Posisi Yuda

668 172 28
                                    


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Mila memapah Yuta dibantu Johnny, kedua kaki anak itu benar-benar lemas lantaran sembilan jam terkunci di ruang penyimpanan tanpa minum dan makan. Sialnya, Yuta tidak memakan apapun sedari pagi karena Pak Bahari terlambat bangun dan hanya memberinya uang jajan.

"Pulang ke rumah gue aja, Yut. Kalau lo pulang ke rumah lo, habis nanti, " ucap Johnny sedikit berbisik, berusaha menutupi pembicaraan mereka dari Mila.

Namun telinga Mila lebih peka dari apapun, dia mendengar perkataan bocah bongsor itu dan mengernyitkan dahi. "Habis? Habis gimana?"

Kepala Yuta menggeleng, dia menyunggingkan senyum manis. "Tidak gimana-gimana, Mila."

Mereka berjalan keluar gedung sekolah, menghampiri motor Johnny yang melipir di minimarket. Yuta dibantu duduk di salah bangku depan minimarket oleh Johnny. Sedangkan Mila berlari masuk ke minimarket untuk membeli roti dan air.

Johnny memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana, menatap orang di hadapannya. Kantung mata yang membengkak lantaran menangis, bibir pucat akibat kelaparan dan kehausan. Sepertinya Yuta lebih parah dari korban bencana alam.

"Lo beneran gak mau ikut gue aja? Ini udah jam sembilan, lo bisa kena omel sama ibu lo, " bujuk Johnny.

Johnny tahu persis bagaimana perlakuan keluarga Yuta terhadap bocah itu, di sekolah dasar pun Johnny sudah paham bahwa anak yang selalu saja di dorong saat meminta pelukan ibunya itu tidak pernah diharapkan hadir ke dunia ini.

"Terimakasih, John. Aku harus pulang, mereka pasti bingung mencariku."

BUK

Tubuh besar Johnny terhuyung ke kiri, mencium aspal dan batu kerikil. Dia meringis, Mila yang baru saja keluar dari minimarket berteriak histeris dan berlari menghampiri Johnny.

"Lo gak papa, John?" tanya Mila sembari menoleh, penasaran dengan pelaku yang memukul orang dalam rengkuhnya. "Yuda?" Dahi Mila mengernyit, matanya membola karena melihat sosok Yuda yang berdiri dengan angkuhnya.

Bahu Yuda naik-turun, kedua tangannya mengepal. Wajah anak itu merah merona, dia benar-benar akan meledak. Rasa membara di dadanya tidak bisa ditahan, dia langsung meninju pipi Johnny karena sungguh dia tidak bisa.

"Lo bisa gak, gak usah ganggu urusan gue! Gak usah sok jadi pahlawan!" teriak Yuda sembari menarih kerah baju Johnny kasar, membuat Mila yang sedang merengkuh Johnny harus terhempas ke belakang.

Anak perempuan itu meringis, telapak tangannya tergesek aspal karena digunakan untuk menahan tubuh agar tidak terjatuh. Yuta ingin sekali menghampiri Mila, namun tubuhnya lemas bukan main.

"Gue gak pernah sok jadi pahlawan, Yuda. Gue cuma kasihan sama kakak lo!" balas Johnny tak kalah keras, tepat di depan wajah Yuda.

"Yuta urusan gue! Lo seharusnya urusin hidup lo sendiri, gak usah urus apa yang harusnya jadi urusan gue!" Yuda kembali mengirim pukulan, membiarkan Johnny terhuyung karena kepalan yang menghantam pipinya sangat keras.

Mila berdiri, berlari kearah Yuda dan merentangkan tangan untuk menghadang anak itu. "Berhenti, Yud! Lo ini kenapa? Dia cuma mau bantu kakak lo. Emang kenapa kalau dia jadi pahlawan buat Yuta? Lo gak suka?"

Anak perempuan itu kelewat bingung dengan jalan pikir teman seperbolosannya. Dia tahu Yuda kurang menyukai Yuta, bahkan Yuda tidak pernah membantu Yuta saat kakaknya itu dirundung habis-habisan oleh siswa satu sekolah. Lantas kenapa jika ada yang membantu kakaknya, bukankah Yuda jadi tak repot?

Anak laki-laki itu menatap Mila, salah satu bibirnya terangkat membuat seringai. "Karena seharusnya gue yang ada di posisi itu, bukan dia!"


__-__


Hujan mengguyur pinggiran kota Jakarta, bau tanah mengudara masuk ke dalam indera penciuman kedua bocah yang berteduh di salah satu tenda penjual makanan. Bahkan sudah ada dua piring berisi pecel lele dan dua gelas teh manis hangat di depan mereka. Tetapi, tidak ada yang membuka suara.

Wira Baihaqi menghembuskan napas berat, mengusap wajahnya yang sedikit dingin karena suhu udara. "Gue tahu lo kesel, gue paham kalau lo gak suka posisi lo diganti sama orang lain."

"Tapi lo harusnya juga paham, kalau ini gak akan terjadi kalau lo gak pertahanin ego, " ujar Wira sembari mendorong segelas teh hangat, mengisyaratkan kepada Yuda untuk meminumnya.

Yuda memegang gelas itu, membiarkan rasa hangat menyapa pori-pori yang mulai mendingin.

"Gue, gue gak bisa, Wir. Perlakuan yang gue dapat karena kecacatan dia terlalu sakit. Sampai sekarang gue masih punya bekasnya." Yuda menarik lengan hoodienya ke atas, memperlihatkan luka bekas sayatan benda tajam yang memenuhi lengannya.

"Gue udah janji jaga dia. Tapi saat gue ingin bantu, langkah gue terhenti. Pikiran gue melayang ke masa dimana Ibu dan Ayah maksa gue buat gantiin posisi Yuta."

Netra sebulat kelereng itu membayang, pengelihatan Yuda buram karena air mata yang keluar.

"Gue harus jadi anak sempurna, sesuai kemauan mereka. Mereka bilang gue beruntung karena gak dipukulin kayak Yuta. Tapi sebenarnya gue juga dipukul, bahkan gue dibunuh, Wira."

Yuda menenggelamkan netranya pada milik Wira, mempersilakan sahabatnya itu untuk mengetahui betapa pahitnya berada di posisinya.

"Yuta emang disakiti secara fisik, tapi gue juga disakiti secara mental."


__-__


Johnny pamit mengantar Yuta, sedangkan anak perempuan itu berjalan sendiri menyusuri jalan pulang. Tidak jauh, hanya butuh satu jam lebih tiga puluh menit. Jemarinya mengetuk-ngetuk besi gerbang, memberi pertanda pada Pakde yang sedang menikmati secangkir kopi.

"Nona Mila kemana saja? Nyonya sudah pulang, beliau menanyakan Nona Mila terus, " ujar Pakde sembari kembali menutup gerbang.

Mila menghentak-entakan kaki, bibirnya mengerucut. "Aku cari si merah, Pakde. Tapi gak ketemu, " keluhnya sedih.

"Ha? Gimana, Non?" Pakde mengernyit heran, menatap nona kecil itu dengan mata menyipit. "Itu si merah ada ditempatnya, ternyata tadi di cuci sama pelayan bagian kebun."


















Maaf telat, saya habis vaksin kedua
( ꈍᴗꈍ)

Yuda | YutaWhere stories live. Discover now