7. Go Home

1.2K 251 34
                                    

»»————><————««

Suara derap kaki kuda memecah keheningan di hutan tersebut. Angin dingin malam menusuk kulit, berhembus, membuat dedaunan kuning saling bergesekan dan berguguran. Kuda putih itu terus masuk semakin dalam menuju hutan yang daun-daunnya sudah menguning sempurna.

Perasaan Shasta campur aduk. Gadis itu marah karena sikap Alex yang seenaknya, Ia juga lega karena sebentar lagi Ia akan pulang ke rumahnya—atau bisa dibilang, pulang ke dunianya. Shasta sangat merindukan ibu dan teman-temannya.

Kuda putih itu berhenti tepat tiga meter dari bekas pintu kuil yang tidak terpakai dan sudah hancur karena perang. Lumut dan tanaman rambat memenuhi pintu kuil tersebut.

"Apa kau yakin ini tempatnya? Bangunan ini tidak memiliki dinding ataupun atap, bagaimana bisa disebut sebagai rumah?" Alex turun dari kudanya, juga membantu Shasta turun.

Shasta tidak mempedulikan pertanyaan lelaki itu. Gadis itu segera pergi mendekati kuil tua tersebut dan melangkah melewati pintunya, berharap Ia akan langsung berada di ruang bawah tanah rumahnya seperti saat itu. Namun hasilnya nihil. Ia masih dapat melihat Alex yang berdiri kebingungan di samping kudanya. Shasta mencoba melewatinya berkali-kali, tapi tetap tidak terjadi apa-apa. Kuil itu tidak bergeming. Shasta menghembuskan napas kasar. Ia tak dapat membendung lagi air matanya yang akhirnya lolos. Shasta tidak tahu apa lagi yang harus Ia lakukan agar bisa pulang.


"Sebenarnya dari tadi kau sedang apa?" Alex berdiri di depan Shasta yang tengah sibuk menghapus jejak air matanya.

"Gue gak tau. Waktu itu gue dateng ke sini lewat sini, tapi pas gue coba lagi malah gak bisa." Shasta terlihat putus asa.

Alex mengedikkan bahunya. "Aku tidak mengerti apa yang kau maksud, intinya aku sudah mengantarmu kesini sesuai janjiku." Lelaki itu mendekati kudanya, naik di atasnya. "Selamat mencari rumahmu." Alex melajukan kudanya pergi dari sana, meninggalkan Shasta dan keputusasaannya sendirian di tengah hutan.

Gadis itu mencak-mencak seraya mengacak rambut panjangnya, membuat tataan rambutnya berantakan. Ia membuka arloji yang sempat ia ambil di meja kamarnya, tidak tahu itu milik siapa. Jam menunjukkan pukul sepuluh malam, dan Ia berada di tengah hutan. Sendirian.

"Sekarang gue harus apa?" gumam Shasta, melempar arloji itu sembarang arah.

Shasta bersandar di dinding pintu kuil seraya menggigiti kuku jarinya. Suara lolongan serigala menemani malamnya yang mencekam di hutan itu. Shasta hanya bisa berdoa dalam hati semoga tidak ada hewan buas di sekitar sana.

Suara lolongan serigala yang bersahut-sahutan terdengar semakin kencang. Demi menenangkan dirinya, Shasta bernyanyi asal, lagu apapun yang melintas di pikirannya akan Ia nyanyikan untuk menemaninya di tengah hutan tersebut

"Aku, janda kembang—astaga!" Shasta memekik tertahan karena suara yang berasal dari semak belukar di dekatnya. Semak itu terus bergerak dan tak lama kemudian seekor ular coklat keluar dari semak. Shasta reflek menjauh, berusaha menahan jeritannya agar tidak mengundang hewan lain yang bisa saja lebih berbahaya. Untungnya ular itu hanya berlalu, kemudian kembali masuk kedalam semak belukar.

Udara dingin malam menusuk kulitnya, di tambah lagi bagian lengan gaun yang Ia pakai sangat tipis. Tangannya mendekap tubuhnya erat, berusaha menyalurkan kehangatan. Sekitar setengah jam menunggu, Shasta tak kunjung melihat perkembangan. Tidak ada tanda-tanda portal itu akan terbuka di kuil itu. Shasta mulai kehilangan harapan dan memutuskan untuk mengikuti kembali jalan yang dilalui Alex untuk keluar dari hutan itu.

He's the VillainKde žijí příběhy. Začni objevovat