25. The Wings Disease

627 148 164
                                    

»»——⍟——««

4 hari kemudian di Bumi. Hari ke-10 Rai sakit.

Pergi ke dokter 4 hari yang lalu, Rai diminta untuk melakukan prosedur rontgen dan tes-tes penunjang lainnya. Dan hasilnya sudah keluar, tinggal menunggu penjelasan dokter saja.

Sudah ada Rai, Livy, dan Frederick yang duduk di depan meja dokter.

"Bagaimana hasilnya, dok?" tanya Frederick.

Dokter itu masih mengamati baik-baik hasil rontgen dan tes laboratorium milik Rai sebelum menghela napas dan menatap ketiga orang itu dengan tatapan tidak bahagia.

"Maaf. Mungkin ini berat untuk diterima, tapi yang aku lihat pada hasil-hasil ini, di sisi kiri dan kanan punggung Rai, terlihat ditumbuhi semacam... tumor ganas."

Frederick dan Livy rasanya mau pingsan. Sungguh. Seketika tubuh mereka lemas dan menjadi dingin.

Sementara Rai yang belum pernah mengetahui apa itu tumor dengan entengnya bertanya, "tumor itu apa, dok?"

Dokter itu menghela napas, lantas menjelaskan pada Rai dengan rinci dan sabar.

Rai terdiam sesaat. Air wajahnya datar. Rasanya seperti dijatuhi batu besar.

"Jadi... sebentar lagi aku akan mati?" tanya Rai dengan pandangan kosong.

"Kalau segera dioperasi, aku harap itu tidak akan terjadi. Kau jangan menyerah dulu, ya." Dokter perempuan itu tersenyum hangat.

"Tapi setelah operasi pasti sembuh kan, dok?" tanya Frederick. Sedangkan Livy, masih shock belum mampu bicara.

Dokter tersenyum agak paksa. "Dilihat dari hasilnya, sel tumor di area punggung Rai terlihat sangat aktif, bahkan menyatu dengan tulang, otot-otot, serta syaraf-syaraf. Ini sepertinya agak langka, dan butuh dikonsultasikan dengan dokter-dokter spesialis juga supaya operasi dapat berjalan dengan–"

Air mata Rai menetes. "Tidak apa-apa, dokter. Kalau memang sesulit itu, tidak usah dioperasi," ujarnya pelan dan pasrah. Tatapannya masih kosong mengawang.

"Rai, jangan bicara seperti itu! Kau kan belum berobat, kau tidak boleh menyerah secepat ini," ujar Livy meluap.

Rai pun mengalihkan pandangan kosongnya pada Livy. "Tidak apa-apa, Livy. Setiap yang bernyawa pasti akan mati, begitu kata Ayahku. Kalau memang waktuku tinggal sedikit, ya sudah tidak apa-apa, tidak perlu dipaksakan," ujarnya lemah lalu tersenyum hambar tiada harap.

Livy menggeleng-geleng. Maniknya begitu cepat terendam, ia menggenggam tangan panas sang pemuda. "Jangan begitu..." lirihnya sakit hati. Rai hanya tersenyum tipis menatap Livy.

"Rai, jangan menyerah. Kau pasti bisa sembuh. Benar kan, dok?" ucap Frederick. Dan dokter itu pun mengangguk sambil tersenyum sendu.

Rai tersenyum kecil. "Tidak usah, Fred."

"Rai–"

"Aku ingin pulang sekarang, boleh, Livy?" tanya Rai lemah.

Livy masih berlinang air mata. Ia pun menatap dokter, dan dokter mengisyaratkan untuk menuruti Rai saja. Sebab orang sakit seperti ini tidak baik jika dipaksa-paksa.

Lantas, pulanglah ketiga orang itu. Rai duduk di kursi roda, didorong oleh Frederick. Sudah 2 hari tak mampu lagi berdiri dan berjalan, rasanya tubuhnya akan remuk redam jika dipaksakan berjalan.

. . .

Sesampainya di rumah, Rai langsung dibawa ke kamar untuk beristirahat.

Apa berbaring? Tidak. Dia tengkurap. Rai tidak bisa berbaring, paru-parunya seperti tertekan dari belakang. Sesak. Dan seluruh badannya jadi begitu sakit.

RAI MEETS LIVY ✔️Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora