Ayam Bakar

720 185 44
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Jum'at Nuraga, anak SMP yang sudah tak pantas dipanggil anak-anak. Dia sudah 16 tahun, Jum'at sedang memasuki fase remaja tingkat tengah bukan? Dia seharusnya berada di bangku sekolah menengah pertama, atau mungkin sekolah menengah kejuruan.

Namun, di kelas delapan tahun kemarin. Nilai pemuda itu kosong melompong, dia seakan-akan menghilang saat ujian kenaikan kelas. Dan karena ini, Jum'at menjadi sekelas dengan Sabah. Sahabat sehidup, kalau untuk semati Jum'at tidak mau, lebih baik Sabah duluan saja.

"Jum'at, sayang ku..., " ucap Sabah mendayu-dayu. Tangannya memeluk lengan sahabatnya, bibir merah muda itu dimajukan lima centi.

Jum'at mengernyit geli, dia menepis Sabah kasar. "Lo bisa gak sih waras sehari aja!" pekiknya sembari melanjutkan langkah yang sempat terhenti karena tingkah ajaib Sabah.

"Hari ini makan siang apaan, Jum?" Sabah yang tidak ada kapoknya merangkul bahu Jum'at, membuat wajah pemuda itu makin masam. "Gimana kalau nasi padang? Tapi lo harus bayarin gue, gak bawa duit soalnya."

Pemuda tinggi semampai itu menoleh, matanya mendelik tajam. "Sejak kapan lo bawa duit? Tiap hari lo makan pake duit gue!" Jum'at berniat menonjok perut Sabah, tetapi yang lebih muda sudah lebih dulu kabur.

Melihat Sabah berlari dengan tawa besar, pemuda itu menyunggingkan senyum kecil. "Gue gak pernah buat keputusan yang salah, dia masih butuh gue."

Jika Jum'at tajir melintir. Tujuh turunan, delapan tanjakan, sampai sembilan belokan pun hartanya gak bakal habis. Berbanding terbalik dengan Sabah yang hanya anak dari tukang sapu kebun rumah besar milik Jum'at.

Mereka berdua berteman sedari kecil. Sabah yang tidak memiliki ibu terpaksa dibawa ikut kerja oleh ayahnya. Dari situ lah Sabah sering bertemu dengan Jum'at, anak kecil yang tak memiliki teman karena selalu membawa boneka beruang coklat.

Ayolah, emang ada yang salah jika anak laki-laki menyukai boneka. Bukankah benda berbulu itu lucu, nyaman dipeluk, dan paling penting benda itu bisa menjadi pendengar yang lebih baik daripada orangtua Jum'at. Mari kita bahas itu lain waktu.

"Jum, arti nama Nuraga apaan?" tanya Sabah saat mereka duduk di salah satu bangku kantin untuk menunggu pesananan.

"Nuraga artinya simpati, " jawabnya asal. Dia sama sekali tidak tertarik dengan sesi tanya jawab, perutnya yang lapar membuat emosinya sedikit mirip dengan orang darah tinggi.

"Simpati? Tapi gak punya hati. Itu simpati apa kartu perdana?"

Pernyataan itu keluar bukan dari mulut Sabah, melainkan dari lidah Wira yang masih menaruh dendam atas kejadian yang menimpa Gefa di kamar mandi saat hari ketiga MPLS. Tak mungkin bisa Wira lupakan. Ya, walau Jum'at tidak menyakiti fisik Gefa. Namun, pemuda itu membuat trauma si bungsu Gefa kambuh.

Dengan cepat Tei menarik lengan Wira yang ingin menghampiri Jum'at lebih dekat, Yuda bahkan sudah berlari menghadang sahabatnya.

"Sorry, Bang. Temen gue lagi agak gak waras. Lanjutin ngobrolnya, Bang, " ucap Gefa sembari tersenyum lebar dan mengacungkan jempol.

Untung saja Jum'at sedang tidak berselera bertengkar, dia terlalu lapar hanya untuk meladeni tingkah adik kelasnya.

