EPILOG

1K 151 37
                                    

»»————><————««

Mobil hitam itu terus melaju di jalanan lenggang. Kedua orang yang berada di dalamnya hanya saling terdiam penuh canggung. Shasta mencoba menyibukkan diri dengan ponselnya, sedangkan Shan fokus dengan jalanan di depan sana. Namun sebenarnya, walaupun tampak sibuk satu sama lain, keduanya merasa canggung.

Shan sesekali melirik Shasta yang masih sibuk dengan ponsel di tangan kirinya. Ia sangat ingin menggenggam tangan kanan gadis itu yang tengah menganggur di atas pahanya, tapi entah mengapa nyalinya tiba-tiba saja menciut. Padahal hanya sekedar pegangan tangan.

Setelah beberapa lama mobil itu tetap melaju, akhirnya Shasta merasakan tangannya yang di genggam lembut oleh lelaki itu, sementara satu tangannya lagi tetap berada di setir mobil. Ia menoleh kearah Shan yang sekarang telinganya memerah, tapi wajahnya tetap datar, masih fokus menatap jalanan. Senyum tipis terukir di wajah Shasta, membalas genggaman lelaki itu.

"Festival Musim Panas di sini itu kayak gimana?" Shasta memulai topik pembicaraan.

"Sama seperti festival pada umumnya, tapi yang membedakan tahun ini, tanggalnya bertepatan saat Festival Musim Panen Ikan, jadi sekarang festivalnya di adakan di dekat pantai." jelas Shan, masih fokus dengan jalanan.

Sementara Shan bercerita tentang apa saja yang ada di festival itu, pikiran Shasta sejak tadi tertuju pada makanan. Padahal tadi ia sudah sempat makan di rumah Shan, tapi sekarang ia kembali lapar. Gadis itu jadi tidak sabar untuk sampai di festival itu.

Setelah 15 menit perjalanan, akhirnya mobil itu sekarang sudah terparkir di tempat parkir festival. Di depan sana, hamparan pasir putih dan birunya lautan bisa langsung terlihat. Tempat itu amat ramai sekarang. Orang-orang bersama keluarga, teman, dan pacar mereka memenuhi booth makanan dan tempat permainan.

Begitu mereka keluar dari tempat parkir, antensi Shasta langsung terpaku pada sebuah tempat makan yang tidak terlalu ramai. Dari apa yang di perlihatkan di menunya, sepertinya makanannya enak dan cukup menjanjikan. Gadis itu segera bergabung bersama orang-orang yang tengah mengantre, di susul dengan Shan di belakangnya.

"Kau mau pesan yang mana?" Tanya Shan, melihat-lihat menu yang ada di atas meja kasir.

"Emm... Yang ayam pedas aja. Kalo lu?" Tanya Shasta balik.

"Kalau begitu aku juga sama," jawab Shan.

Begitu giliran mereka memesan, tiba-tiba saja kedua orang itu terdiam bagai mematung di tempat. Lidah mereka terasa kelu begitu saja. Membuat sang penjual kebingungan karena mereka tidak segera menyebutkan pesanan mereka.

"Mau pesan apa ya?" Tanya lelaki di balik meja kasir.

Sontak, Shasta langsung tersadar dan segera menyebutkan pesanan mereka. Setelah selesai dengan urusan pesan memesan, mereka segera duduk di kursi kosong sementara menunggu makanan disiapkan.

"Kau juga terkejut?" Tanya Shan begitu mereka sudah duduk.

"Iya," jawab Shasta, masih menatap lelaki yang tengah sibuk melayani pembeli di balik meja kasir.

Wajah lelaki itu sangat mirip dengan Sean. Entahlah apa dulunya dia adalah Vonsean Fersse atau Sekala Wirasena.

"Dia Marquis Sean, bukan ilmuwan aneh itu," ujar Shan, seakan bisa membaca isi pikiran Shasta. "Nasib ilmuwan itu sama seperti sahabatmu. Keberadaannya menghilang begitu saja, karena meninggal di dunia yang bukan asal mereka."

Shasta mengangguk-angguk paham, kembali menatap lelaki di balik meja kasir itu. Entah mengapa melihat senyum lelaki itu yang selalu mengembang setiap ada pelanggan yang datang, malah membuatnya merasa sedih. Untunglah dia tidak mengingat bagaimana nasibnya di kehidupan masa lalunya. Padahal lelaki itu tidak tahu apa-apa soal dunia paralel, dan hanya ingin pulang kepada keluarganya setelah usai menempuh pendidikan di akademi.

He's the VillainWhere stories live. Discover now