13. Depressing Puberty

681 146 122
                                    

»»——⍟——««

1 MINGGU KEMUDIAN...

Livy terbangun di jam 5 pagi merasa ingin buang air kecil. Dilihatnya Rai masih tertidur damai dengan gaya menyamping. Ia pun beranjak dari tempat tidur hendak menuju kamar mandi.

Setelah selesai, Livy kembali ke kamarnya dan langsung berbaring di sebelah Rai. Tiba-tiba, gesekan kasur terdengar. Livy menoleh ke samping, Rai menggerakkan kakinya dengan pelan, tetapi seperti kaku menahan. Ia menekuk kakinya hingga tercipta posisi meringkuk, sedangkan sebelah tangannya meremasi bantal kepala.

Livy yang penasaran pun semakin mengintip. Wajah Rai tak tenang, dahinya mengerut samar. Bibirnya terbuka kecil seperti menahan napas.

"Astaga, apa dia mau pipis? Habislah kasurku."

Setelah itu, terdengar lenguhan halus dari mulut Rai. Cengkraman tangan pada bantal pun melonggar perlahan. Kaki tegangnya merileks tenang.

Livy kian menyelidiki sungguh-sungguh. Apa harus membangunkan? Jangan-jangan Rai bermimpi buruk.

Baru Livy ingin bergerak lebih dekat untuk membangunkan, sebuah aroma khas pun tercium dari arah tubuh bagian bawah Rai. Sebuah aroma yang tak asing di indera penciuman Livy sebab ia memang pernah menciumnya karena pengalaman. Ya biasalah.

"Ini kan... aroma calon bayi." Mata Livy terbelalak. Perlahan membalikkan tubuh Rai dengan segera.

Basah.

"Gosh! Apakah ini kali pertamanya? 2 bulan dia berada di bumi, artinya 2 bulan juga dia bertubuh dewasa. Dan mungkin ini adalah sebuah respons hormonalnya. Astaga, aku sudah seperti seorang andrologi saja."

"Rai, bangun." Livy membangunkan dengan halus. Mengguncang pelan supaya anak itu bisa terbangun sempurna.

Rai pun membuka mata setelah beberapa kali diguncang pelan oleh Livy. Mengerjap sebentar, lalu menatap Livy dengan tatapan yang menegang juga jantung yang mulai berdetak keras. Rai sampai harus menyentuh dada sebab jantungnya serasa ingin terlepas.

"Rai, celanamu basah. Kau harus membersihkannya dulu, ya." Livy tersenyum baik-baik agar Rai tidak merasa canggung.

Menurut Livy, Rai pasti bingung setelah mengalami ini untuk pertama kalinya. Teringat saat hal itu terjadi pada Travis bertahun-tahun lalu. Bahkan, si begajulan itu menangis pada ibunya.

Namun, Rai bergeming. Masih menatap Livy dengan tatapan yang tegang. Irisnya bergerak-gerak kecil.

"Rai, ada apa?" Livy bertanya lembut.

Rai semakin berdebar-debar. Ia malu, takut, bingung. Rasanya campur aduk. Lalu ia menatap ke bawah pada area basahan.

"R-Rai mengompol. Maafkan Rai," ucapnya dengan tatapan yang linglung bercampur bingung.

"Tidak apa-apa, kau–"

Tak memedulikan ucapan Livy, Rai berdiri dari tempat tidur dan langsung meninggalkan gadis itu begitu saja.

"Rai? Rai!" seru Livy yang tak digubris sama sekali.

Livy pun beranjak dari ranjang hendak menyusul Rai. Mengintip dari kusen pintu, dilihatnya Rai berlari menuju kamar mandi. Gadis itu menatap sendu.

"Pasti dia malu sekali. Apa yang harus aku lakukan? Ah! Travis."

Setelah mendapat ide, Livy segera melesat ke kamar Travis untuk meminta bantuan.

Di kamar mandi, ada Rai yang sedang dilanda kebingungan ekstrim. Rasanya ingin menangis namun tak bisa. Anak itu gamang, tak tahu apa yang baru saja dia alami. Mengapa mimpinya begitu aneh? Dan mengapa ia harus mengompol? Sebenarnya Rai tidak mengingat semua mimpinya, hanya sebagian. Namun tetap saja ingat.

RAI MEETS LIVY ✔️Where stories live. Discover now