Kenleta - 33

431 24 2
                                    

Hari ini hari Minggu dan Kenan sudah bersiap padahal baru pukul tujuh pagi. Semalam cowok itu hanya tidur tiga jam. Dilihatnya pantulan wajahnya pada cermin di depannya. Ada luka memar di area sekitar mata, disertai kantung mata karena kurang tidur.    

Cowok itu meringis saat membayangkan paniknya Aleta melihat wajahnya nanti. Pasti nanti cewek itu akan melayangkan banyak pertanyaan. Setelah dirasa penampilannya sudah cukup oke, Kenan turun ke bawah menuju meja makan.

Didapatinya ketiga anggota keluarganya sudah berkumpul untuk sarapan. Kenan menghela napasnya dengan berat. Niatnya untuk sarapan ia urungkan karena pasti nanti bukannya kenyang makanan malah kenyang makian sang Papa.

"Jadi ya ke rumah Aletanya?" tanya Sinta saat Kenan baru saja sampai di meja makan. "Sarapan dulu, sini."

"Makasih Ma. Kenan mau langsung berangkat aja." Kenan berkata dengan diiringi senyuman getir.

Brama tertawa dengan nada meremehkan. "Bagus kalo gitu. Lebih cepat lebih baik. Supaya kamu bisa cepat dapat balasan dari perbuatan kamu."

Kenan mengangguk mengerti maksud sang Papa. Cowok itu sama sekali tak ada niatan melawan perkataan Brama. Semalam sudah ia habiskan untuk overthinking tentang masalahnya ini. "Kenan berangkat." Pamitnya tak lupa salim dengan Mama, Papa, dan Kakaknya.

Brama masih acuh dengan anak laki-lakinya itu. Sedangkan Sinta hanya bisa menggeleng pelan melihat hal itu. Perempuan itu tersenyum saat Kenan salim padanya. "Hati-hati, sayang."

Kenan mengangguk. Berjalan keluar menuju mobilnya di bagasi. Cowok itu mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Moodnya sekarang sedang kacau tapi dia berusaha menutupinya.

Saat sampai di depan pintu rumah Aleta. Segala bayangan buruk tentang kemungkinan hubungannya nanti dengan Aleta sudah berputar di otaknya. Ditatapnya pintu rumah Aleta cukup lama sebelum akhirnya ia pencet bel rumah itu.

Seorang wanita paruh baya keluar membukakan pintu. "Eh Kenan. Masuk dulu ayo sini. Aletanya masih sarapan." Wanita itu membuka pintu dengan lebar agar Kenan bisa masuk.

"Duduk dulu, Kenan. Udah sarapan belum? Sarapan bareng sama Aleta, mau?" Tawar Lisa pada Kenan yang sudah duduk di sofa ruang tamu. Wanita itu ikut duduk menemani Kenan sambil menunggu Aleta.

Kenan tersenyum. "Makasih Tante, tapi tadi Kenan udah sarapan di rumah." Bohong Kenan. Bukannya apa, tapi cowok itu hanya tidak enak jika makan bersama di rumah Aleta. Apalagi mengingat kesalahannya.

"Yaudah kalo gitu minum aja ya? Mau minum apa? Biar nanti dibikinin." Tawar Lisa sekali lagi tidak menyerah karena Kenan tidak mau diajak sarapan bareng.

"Ngga usah Tante, nanti malah ngerepotin." Tolak Kenan sekali lagi.

"Udah ngga papa, ngga ngerepotin sama sekali kok." Setelah berkata seperti itu, Mama Aleta berlalu meninggalkan Kenan.

Selang beberapa menit, kembalilah Lisa dengan membawa segelas minuman berwarna putih yang diyakini Kenan seperti susu.

"Karena ini masih pagi, jadi Tante bikinin susu aja ya." Diletakkanya segelas susu itu diatas meja. "Ayo diminum dulu, mumpung masih anget."

Kenan mengangguk lalu meminum segelas susu itu sampai tersisa sedikit. "Makasih banyak, Tante."

"Jadi mau jalan kemana hari ini?" Tanya Wijaya yang berjalan beriringan dengan Aleta menuju ke sofa di mana Lisa dan Kenan duduk.

Aleta langsung mengambil alih duduk di sebelah Kenan tapi masih berdekatan dengan sang Mama. "Papa kepo deh."

Kenan menepuk lutut Aleta. Memberi kode agar tidak bersikap seperti itu pada Papanya. Padahal kan Aleta hanya bercanda saja.

"Jadi gini Om, Tante. Saya kesini mau izin ngajak Aleta jalan-jalan. Dibolehin kan, Om?" Jujur Kenan sedikit grogi sekarang. Duduk bersama kedua orang tua Aleta seperti sekarang rasanya seperti sedang mengerjakan soal ujian di depan meja guru.

Wijaya terkekeh saat melihat ketegangan di raut wajah Kenan. "Memangnya kalau ngga saya bolehin, kalian bakalan nurut?"

Dengan polosnya, Kenan mengangguk mengiyakan.

"Eh ya ngga gitu, Pa. Harus boleh." Aleta tidak terima kalau sang Papa tidak memberinya izin.

Lisa tersenyum melihatnya. "Dibolehin, sayang. Kapan sih Mama sama Papa ngga ngebolehin kamu keluar? Asalkan jelas perginya sama siapa dan bikin kamu seneng. Mama sama Papa juga ikutan seneng." Wanita itu berkata sambil mengelus punggung tangan Aleta.

"Makasih ya, Ma." Aleta memeluk sang Mama.

"Kenan, kalau saya minta kamu buat jangan kecewain dan buat anak saya bahagia apa kamu sanggup?" Pinta Wijaya tiba-tiba dengan wajah yang serius.

"Papa kok nanyanya gitu?" Kedua alis Aleta menyatu mendengarkan pertanyaan dari Papanya. Heran itulah yang ia rasakan. Untuk pertama kalinya Wijaya bertanya seserius itu pada Kenan.

Kenan bergeming sesaat. "Maaf Om kalau untuk ngga bikin Aleta kecewa saya ngga bisa janji sepenuhnya. Tapi saya bisa jamin akan bikin anak Om sama Tante bahagia semampu saya. Dan selagi Aleta masih mau saya bahagiakan, saya akan terus ngelakuinnya."

Demi apapun Aleta tidak bisa menahan guratan merah dipipinya sekarang. Senyum di bibirnya pun sangat sulit diajak kompromi agar tidak terlihat. Sebelumnya memang belum pernah ada laki-laki yang berbicara seserius itu pada kedua orang tuanya. Memang umur Kenan masih tergolong muda tapi untuk masalah keseriusan, kali ini sangat terlihat di mata cowok itu.

Bahkan Mama dan Papa Aleta juga ikut tersenyum mendengar jawaban Kenan. Tidak menjanjikan tapi seolah menjamin. Semoga saja yang dikatakan Kenan sesuai dengan apa yang ia perbuat, hanya itu yang ada di pikiran kedua orang tua Aleta. Meskipun mereka sudah percaya dengan Kenan tapi segala kemungkinan buruk bisa saja terjadi.

Aleta berdehem memecah keseriusan yang tercipta diantara mereka berempat. "Gimana kalo kita langsung berangkat aja, Kenan? Udah selesai kan Ma, Pa, interviewnya?" Diakhiri dengan kekehan khasnya, Aleta langsung saja mengajak Kenan mengakhiri obrolan serius ini.

"Kamu kira mau lamar pekerjaan?" Wijaya menatap gemas anak perempuannya itu.

"Lamar anaknya Om lebih tepatnya. Eh!" Satu pukulan pelan mendarat mulus di bahu Kenan. Dari siapa lagi kalau bukan dari perempuan cantik di sampingnya.

Kenan dan Aleta berjalan keluar rumah diikuti kedua orang tua Aleta. Mereka memang akan berpisah sementara waktu karena Wijaya akan ke Bali siang nanti bersama dengan sang Istri untuk bertemu dengan rekan kerja sekaligus menyelesaikan pekerjaan disana.

"Mama boleh peluk dulu ngga?" Lisa merasa sangat ingin memeluk putri cantiknya itu sekarang.

Aleta mengangguk pertanda memperbolehkan. "Boleh dong, Ma. Kan kita bakalan LDR beberapa hari."

Wijaya menyadari raut kebingungan di wajah Kenan. "Saya sama istri saya akan terbang ke Bali siang nanti, Kenan. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan disana."

Kenan mengangguk paham. "Semoga selamat sampai tujuan ya Om sama Tante."

"Amin, semoga aja ya. Makasih." Lisa merasa ada yang aneh pada dirinya. Padahal ia hanya akan berpisah beberapa hari dengan sang Putri tapi rasanya kenapa sesedih ini. Semoga ini hanya perasaan biasa saja.

Setelah cukup puas memeluk sang Mama, Aleta berganti memeluk Papanya. "Biar ngga pada iri-irian."

Kenan yang melihat hal itu pun ikut senang.  Terlihat sekali kalau Aleta sangat disayang oleh orang tuanya. Dia tidak bisa membayangkan kalau ketiga orang di depannya itu tahu kebenaran tentang dirinya. Rasanya Kenan merasa sangat berdosa sekarang karena sudah membuat masalah besar dalam keluarga ini.

Setelah Aleta selesai memeluk Mama dan Papanya, Kenan segera bersaliman pada kedua orang tua Aleta. "Saya pamit Om, Tante."

"Iya, hati-hati ya." Pesan Lisa pada kedua sejoli yang tampak serasi itu.

"Titip Aleta ya, Kenan." Kini giliran Wijaya yang berpesan pada Kenan.

"Iya Om, Tante. Pasti." Setelah itu Kenan dan Aleta berjalan memasuki mobil untuk segera berangkat.

-To be continue-

Kenleta Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu