Jum'at Berkah

426 85 9
                                    


"Dia lupa dengan saya, Yuda. Lantas bisakah saya menyalahkan kamu?"

Netra kedua insan itu bertemu, sama-sama mengisyaratkan kerinduan dan kesedihan. Ada penyesalan juga disana, entah milik siapa dan kenapa.

"Permisi, Bu, " ucap Yuda cepat, melompat turun dari ranjang UKS dan berjalan ke arah pintu. Namun, langkah Yuda berhenti. Suara tangis perempuan yang dulu menjadi gurunya di sekolah dasar membuat kakinya tidak lagi melangkah.

"Saya merindukan Yuta, Yuda. Saya merindukan Yuta, anak saya. Saya tau semua ini bukan salahmu, ini salah orang tuamu." Bu Ren menundukkan kepala dalam, air mata jatuh membasahi seprai ranjang UKS.

Yuda menarik napasnya dalam, menghembuskan perlahan. "Maaf, Bu. Aku tidak bisa menjadi pahlawannya, rasa sakit ini benar-benar menguasai. Bahkan untuk menyentuh tangannya, aku tidak bisa. Dadaku sakit, " lirihnya, kakinya mulai melemas. Yuda terjatuh, terduduk di lantai.

"Semua orang sakit, Bu. Tapi kenapa hanya Yuta yang ditatap iba, bagaimana denganku? Bagaimana dengan diriku yang selalu memakai topeng? Yuta ditolong banyak orang, dikelilingi pahlawan. Aku? Apa aku juga mendapat sosok itu?"

Kepala Yuda menggeleng cepat, air matanya tak tertahan. "Bahkan Bu Ren, Bibi, dan teman-temanku hanya mengkhawatirkan Yuta. Bagaimana nasibku, Bu?" Yuda meremat dadanya, sungguh sakit hingga dirinya melemas.

Tanpa sadar darah segar turun, mengalir dari hidung hingga ke dagu dan menetes membuat bercak di lantai putih UKS. Dengan cepat Yuda mengusap kasar hidungnya, memaksa berdiri dan berlari meninggalkan perempuan yang dipenuhi rasa bersalah sekarang.

Selama ini dia pikir Yuda kuat, selama ini dia pikir Yuda tidak apa-apa. Tapi nyatanya, anak itu juga terluka. Sama parahnya dengan Yuta, sama-sama sakit dan membekas.

"Maaf, Yuda."

Langkah kaki itu mulai lunglai, tubuhnya oleng dan menabrak anak laki-laki yang tengah memegang es teh. "Anjing!" pekiknya kaget kala dirinya terjatuh dan Yuda berada di atasnya.

"Yuda?" Dahi Sabah mengernyit kala melihat wajah Yuda yang sangat pucat, terlebih bagian bawah wajah anak itu belepotan darah. "Jum'at! Jum'at tolongin gue ada zombie!" teriaknya histeris, membuat Jum'at yang tengah fokus melihat-lihat pot tanaman di belakang sekolah menoleh.

Mata Jum'at melotot. "Zombie kepala lo tiga! Ini orang sekarat tolol!"

Tanpa pikir panjang dia mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya. Dibawa lari ke parkiran dan ditidurkan di jok belakang mobilnya. Sabah yang mengejar dari belakang terengah-engah, dia juga langsung membuka pintu mobil dan masuk.

Tidak ada bincang di perjalanan, Sabah terlalu enggan membuka mulutnya karena Jum'at mengendarai mobil dengan gila. Sabah hanya mampu merapal doa sebanyak mungkin, dia masih ingin hidup dan tidak mau mati konyol karena ulah sahabatnya.

Sesampai di rumah sakit, Jum'at kembali menggendong tubuh Yuda yang sudah sangat lemah. Dia berteriak panik karena heran kemana semua petugas kesehatan yang bertugas. Saat Yuda sudah dibawa masuk IGD, Jum'at dan Sabah duduk di kursi besi di depan ruangan itu.

"Kenapa lo nolongin dia? Bukannya lo benci kakaknya?" tanya Sabah, dia menyenderkan kepalanya ke dinding, mendongak menatap lampu-lampu.

"Gue benci Yuta, gue juga benci Yuda. Tapi gue juga tau rasanya disuruh menggantikan sosok orang lain, Sab. Gue pernah jadi Yuda karena sosok yang mirip Yuta, " jawab Jum'at amat pelan, untung saja Sabah berada di sampingnya.

Tangan Sabah menepuk-nepuk paha Jum'at. "Lupain itu, Jum'at. Dia udah gak ada, lo harusnya bisa keluar dari bayang-bayangnya."

"Mana bisa gue lupain orang yang mempermalukan gue di depan umum? Mana bisa gue lupa sama orang yang bikin masa kecil gue hancur? Gue gak bisa, Sabah, " lirih Jum'at, dia mengusap wajahnya kasar.

"Kerabat pasien?"

Kedua anak laki-laki itu menoleh, lantas berdiri menghampiri dokter. "Yuda gak papa, Dok?" tanya Sabah, wajahnya sangat penasaran.

Plak! Jum'at menampar lengan Sabah. "Tolol! Yuda udah pasti kenapa-kenapa, ganti pertanyaan!" marahnya kepada Sabah yang meringis, pura-pura menangis.

Pria dengan gelar dokter itu hanya bisa tersenyum lebar melihat kelakuan dua anak SMP di depannya. "Yuda cukup baik, dan saya rasa kalian harus memanggil orang tua Yuda, ada banyak yang ingin saya sampaikan. Permisi."

Jum'at dan Sabah saling melempar pandang. "Panggil gak?" tanya yang lebih muda sembari menaikkan kedua alisnya.

"Gak usah, orang tuanya gak bener, " jawab Jum'at asal. "Kita tinggalin aja Yuda disini, lapar gue." anak laki-laki dengan seragam sekolah itu memegang perutnya yang mulai berbunyi nyaring.

Sabah mengangkat bahunya tak acuh. "Terserah, gue ikut aja. Emang kita mau makan apaan? Gue request naspad dong."

Pernyataan Sabah membuat pemuda di sampingnya berdecak sebal. "Nasi padang mulu! Sekali-kali lo ikut gue makan makanan kesukaan gue, " protesnya.

"Lambung gue kampungan, Jum'at. Makan sushi satu biji, mualnya berhari-hari, " jelasnya seraya tersenyum lebar, mencoba mengingatkan sahabatnya jika dia punya lambung yang amat unik.

"Yaudah cepet! Lo yang nyetir." Jum'at melempar kunci mobil, ditangkap oleh Sabah dengan gampang.

Tak henti-hentinya anak laki-laki itu tersenyum, menatap piring-piring berisi lauk khas restoran padang. Ini baru selera Sabah, dia tidak pernah bosan kalau menu makanannya seperti ini.

"Emang Jum'at berkah."

Jum'at mengibas rambutnya kebelakang. "Iyalah, gue gituloh, " ucapnya percaya diri.

"Hari Jum'at maksud gue. Lo mah gak ada berkah-berkahnya."

Ucapkan selamat kepada Sabah yang akhirnya disuruh bayar makanan sendiri selepas berbicara seperti itu.














Kembali setelah sekian lama, lama tidak sih?

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now