Sepuluh. Lembah Lavender.

700 153 14
                                    

Hari ini, Hari Selasa di musim penghujan. Tepat tengah hari.

Cuaca cerah dan berangin tipis.
Tapi wajah Jay mendung menuju badai. Aku berusaha waspada supaya tidak tersambar petirnya.

Dari beberapa kecanggungan yang aku terima sejak tinggal bersama saudara-saudara baru, inilah momen yang paling mengejutkan.

Aku terburu-buru mengejar Jay keluar dari rumah mewah si Pengantin Bangau. Setelah kata-kata membagongkan yang diucapkan wanita itu tadi, Jay tampak berusaha keras untuk mengendalikan emosinya.

Aku mengubur rasa penasaran tentang siapa wanita itu, apa hubungannya dengan Jay? kalau dia segera menikah dengan orang lain, buat apa dia mengharapkan Jay balik lagi?

Kami menyimpan pakaian seragam di jok belakang. Lalu masuk dan mobil bergerak keluar.  Jay mengendalikan mobilnya secara biasa-biasa saja, tapi aku yakin di dalam hatinya dia ingin menekan pedal gas kuat-kuat.

Masih dengan debar jantung yang gak karuan dan ribuan pertanyaan di kepala, aku mengumpulkan keberanian menawarkan minum pada Bang Jay. Gak muluk-muluk, cuma air mineral dalam botol.

"Mau aku ambilin minum? Muka Abang kering kerontang kek gurun pasir...," tawarku dengan segenap doa, mudah-mudahan aku ga dilempar keluar jendela.

Jay hanya melirik sebentar, lalu kembali menatap jalanan.

OK, gak papa, aku dicuekin gakpapa.
Yang penting body-ku masih duduk di sebelahnya, belum dihempas ke trotoar.

Bibir Jay merapat dan suasana hening. Sampai aku berkali-kali meliriknya, mengecek kondisi Jay, karena bunyi nafasnya pun ga kedengaran.

Setelah 15 menit berkendara, Jay menepikan kendaraan di sebuah pelataran parkir luas. Dia menoleh padaku sambil melepas sabuk pengaman.
"Kayaknya lo yang lebih butuh minum," katanya.

Dia kembali memimpin masuk ke dalam cafe. Dan aku kembali berjalan cepat mengikuti di belakangnya. Lebih mirip sekretaris pribadi.

Dia membawaku duduk berhadapan di halaman belakang cafe yang berbatasan dengan lembah hijau yang curam. Dilengkapi pemandangan indah city view di kejauhan. Kotaku memang jagonya tempat hangout dengan landscape menakjubkan.

Jay mempersilakan aku memesan makan siang, sementara dia memesan air mineral dingin.

"Gue gak mood makan, tapi lo harus makan karena udah waktunya." Katanya.

Aku memesan makananku. Terus terang bubur ayam tadi pagi ga banyak berkontribusi dalam pembentukan energi di tubuh ini.

Jay bangkit dan menghampiri tepi lembah curam berpagar kayu putih. Angin semilir menerpa rambut dan kemeja tipisnya, membawa sekilas wangi parfum Sauv*ge.

Aku tercekat. Menatap Bang Jay yang termenung sendiri di tepi sana.
Astaga Bang Jay!  jangan bunuh diri ! Aku harus cerita apa sama keluarga di rumah nanti? Apa yang harus kulaporkan pada petugas forensik ?
Apa aku harus membuat pernyataan : "Abang saya jatuh bunuh diri karena ditinggal mantannya nikah, lalu dia terpaksa harus jadi Wedding Organizer nya, dia harus maksa adik-adik manisnya menciptakan 1000 bangau demi mewujudkan keinginan mantan kekasih yang pengen balik lagi sama dia."

Laporan saksi mata macam apa itu!!?

Jay berjalan, mencari lembah yang lebih landai dan mengambil posisi duduk.

Aku mendesah lega. Ternyata dia cuma ingin menikmati pemandangan di tepi lembah, dilengkapi angin semilir dan musik akustik dari pengeras suara cafe.

Ok. Aku tadi overthinking..

.

***

Sementara Bang Jay larut dalam dunianya sendiri, aku menikmati makan siang. Sesekali mengambil foto makanan, foto sekitar, foto selfie dan satu kali foto Bang Jay dari belakang.

Lantai 13 : A Complicated Diary I ENHYPENWhere stories live. Discover now