dan mencoba untuk tidur ke dalam ruang belajarnya yang sangat sempit. Entah sampai kapan Yuda akan berada di dalam neraka kecil ini, dirinya tidak bisa keluar begitu saja lantaran pintu ruang belajar dikunci dari luar dan anak laki-laki itu tidak mempunya kunci salinan.

"SMA Negeri ternama ya?" tanya Yuda pada dirinya sendiri, dan tanpa sadar anak laki-laki itu telah termenung begitu lama, sampai-sampai dirinya tersadar lantaran bunyi kunci yang diputar dan bergesekan dengan bagian dalam pintu.

"Sial!" rutuknya pelan, dia menggigit bibirnya keras, mata berwarna legam itu menatap ke arah lembaran soal matematika yang belum sama sekali diisi.

"Bukumu, " pinta wanita dengan setelan baju khas pegawai kantor.

Yuda yakin ini sudah pagi, sudah waktunya untuk berangkat kerja, dan itu artinya Yuda sudah berada di ruangan sempit ini lebih dari empat jam, ayahnya benar-benar lembur dan pulang pagi buta hanya karena ingin menghukum Yuda yang terkesan telah kurang ajar kepada ibunya. Wanita itu memang pengadu.

Anak laki-laki itu tak bergeming, dirinya hanya terdiam seraya menatap soal-soal yang ada di atas kertas sebelum akhirnya mengeluarkan suara. "Bisa beri aku waktu satu jam lagi?" Tanya Yuda, menghadiahkan dengkusan dari sang ibu.

"Ibu sudah mau berangkat kerja, siapa yang memeriksa jika Ibu di kantor. Apa kamu sudah tertular kebodohan kakakmu itu, Yuda?" sarkas Lusi, dia sedikit kehilangan rasa sayangnya kepada Yuda lantaran sikap anak bungsunya kemarin, hanya sedikit, namun awalnya memang juga sudah sedikit.

Melihat Yuda yang tidak menjawab ucapannya, Lusi menghela napas kasar, kepalanya yang sudah pening lantaran direktur bawel dan menyusahkan kini tambah pening karena Yuda sepertinya teguh dengan permintaannya.

"Tiga puluh menit, " ucap wanita itu final sebelum menutup pintu ruangan sempit itu dan kembali menguncinya.

Yuda menghela napas lega, mengusap dahinya yang berkeringat lantaran ruangan cukup panas dan juga jantung yang berdebar-debar. "Syukurlah." Dengan cepat Yuda mengerjakan soal matematika, tiga puluh menit adalah waktu yang singkat untuk mengerjakan seratus soal.

Sebenernya bukan seratus soal, tapi lebih, lebih banyak lagi. Yuda seharusnya mengerjakan hampir setengah buku kumpulan soal ini dengan waktu yang telah diberikan sedari pagi buta, namun naasnya anak itu malah terlena dengan angan-angan yang ada di dalam pikirannya.

"Sudah?" tanya Lusi yang sudah membuka pintu saat waktu yang dia berikan kepada Yuda sudah habis.

Yuda menyerahkan buku kumpulan soal itu, berdiri dari kursinya lalu berjalan keluar dengan cepat lantaran Lusi yang tengah fokus memeriksa jawaban Yuda dengan lembaran kunci jawaban yang dirinya bawa.

"Hanya segini?" Lusi menatap tak suka ke arah anak bungsunya. Dirinya sudah rela terlambat masuk kantor, dirinya sudah rela dimaki-maki oleh atasannya yang bermulut licin, dan saat semua itu sudah dirinya tanggung, anak bungsunya membalas dengan hal seperti ini. "Kurang ajar!" pekik Lusi keras, tepat di depan wajah Yuda yang berada di depannya, melayangkan pukulan dengan buku kumpulan soal matematika yang begitu tebal pada wajah Yuda.

Anak laki-laki itu meringis, hidungnya yang mulai mengeluarkan darah segar itu tidak menjamin dirinya selamat dari tindakan Lusi. Wanita itu terus saja memukul wajah Yuda, tanpa ampun, seperti orang kesetanan, dan Yuda sama sekali tidak menyingkir atau bergerak satu senti pun. Anak itu sengaja, dirinya ingin memposisikan dirinya sebagai Yuta yang tidak bisa melakukan apa-apa ketika kedua orang tuanya menganiaya.

"Ternyata begini rasanya?" tanya Yuda datar, menatap lurus ke arah Lusi yang sekali lagi melayangkan pukulan. "Sakit, " lanjutnya seraya menahan air mata.

Bukan, sungguh bukan karena kerasnya pukulan dari Lusi, ibunya. Bukan juga karena benda yang digunakan ibunya adalah sebuah buku yang keras, bukan karena itu. Sakit itu timbul karena tatapan benci, kata-kata menyakitkan, dan juga bayangan perihal dirinya lah yang membuat Yuta mendapatkan perlakuan ini seumur hidup kakaknya itu.

Tanpa sadar Yuda mendorong bahu Lusi keras, membuat tubuh ibunya oleng dan terjatuh. Dengan cepat anak laki-laki itu berjalan ke arah ranjang, mengambil ponsel yang daya baterainya hampir habis, lalu berlari keluar kamar dan menuruni anak tangga untuk keluar dari rumah.

Yuda dengar Lusi meneriaki namanya, dan jujur itu membuat jantungnya berdegup kencang entah mengapa. Dirinya yang selama ini selalu diam, tak berontak, kini mulai melakukan hal sebaliknya. Yuda mengusap wajahnya kasar seraya berjalan keluar dari perumahan elite itu, melihat ponsel yang kini hanya tersisa dua persen saja baterainya.

"Jemput gue di depan indoapril perumahan, bawa supir kesayangan lo itu."

Hidup memang kejam, itu yang Yuda tau dan mafhum dengan baik. Dia kesakitan sedari kecil, sedari dulu, namun tidak pernah ada yang berniat menolongnya. Apa wajahnya terlalu cerah, apa tawa palsunya terlalu meyakinkan, atau karena dirinya yang selalu ramah, hingga semua orang menganggap Yuda adalah sosok paling bahagia di dunia.

Tubuh Yuda tersentak kala mobil berwarna hitam mengkilap berhenti tepat di depannya, anak yang sedang duduk di pembatas jalan itu mendongak, menatap seseorang yang kepalanya keluar dari kaca mobil yang terbuka.

"Naik, Bang. Jangan kayak gembel."

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now