38. Tulip Plantation

591 145 25
                                    

»»----><----««

Sinar jingga matahari menyinari bumi dengan hangat sore itu. Angin berhembus menyejukkan. Bau pepohonan pinus begitu menenangkan. Sesekali terdengar suara burung yang bercicit.

Lelaki berpakaian rapih dengan sekuntung bunga edelweis di tangannya itu hanya diam, menatap sendu mausoleum yang menandakan bahwa itu adalah makam bangsawan.

Ia menaruh bunga edelweis itu di atas nisan yang sudah berumur sekitar 2 tahun tersebut. Itu nisan terakhir yang ia kunjungi setelah sebelumnya mengunjungi 4 nisan lainnya.

Setelahnya, lelaki dengan surai kecoklatan itu mensejajarkan tingginya dengan batu nisan. Tangannya bergerak untuk mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitaran makam. Senyum tipis yang menunjukkan kesedihan tergambar di wajahnya.

Lelaki itu menghela napas pelan. "Aku rindu berdebat denganmu." Ujarnya. "Walaupun ujung-ujungnya aku selalu kalah." Ia memangku dagu di lututnya. "Saat itu, kau masih memegang Batu Alzeris, jadi seharusnya kau masih mengingatku, entah di tubuh yang mana. Benar' kan?" Lelaki itu terdiam sebentar. "Tapi aku harus cari di mana? Luar kota? Luar negeri? Atau di luar dunia?"

Setelah menghabiskan waktu beberapa menit di sana, lelaki itu pergi meninggalkan area pemakaman, berjalan menuju kudanya. Ia sempat menghapus jejak air mata di pipinya, sebelum akhirnya memacu kudanya untuk berlari.

Kuda itu terus berlari di hamparan rumput luas, di temani oleh sinar mentari hangat berwarna jingga yang siap tenggelam di kaki barat. Sepanjang perjalanan, daun-daun berwarna kekuningan berguguran. Sekelompok rubah merah bergelung di bawah pohon dengan ekor mereka. Benar-benar pemandangan yang menyejukkan.

Lelaki itu menghentikan kudanya di depan hamparan danau luas dengan beberapa kursi panjang yang dipenuhi guguran daun. Lelaki bersurai kecoklatan itu turun dari kudanya, menempatkan diri di kursi taman. Bersender seraya menikmati sapuan halus angin musim gugur yang menerpa wajahnya.

Lelaki itu termangu menatap danau yang memantulkan cahaya matahari. Banyak kenangan indah yang ia lalui di danau tersebut. Saat ia mengayuh perahu untuk Shasta, bermain lempar batu bersama Caitlin, dan kenangan masa kecilnya bersama 2 orang sahabatnya. Danau itu menjadi saksi bisu seluruh kenangan sukanya, dan sekarang, seluruh kenangan itu tidak dapat lagi terulang. Ia merasa begitu kesepian. Apalagi mengingat hanya dia yang tersisa dari perang tersebut. Ia masih sulit menerimanya.

Lama termenung, hingga akhirnya rasa kantuk mulai menyerang. Apalagi dengan terpaan angin sepoi-sepoi yang menyapu halus wajahnya. Perlahan matanya mulai terpejam sebelum akhirnya ringkikan kuda membuatnya membelalakkan mata.

"Hei! Kembali ke sini!" Lelaki itu meneriaki kudanya yang telah berlari tunggang-langgang menjauhi danau akibat tersengat lebah.

Lelaki itu segera bangkit dari duduknya, berlari menyusul kuda. Ah, benar-benar merepotkan. Seharusnya ia tidak membawa kuda yang baru di latih beberapa bulan.

Tanpa lelaki itu sadari, ia sudah masuk ke perkebunan tulip di dekat danau. Beberapa tulip hancur akibat terinjak kuda dan juga kakinya. Namun, ia tidak peduli. Ia bisa mengurus itu nanti. Yang terpenting sekarang adalah, kudanya harus kembali atau ia terpaksa berjalan kaki untuk mencari angkutan umum.

"Berhenti di situ!" Teriakan itu sukses menghentikan langkah lelaki itu.

Tak jauh darinya, ia melihat seorang gadis berambut pendek kecoklatan yang tengah memegang keranjang berisi penuh tulip. Jika dilihat dari penampilannya, gadis itu sepertinya pekerja di kebun tersebut.

Gadis itu berjalan cepat menuju lelaki itu. Ekspresi wajahnya menunjukkan kekesalan yang teramat sangat. Namun, begitu jarak mereka terpaut 1 meter, ekspresi gadis itu seketika berubah drastis. Ia mematung di tempatnya.

He's the VillainWhere stories live. Discover now