39. Remembering

693 153 24
                                    

»»----><----««

September 2029

Shasta berjalan lesu, keluar dari rumah sakit yang beberapa bulan terakhir ia kunjungi secara rutin tiap minggu. Bukan karena memiliki penyakit, tapi karena ia akan selalu mengalami ketakutan dan kepanikan yang teramat sangat apabila mendengar suara keras, khususnya seperti suara petasan atau ledakan. Jujur saja, ia sudah muak terus-menerus mendatangi ruangan berbau obat tersebut. Setiap kali psikiaternya menanyakan sesuatu, ia hampir tidak bisa menjawabnya. Tidak mungkinkan ia menjawab semua ini berawal sejak ia mengetahui soal dunia paralel.

Gadis itu terus berjalan keluar rumah sakit hingga sampai di stasiun bus. Tak butuh waktu lama sampai akhirnya bus tujuannya sampai.

Masih dengan lesu, Shasta menaiki bus tersebut. Untungnya tidak banyak penumpang saat itu, jadi ia masih kebagian tempat duduk.

Suara dering ponsel memecah lamunannya yang tengah memandang ke luar jendela. Saat Shasta meraih ponsel dari tasnya, nama Sang ibu yang terpampang di layar ponsel.

"Iya, halo, ma?"

"Kamu udah pulang, Ta? Udah malem loh ini." Suara lembut Sang ibu terdengar dari sebrang sana.

"Iya, ini lagi mau pulang. Udah di bus." Jawab Shasta lesu.

"Bagus deh kalo gitu, berarti kamu gak di suruh lembur lagi. Yaudah kalo gitu, anak mama hati-hati ya pulangnya. Jangan lupa pintu kos-nya di kunci, terus makan yang banyak."

Shasta tersenyum tipis. "Iya, mama juga baik-baik, ya. Jangan kecapean jaga toko bunga."

Setelah menyampaikan salam perpisahan, Shasta menutup panggilan tersebut. Ia menghela nafas kasar, menyisir surai panjangnya kebelakang. Jujur saja, ia benar-benar merindukan ibunya. Banyak yang ingin ia ceritakan ke wanita itu, termasuk rasa takutnya pada suara keras. Namun, sudah di pastikan ibunya tidak akan percaya. Ia tidak memiliki teman cerita selain kucing yang ia pelihara-atau lebih tepatnya, kucing jalanan yang suka menunggu makanan di depan kamar kos-nya.

Ia masih tidak bisa lepas dari kenangan mengerikan tersebut. Perang yang memakan ratusan nyawa, termasuk nyawa orang-orang yang ia sayangi. Sudah 5 tahun berlalu, dan Shasta sudah berusia 26 tahun sekarang. Namun, mimpi buruk itu masih terus menghantuinya.

Suara dering ponsel kembali terdengar, membuat Shasta berdecak kesal akibat tidurnya terganggu. Ia kembali merogoh tasnya, meraih ponsel, dan nama Yuli yang tertera di layar ponsel tersebut.

"Apaan?" Tanya Shasta malas.

"Ta, besok lu libur' kan?"

Shasta hanya menjawab dengan dehaman singkat.

"Temenin gw ke acara nikahan temen kantor gw, ya? Please... Yang lain soalnya juga pada bawa pasangan atau temen. Masa nanti gw sendiri," mohon Yuli dengan suara yang dibuat memelas.

"Maaf, Yul. Besok hari libur gw satu-satunya. Gw mau di kasur seharian-"

"Nasi kotaknya seorang dapet 2 biji-"

"Ok, deal."

Setelahnya, Shasta menutup panggilan tersebut. Pada akhirnya, Shasta menyetujui permohonan sahabatnya itu demi nasi kotak. Lumayan, pikirnya. Apalagi ini sudah akhir bulan.

🍃

Lampu lorong kos yang gelap itu sengaja tidak Shasta nyalakan agar tidak mengganggu penghuni lain yang mungkin tengah tertidur. Cahaya lampu depan yang remang-remang sudah cukup membantu. Yah, walau sekitarnya tetap saja gelap.

He's the VillainWhere stories live. Discover now