Bonus 1: Gara-Gara Kopi

15.3K 1.8K 45
                                    

Tahu apa yang akhirnya membuat Xena menangis? Larangan ngopi dari Aga.

Ditahannya pegangan pintu cafe biasa di dekat rumah mereka itu oleh Aga dari luar dengan Ojel yang menahan tawa dari dalam. Aga cuma kasih Xena ngopi sampai bulan kedua hamil-bahkan ini saja ia sudah salah-dan itu juga hanya boleh sesekali saja. Tapi, sepertinya perempuan itu melunjak tanpa paham resiko kedepannya.

"Gak boleh. Kamu udah gak boleh ngopi, Xen," larang Aga tegas.

Pintu kaca cafe itu jelas sekali mempertontonkan Xena, tidak sedikit pengunjung cafe yang memperhatikan mereka. Seperti biasa, Aga tidak peduli yang jelas Xena sudah tidak boleh minum kopi sama sekali.

"Aga, seteguk aja. Ya? Ya? Ya?" tawar Xena.

Aga masih dengan raut wajah tegas dan nada bicara lembut. "Enggak," tolak Aga.

Xena cocok disebut gadis lagi jika kelakuannya seperti ini. Dibilang egois rasanya terlalu jauh, ia hanya mengikuti keinginannya yang sudah tidak tertahan namun terhalang resiko serta kenyataan.

"Dengerin aku," ujar Aga tidak punya pilihan.

Sekarang waktunya memperbaiki kesalahannya karena sempat mengijinkan Xena minum kopi masa kehamilan dengan pantauan dokter kandungan teman Aga tentunya. Aga itu dokter, dia paham resiko, jadi keputusan itu adalah sebuah kesalahan besar. Tapi, kembali lagi bahwa manusia cenderung memberontak demi orang yang mereka cintai.

"Kopi itu bukan pantangan, tapi sebaiknya gak sama sekali. Nanti kalau kenapa-kenapa gimana?"

Pembahasaan Aga tidak boleh teknis karena itu akan merumitkan Xena. Semakin kesini perasaan Xena semakin tidak menentu, kadang dewasa kadang kekanak-kanakan. Waktu Aga berguru sama Naren, katanya Maya lebih parah. Jadi, Aga lega sekarang.

"Kan ada kamu."

"Bukan itu intinya. Anaknya gimana? Hayo?" tanya Aga seperti menakut-nakuti anak usia 5 tahun yang sedang mogok makan.

Aga menahan tawanya, sebisa mungkin mempertahankan raut tegasnya agar Xena mengalah.

"Maaf," cicit Xena.

Kebiasaan Xena yang meminta maaf apapun situasinya, bahkan di saat tidak ada sedikitpun salah perempuan itu di sana.

"Gak perlu minta maaf, Xena. Cukup dengan gak minum kopi lagi ya? Aku diteror mama terus kalau tahu kamu masih minum kopi."

Aga jelas paham bagaimana rasanya "ketagihan" dan "tidak bisa hidup tanpa". Nostalgia sedikit waktu rasanya Aga bisa gila jika masa-masa mahasiswanya tidak dilalui oleh alkohol dan rokok.

"Tapi, kepala aku sakit kalau gak minum kopi."

Ah, caffeine headache, batin Aga. Selama Xena tergila-gila sama kopi, Aga baru tahu satu fakta ini.

"Ya udah, nanti kita ganti kopinya pakai buah sama rebusan jahe," saran Aga.

Aga pernah tahu hal ini dari beberapa staff rumah sakit. Kadang memang cara-cara tradisional itu membantu, bukan semerta-merta sakit kepala sedikit langsung minum obat generik. Istirahat dulu yang cukup, kalau masih sakit baru minum obat. Apalagi Xena lagi hamil, ia tidak boleh minum sembarangan obat.

"Masa kayak gitu, Ga?" tanya Xena pasrah.

"Dicoba dulu. Gak tahu berhasil apa enggak kalau gak dicoba. Siapa tahu kamu bumil pertama yang berhasil?"

Xena yang tadi sibuk merengek mendadak tergelak, bahkan Ojel di balik pintu kaca mendengar. Ketawa Xena nular, Aga jadi ikut tertawa tanpa tahu apa yang perempuan itu tertawakan.

"Kamu bales kata-kata aku dulu ya waktu kasih permen biar kamu berhenti merokok?" Xena menodong Aga dengan pertanyaan yang bahkan sejujurnya cowok itu tidak ingat.

Perempuan memang hebat dalam meningat, hal-hal paling sederhana di bumi saja mereka bisa ingat. Mereka itu detail-oriented, hebat, sempurna dan mandiri. Jadi, jangan coba-coba bermain-main dengan ingatan dan perasaan perempuan.

"Hehe, iya," jawab Aga cengengesan.

Aga itu lupa, tapi iya dulu aja daripada Xena mendadak ngambek dan semuanya makin sulit dikendalikan.

"Ya udah, beli buah di mana, Aga?" tanya Xena wajahnya sudah berseri-seri.

"Di toko buah dong."

"Maksudnya toko buah yang di mana?"

"Bandung," jawab Aga bercanda.

"Ayuk! Aku mau makan buah kalau beli buahnya di Bandung," balas Xena serius.

Xena mendahului Aga kembali ke mobilnya membuat Aga menatap Xena kagum. Sedetik perempuan itu merengek seperti anak kecil, tertawa seperti anak remaja, lalu tegas seperti perempuan dewasa.

Tunggu, ini Aga beneran kudu ke Bandung buat beli buah terus balik lagi ke Jakarta?

Alcohol, Cigarettes, You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang