15. City Light

650 150 131
                                    

»»——⍟——««

Hari-hari silih berganti, 10 hari sudah Rai tidak tidur dengan Livy. Dan 10 hari juga Rai tidak ikut Livy ke mini market tuk menemani.

Semuanya jadi canggung gara-gara si mimpi basah. Sebenarnya tidak ada yang mempermasalahkan, hanya Rai saja yang terkesan membangun dinding antara dirinya dan semua orang. Ia merasa dirinya butuh jarak dari semua orang, supaya ia tidak berbuat salah.

Bocah yang sudah bukan bocah lagi itu sedang duduk di teras rumah sekarang. Sudah 1 jam ia duduk sendirian. Aktivitasnya itu-itu saja; termenung melihat jalanan, menyaksikan kendaraan lalu-lalang, dan memerhatikan orang-orang dewasa yang tengah berinteraksi di jalanan.

Belakangan, Rai gemar sekali menyendiri. Yang ia lakukan ketika kebimbangannya menerpa adalah membereskan dan membersihkan rumah, mengelap perabotan, menyiram tanaman, mencuci piring, mencuci pakaian dan menyetrikanya. Kalau lelah, ia akan menonton TV sampai tertidur di sofa atau duduk di teras menatap aktivitas manusia.

Alhasil, Livy dan Travis yang biasanya membagi tugas untuk kemaslahatan rumah, tidak kebagian tugas sama sekali sebab Rai sudah melakukan semuanya tanpa disuruh.

Memasak. Hanya itu yang Rai belum bisa. Dan memasak. Hanya itu saja tugas Livy di rumah.

Rai itu pintar, sekali-dua kali diajari sudah langsung paham. Bahkan terkadang, ia paham hanya karena memerhatikan, lantas langsung bisa memeraktekkan. Makanya, baru 3 bulan hidup sebagai warga dewasa di L.A, sudah banyak sekali pekerjaan yang bisa Rai lakukan.

Tiba-tiba, Livy datang menghampiri Rai yang ada di teras. Ia pun memasang senyum termanisnya seraya duduk di kursi kayu sebelah Rai.

"Boleh aku duduk di sini?" tanya Livy ramah.

Rai menoleh. "Boleh. Ini rumahmu, masa tidak boleh?" Ia tersenyum.

Livy balas tersenyum, Rai kembali menatap lurus ke depan.

Warna rambut Rai sedikit lebih redup, Livy memerhatikan itu sejak beberapa hari lalu. Tidak terlalu signifikan, namun biru muda terang itu sedikit lebih menggelap. Dan intonasi bicara Rai, sudah lebih tenang dan formal. Tidak semenggemaskan sebelumnya.

Tak mau tenggelam dalam hening lebih lama, Livy pun berdeham. "Rai, Bibi Nancy tadi menanyakanmu. Katanya, sudah lama tidak melihatmu, dia jadi rindu," ungkapnya sambil tersenyum.

Rai tersenyum juga, lalu menoleh lagi pada Livy. "Aku juga rindu pada Bibi Nancy. Besok aku akan pergi ke rumahnya," balas Rai.

Kemudian, hening kembali menyerbu. Tatapan mengawang Rai kembali pada jalanan, membuat Livy merasa tak dipedulikan.

Namun, Livy menghela napas sabar. Ia tersadar bahwa Rai hanyalah bocah yang sudah dihadapkan beragam cobaan. Lalu, masa pubertas datang terlalu cepat, semakin membuat Rai kelimpungan untuk memahami hidupannya.

Gemuruh pikiran yang tengah Rai rasakan tidak bisa dibilang remeh. Namun dibanding menangis dan mengeluh, kali ini, Rai memilih diam. Menelan dan mencerna semuanya tak mau merepotkan.

"Rai."

"Ya?"

"Kau tampak lebih kurus. Makanlah lebih banyak, jangan bekerja terus," ucap Livy dengan sorot redup.

"Soalnya... kalau aku tidak melakukan apa-apa, aku sering merasa bingung dan ingin menangis. Ayah bilang, kalau sudah besar tidak boleh menangis, makanya aku selalu bekerja supaya tidak bingung dan lupa untuk menangis," ujar Rai jujur tanpa menatap Livy.

RAI MEETS LIVY ✔️Where stories live. Discover now