Tei berhasil menarik Wira hingga anak itu duduk di kursi yang cukup jauh dari meja Jum'at dan Sabah. "Lo jangan kayak gitu, Wir. Masih kelas satu aja belagu, " celetuknya pedas, dia tidak bisa membayangkan bagaimana suasana kantin jika saja tadi Jum'at melayangkan pukulan.

Kembali ke meja Jum'at. Dua piring nasi padang sudah di atas meja, sekaligus dengan satu gelas es jeruk untuk Sabah dan sekotak susu stroberi untuk Jum'at. Baru saja pemuda itu menyendok makanan, ada sebuah ayam bakar melayang dan mendarat di piringnya.

Jum'at menghela napas kasar, giginya bergemeletuk marah. Sedangkan Yuda dan kawan-kawan tertawa melihat itu, begitu juga Sabah. Si pelaku ayam bakar melayang mengigit bibir bawahnya kuat, dia meremat sendok takut.

Jangan salahkan Yuta, tapi salahkan ayam bakar yang keras dan sangat susah dipotong. Saat bel istirahat tadi, Mila sudah stand by di depan pintu untuk membawa Yuda makan siang di kantin bersama. Anak dengan pipi tirus itu bahkan tidak sempat mengiyakan lantaran tangan Mila lebih cepat menariknya.

Dan disinilah Yuta, kerah bajunya diremas oleh Jum'at. "Sekali ini saja, Nuraga, " bujuk Mila sembari mencoba melepasnya jemari Jum'at dari kerah Yuta.

Dengan terpaksa pemuda itu melepaskan mangsanya, berjalan meninggalkan kantin tanpa peduli teriakan protes Sabah perihal siapa yang akan membayar makanan.

"Kakak lo kenapa ada aja kelakuannya, Yud. Sehari gak mancing emosi kayaknya rugi banget." Gefa tertawa terbahak-bahak, tangannya memukul paha heboh.

"Kalau lo kena karma, gue mampusin aja, " ujar Wira.

__-__


Empat serangkai terlihat berjalan beriringan di tepi Jalan Kenanga, kaki mereka bergerak seirama menuju kedai ayam bakar kaki lima yang berada dekat dengan jembatan. Mereka berempat sedang membolos dari kelas Pak Chandra, guru matematika.

Yuda sebenarnya mengajak Mila, namun anak perempuan itu tidak mau karena matematika adalah pelajaran kesukaannya. Mila hanya masuk ke kelas tertentu, dia tidak akan membolos pelajaran matematika dan IPA.

"Lo mau ayam bakar atau ayam goreng?" tanya Wira kepada Gefa yang sibuk menonton si abang membolak-balik ayam bakar. "Gefa!"

"Emang ada ayam goreng?" Jemari Gefa menunjuk tulisan 'Ayam Bakar Pak Jaja' yang berada di tenda kedai. "Ini kedai ayam bakar, gak jual ayam goreng!"

Mendengar teriakan Gefa, anak itu cengar-cengir. "Ayam bakar komplitnya empat ya, Pak. Di bungkus aja."

Mereka berniat memakan ayam bakar di gudang sekolah yang disulap menjadi tempat nongki, lumayan untuk sekedar berbincang ringan atau tidur hingga bel pulang sekolah berbunyi nyaring.

Saat tiga yang lain duduk di kursi plastik, Gefa masih betah berdiri dekat si abang. Mata minimalis miliknya memperhatikan ayam yang dibolak-balik di atas bara api, terkadang anak itu juga terbatuk karena asap.

Dahi Gefa mengernyit kesal kala pria dengan perut buncit tiba-tiba berdiri di depannya, menghadang pemandangan ayam bakar yang sangat indah bagi Gefa.

"Ngantri dong, Pak! Saya yang udah berdiri sepuluh menit disini aja masih sabar nunggu. Bapak yang baru dateng masa nyalip, dikira lagi balapan apa?" sarkasnya.

"Ini pemilik kedainya, Dek, " sahut Abang yang membakar ayam sembari menahan tawa.

"Mampus karma!"





















Maaf telat (' . .̫ . ')

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now