PROLOG

3.7K 426 4
                                    

»»----><----««

Hari itu melelahkan. Lebih melelahkan dari biasanya. Shasta melempar tas sekolahnya asal, langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur tanpa mengganti seragamnya terlebih dahulu. Ia merogoh ponsel di kantung seragam, membuka room chat grup yang sejak tadi tidak berhenti mengirimkan pesan. Shasta mengernyit saat membaca berita yang disampaikan Via, sahabatnya. Gadis itu memberi tahu teman-teman yang lain kalau kakak kelas incaran Shasta sekarang sudah memiliki pacar, dan seketika grup chat itu riuh.

Shasta memijat pelipisnya setelah membaca chat dari teman-temannya itu. Gadis itu baru saja pulang usai menjaga toko bunga milik sang Ibu, dan sekarang berita tidak menyenangkan itu membuat suasana hatinya semakin buruk.

Gadis itu memang sedang menyukai kakak kelasnya itu beberapa bulan terakhir. Shasta juga tahu betul saat dia menyukai Jefri, laki-laki itu sedang menjalani masa PDKT dengan teman sekelasnya, jadi Shasta tidak berharap banyak. Yah, walau hatinya sedikit sesak mendengarnya.

"Shastaaa..!"

Mendengar teriakan ibunya dari lantai bawah, Shasta berdecak malas, segera beranjak dari kasurnya. Ia sudah siap mendengar apapun perintah atau omelan yang akan disampaikan sang Ibu.

"Kenapa, ma?" tanya Shasta seraya menuruni tangga.

"Sini, bantuin mama pindahin itu ke bawah." Wanita itu menunjuk dua tumpuk kardus berukuran sedang yang ada di ujung ruangan.

Mereka baru beberapa hari ini pindah ke rumah tua peninggalan nenek dari ibunya. Masih banyak barang-barang yang harus dikeluarkan dan ditata. Kardus-kardus berisi perabotan rumah memenuhi tiap sudut rumah tua tersebut. Namun, walau sudah tua dan banyak debu, rumah itu masih layak tinggal. Kebanyakan interior rumah itu terbuat dari kayu jati. Memberi kesan antik.

Shasta mengangkat sekaligus dua kardus yang lumayan berat tersebut. Ia tidak tahu apa isi dari kardus tersebut dan Ia juga tidak ingin tahu. Gadis itu ingin cepat-cepat merebahkan dirinya di kasur kesayangannya.

"Hati-hati bawanya," sahut sang Ibu, memperingati Shasta.

Meraba dinding dengan tangannya, Shasta akhirnya menemukan sesuatu yang sedari tadi Ia cari. Saklar lampu. Shasta sudah sampai di ruang bawah tanah. Sebenarnya Shasta belum sempat berkeliling mengeksplor rumah neneknya itu karena gadis itu terlalu sibuk. Sibuk dengan pekerjaan sekolah yang menumpuk dan toko bunga, jadi Ia tidak tahu pasti seluk-beluk rumah tua tersebut.

"Kalo udah selesai, naik, ya. Makan," sang ibu sedikit berteriak agar terdengar oleh Shasta yang berada di lantai bawah.

Begitu selesai dengan kardus-kardus tersebut, Shasta hendak langsung naik ke lantai atas. Berada di ruangan tersebut membuatnya terbatuk-batuk karena debu yang menutupi tiap inci ruangan. Shasta mengibas-ngibaskankan tangannya agar debu di depan wajahnya pergi, tapi karena hal itu, Ia menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya di tengah ruang bawah tanah tua yang membosankan itu. Sebuah pintu kayu dengan ukiran klasik yang rumit. Tertutup oleh debu tebal dan beberapa jaring laba-laba di sisinya. Samar-samar, sinar berwarna ungu keluar dari tiap celah pintu itu, berhasil menarik perhatiannya. Shasta mendekati pintu itu perlahan. Tangannya meraih sebuah palu tua berkarat di dekat pintu. Tidak ada orang lain yang tinggal di sini kecuali Ia dan ibunya. Bisa saja itu maling.

"Shasta! Udah belum, sih? Makanannya keburu dingin, nih," teriak sang Ibu dari meja makan.

Teriakan itu langsung menyadarkan Shasta. Gadis itu sempat menoleh kearah sumber suara ibunya, dan saat iya melihat Kembali ke arah pintu tua, cahaya ungu itu sudah menghilang. Shasta bergidik ngeri. Atmosfer di sekitar pintu itu terasa aneh. Membuatnya tidak nyaman. 

 

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.
He's the VillainDonde viven las historias. Descúbrelo ahora