25. Umbrella

820 160 8
                                    

»»----><----««

Ruangan sepi dan lembab itu hening. Orang yang terkurung di balik jeruji besi hanya diam terduduk, memikirkan sesuatu.

Klontang!

Seseorang melempar batu berlian berwarna merah darah kedalam jeruji besi. Orang yang tertahan di dalamnya mendongak. Wajah kusut penuh debu terlihat lewat cahaya remang-remang obor.

"Bulan purnama masih panjang, jadi tetaplah diam di dalam sini dan jangan membuat masalah. Biar aku yang mengurus sisanya." Orang dengan mata bak rubah itu menatap orang yang terkurung dengan datar.

Orang yang di kurung mendengus. "Lalu? Setelah itu kau ingin aku kabur melewati portal ke dunia modern? Dan apa rencana mu selanjutnya?" Orang itu memungut batu kristal tersebut.

"Henry," Orang dengan mata bak rubah itu mendekat, mengecilkan volume suaranya. "Kau cukup diam dan ikuti alur yang sudah ku buat. Jika kau kembali memutuskan untuk membuat masalah lagi, maka di pastikan kakak mu itu bisa menghukum mu lebih dari ini."

Seringai Henry mengembang. "Apa aku bisa mempercayai rencana mu, Marquis Sean?"

"Itu terserah pada mu." Sean berlalu pergi dari penjara, kembali memakai tudung jubahnya.

Henry menatap kepergian rekan kerjanya itu yang semakin menjauh, hilang di balik pintu. Ia terkekeh pelan, memperhatikan batu kristal di tangannya.

"Aku tidak ada waktu menunggu sampai bulan purnama. Batu Alzeris dan Ilzeris, aku membutuhkannya." Henry meremat kuat batu kristal di tangannya.

2 hari yang lalu, lelaki itu terbukti bersalah atas pengedaran tanaman ilegal, korupsi dana Kota Pesisir Pantai dan pembunuhan berencana terhadap Alex. Sebenarnya Alex bisa saja menambahkan tuntutannya seperti penculikan, penyiksaan, dan pemaksaan terhadap Lucius. Namun jika orang-orang tahu kalau Duke terdahulu masih hidup, sedangkan ratusan orang sudah mendatangi pemakamannya, itu akan menjadi urusan yang merepotkan.

Sean sudah menyusun dengan detail rencana mereka selanjutnya jika sewaktu-waktu mereka ketahuan tentang pengedaran tanaman terlarang tersebut. Kemana mereka akan kabur, di mana mereka akan menetap dan pastinya tempat yang paling tidak mungkin di temukan adalah dunia modern.

🍃

"Satya, Yuli, gw pulang duluan ya." Shasta meraih tasnya di atas kursi.

Pesta masih berlangsung dengan meriah. Orang-orang menari dan mengobrol. Minuman dan makanan semakin banyak di bagikan.

"Eh, kenapa?" Tanya Yuli yang tengah asyik makan.

"Gapapa, gw gak enak badan tiba-tiba." Jawab Shasta dengan nada suara lesu agar lebih meyakinkan.

"Oh, yaudah gw anter-"

"Gak usah, gw naik bus aja. Bus terakhir masih 1 jam lagi kok," tolak Shasta sopan. Ia tidak enak kalau harus merepotkan Satya.

Shasta berlalu pergi dari ruangan pesta, berjalan di sepanjang lorong hotel. Jalannya lesu, wajahnya kusut, benar-benar seperti tidak ada semangat hidup.

Dia marah ya? Ya pasti lah dia marah! Pasti ilfeel deh... DUH TAU AH! Shasta mengacak rambutnya. Wajahnya semakin kusut.

Shasta melihat jam di ponselnya yang menunjukkan pukul 10 malam. Jika Sang ibu tahu dan dia tidak nge-kos, bisa-bisa dia di kunci di luar rumah.

He's the VillainWhere stories live. Discover now