Bonus 2: Jangan Sedih Sitta

12.2K 1.6K 54
                                    

"Satu, dua, tiga. Ita sedih jadi apa prok... prok... prok..."

Cepat-cepat Ita mengusap pipinya yang basah, melirik sinis ke arah orang aneh yang tiba-tiba memperlakukannya seperti anak kecil. Padahal ia adalah orang dewasa dengan sejuta permasalahan.

"Gue bukan anak kecil, btw," tukas Ita jutek.

Aga tertawa renyah dan duduk di samping kembarannya itu. "Orang dewasa gak nangis, Ta," sindir Aga.

"Tapi, orang dewasa bermasalah, Ga," jawab Ita.

"Kenapa nangis?" tanya Aga langsung pada inti masalahnya.

"Kata dokter gue gak bisa hamil," ungkap Ita. "Lo bakal ceraiin istri lo gak kalau lo tau dia gak bisa hamil?"

Pertanyaan itu bukan membuat Aga tertekan, melainkan tersenyum. Merentangkan tangan kanannya dan merengkuh Ita ke dalam dekapannya. Ita itu luarnya kuat, tapi dalamnya rapuh.

"Pemikiran bodoh dari mana coba, Ta? Malu-maluin kembaran lo yang dokter aja," ejek Aga.

Ita mengangkat kepalanya dan menatap Aga galak. "Serius Aga gue ini nanyanya sama lo. Gue takut Jidan kecewa," jelas Ita.

Takkk! Kening mulus Ita jadi sasaran empuk sentilan jari kekar Aga. "Laki lo gak bakal kecewa. Liat lo nangis aja badannya bisa gemeteran, mana sempet dia kecewa sama lo," goda Aga.

Maksud Aga di sini, Jidan itu sayang banget banget banget sama Ita. Walaupun tidak mendengar langsung dari Jidan, Aga tahu bahwa Jidan tidak akan pernah sekali pun kecewa sama Ita apapun masalahnya. Damn, he love her too damn much.

"Kalau lo sendiri? Bakal ngapain?" tanya Ita lagi masih belum puas dengan jawaban Aga.

Aga terkekeh, merekatkan dekapannya ke Ita. "Gue bakal melukin istri gue sampai perasaannya membaik. Bukan kita yang harus dikhawatirin, tapi kalian. Gue sebagai cowok cuma bisa ada di sana, bukan gue yang ngandung, bukan gue yang ngelahirin. Jadi, di saat istri gue gak bisa melahirkan ya bukan hak gue buat kecewa."

"Paham? Itu hidup lo, Ta. Jadi, pikirin perasaan lo."

"Perasaan lo gimana?"

Diserang penjelasan dan pertanyaan sama Aga membuat Ita sadar bahwa setengah hidupnya seperti hilang.

"Sedih."

"Banget."

Detik itu juga Ita kembali menangis meraung-raung. Banyak pikirin di kepalanya, banyak tebakan skenario masa depan di kepalanya, masalahnya bukan lagi kesiangan berangkat kampus atau mergokin Jidan nge-like foto cewek lain, tapi masalahnya sekarang Ita tidak akan punya anak. Bahkan menyebut satu kata dengan huruf depan "M" yang menggambarkan keadaannya, Ita enggan. Rasanya kata-kata itu tidak bisa keluar dari ujung bibirnya.

"Pasti sedih, tapi gimana juga manusia boleh berharap tapi Tuhan yang berkehendak. Walaupun seribu dokter bisa ngebantuin lo, tetep jangan melawan kehendak Tuhan ya, Ta. Terima, hadapi sama jalani. Ita udah dewasa."

Ita mengangguk dengan sedih, ia tahu bahwa tidak ada pilihan lain selain menerima. Menerima dengan sedih.

"Telponin Jidan," rengek Ita.

Ita ada di rumah sakit tempat Aga bekerja siang ini, ia memang datang khusus untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan. Saat pertama kali mendengar hal buruk itu, nomor Aga yang pertama kali Ita telpon.

"Gak usah ditelpon, tuh dateng sendiri pake telepati," goda Aga.

Jidan berjalan dengan santai bak tidak ada apa-apa menuju Aga yang duduk di kursi tunggu sambil memeluk istrinya. Tersenyum bak mahasiswa yang barusan dapat nilai B padahal bisanya C.

"Lo ngapain, Ga?" tanya Jidan gamblang.

Aga rasanya mau ketawa ngakak melihat Jidan kalau tidak mengingat ada kembarannya di sampingnya yang sedang terpuruk.

"Nangis nih bini lo," protes Aga.

"Lo marahin?" tebak Jidan.

Aga ingin bergerak bangun agar Jidan yang menggantikan posisinya, tapi ditahan Ita. Ita masih tidak mengangkat wajahnya sambil memeluk Aga, ia tidak ingin menatap Jidan.

"Ta, kamu kenapa?" tanya Jidan.

Jidan tahunya Ita konsul biasa ke dokter kandungan tentang permasalahan rahimnya, tapi Jidan tidak berekspektasi datang ke rumah sakit dan melihat Ita menangis.

"Gak mau liat kamu," tegas Ita.

Jidan bingung, sedangkan Aga menahan tawanya.

"Lho, kenapa?"

"Kamu jelek."

"Yang bener, Ta...." erang Jidan frustasi. "Kenapa sih, Ga?" tanya Jidan gantian ditujukan ke Aga.

Aga melirik Ita sekilas. "Gue yang jelasin apa lo yang jelasin?" tanyanya lembut sembari mengusap lembut rambut panjang Ita.

"Lo aja," jawab Ita masih menyembunyikan wajahnya di dekapan Aga.

"Kenapa?" tanya Jidan tidak sabar.

"Ita gak bisa hamil, Ji. Dia takut lo kecewa makanya jadi nangis-nangis gini anaknya," jelas Aga dengan bahasa yang paling santai yang pernah ada.

"Gara-gara itu doang, Ta?" tanya Jidan.

Ita kali ini mengangkat wajahnya karena terkejut mendengar reaksi Jidan. "Gak doang, Ji!" omel Ita.

Aga rasanya ingin pergi dari medan perang ini jika tangan Ita tidak menahannya.

"Ta, kamu gak bisa milih buat gak bisa punya anak. Jadi, jangan nyalahin diri sendiri."

Jidan itu kenal itu b a n g e t, jadi ia tahu kalau istrinya itu sebenarnya sedang menyalahkan dirinya sendiri atas asa takut mengecewakan.

"Takut kamunya sedih..." rengek Ita bak anak kecil.

"Aku sedih kalau gak ada kamu. Udah itu aja," sahut Jidan yakin.

Aga sempat tertegun karena aura keyakinan dari jawaban Jidan, membuatnya berterima kasih keseribu kalinya kepada alam dan semestanya atas Jidan yang bersama Ita. Ita itu setengah hidup Aga, jadi ketika Ita berterima kasih atas hidup perempuan itu sendiri maka Aga juga akan sama.

Berterima kasih atas hidup Ita.

Aga kali ini melawan pertahanan Ita dan ia berhasil berdiri.

"Mau kemana?" tanya Ita dan Jidan bersamaan.

Aga sempat tertegun lagi karena kekompakan pasangan suami istri ini lalu berjalan pergi. "Balik. Kangen istri," jawab Aga acuh tak acuh.

Seperginya Aga, Jidan menempati tempat duduk Aga tadi dan menatap Ita lekat.

"Jangan sedih Sitta," ucap Jidan sungguh-sungguh sampai membuat Ita mengangguk sedih.

"Ada aku."

Alcohol, Cigarettes, You ✔Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon