31

14.3K 1.5K 57
                                    

Beberapa hari setelah Xena pergi, bukannya membaik tapi Aga makin hancur. Bukan cuma perasaan, otak-nya saja, tapi fisiknya juga.

"Ga, please stop, gue takut," ujar Ita menahan tangisnya.

Melihat mungkin puluhan puntung rokok di lantai kamar kontrakan Aga, mata merah kembarannya dan belasan botol alkohol kosong membuat perasaan Ita teriris sampai ke lapisan yang paling akhir.

Kebahagiaan Aga, kebahagiaan Ita juga jadi diantara kata lain kesengsaraan Aga juga kesengsaraan Ita juga.

"Gak usah takut sama gue. Ada Jidan," jawab Aga enteng mengesampingkan konteks utama yang ingin Ita sampaikan.

Bukan sikap Aga yang Ita takutkan, tapi kondisi Aga.

"Lo sendiri yang paling tau soal kesehatan. Jangan gini, Ga. Xena bakal makin sedih."

"Xena udah pergi, Ta. Lo ngarep apa? Dia balik terus bantuin gue beresin kamar?"

Aga udah gak waras. 

Ita menyudahi pembicaraan tidak masuk akal ini karena Aga dibawah pengaruh alkohol itu bukan teman bicara yang baik. Ita memilih keluar, menangis meraung-raung dan memeluk Tara. Tidak banyak hal yang bisa Tara lakukan karena ini masalah di antara Ita dan Aga, dia bukan siapa-siapa jika diantara dua anak kembar itu.

Naren pun muncul menepuk bahu Ita pelan.

"Gue coba ngomong," ujar Naren.

Ita masih berdiri di depan bersama Tara disaat Naren masuk. Ita tidak meninggalkan kamar Aga dan tetap berdiri disana alih-alih tindakan Aga makin gak masuk akal.

Aga mode gak waras adalah hal yang perlu di waspadai.

"Jangan nyuruh gue berhenti. Telat," seru Aga sedapatnya Naren di depan pintu kamarnya.

Naren melempar puntung rokok yang berserakan ke dalam tempat sampah dengan malas. "Ga, Ita nangis-nangis. Lo gak kepikiran dia apa?" tanya Naren.

Senjata awal milik Naren adalah nama Ita.

"Ada Jidan," jawab Aga santai, tapi nadanya tidak bernyawa.

Senjata pertama gagal.

"Mau lo apa kalau gitu?" tanya Naren.

Senjata kedua milik Naren adalah membalik pertanyaan. Tidak penting tahu mau Naren apa, lebih penting tahu mau Aga apa.

"Balikin Xena ke gue ya, Na?" rengek Aga dengan mata merahnya.

"Lo yang nyuruh dia pergi. Lo juga yang minta dia balik. Tanggung jawab sama kata-kata lo, Sagara. Laki, bukan?"

Naren tadi mau mendengarkan baik-baik omongan sahabatnya tapi jadi ikutan kesal. Pasalnya perginya Xena ada campur tangan kesalahannya sendiri. Apa bukan dinamakan bodoh jika menyesal atas kesalahan yang dibuat atas kesadaran sendiri?

.
.

Hari ini giliran Bima yang masuk.

"Ga, ayo makan abis itu berangkat kuliah," bujuk Bima.

"Duluan aja," jawab Aga sekenanya.

Bima berkacak pinggang di depan tempat tidur Aga. Menyalakan lampu untuk menerangi ruangan, menyalakan kipas untuk mengusir asap rokok dan membuka jendela untuk mendatangkan udara baru. Keadaan Aga sekarang semakin mengenaskan dan rasanya perasaan Bima ikut teriris menyaksikannya.

Aga yang dikenalnya memang sudah rapuh, tapi ia tidak pernah serapuh ini.

"Lo mau mati kalau gak mau makan? Lo mau kalah sama bokap lo kalau gak lulus kuliah? Lo udah berapa lama absen, Ga...." omel Bima.

Alcohol, Cigarettes, You ✔Where stories live. Discover now