08

2.3K 413 66
                                    

Aku mendambakan rasa benci daripada cinta yang tulus darimu—


Begitu sepasang kaki berbalut sepatu kulit rusa merah itu berpijak di pekarangan kediamannya, langit sudah berganti warna menjadi segelap samudera. Jongseong mendongak, memandangi satu dua buah bintang yang saling berjarak di atas sana. Ia melewatkan waktu senja.

Senja. Salah satu waktu yang sangat Appanya sukai. Ketika langit membentang menaburkan gradasi yang memanjakan mata, membuat siapapun ingin berlama-lama di luar rumah menunggu hingga Sang surya tenggelam sepenuhnya lalu digantikan oleh dewi bulan. Tak dapat dipungkiri, Jongseong juga menyukai waktu senja.

Istana menjadi lebih tenang begitu siang berganti malam. Itu karena para pejabat, pegawai negeri dan juga menteri sudah pulang ke rumah masing-masing. Ada beberapa yang tinggal lebih lama untuk menuntaskan pekerjaan. Biasanya orang-orang itu adalah para cendekiawan dari biro perbintangan. Mereka mengamati rasi bintang pada malam hari, tentu saja.

"Bagaimana keadaan di Sonjang?"

Lee Sunghoon, pengawal pribadi Raja itu kemudian menjawab, "Utusan kerajaan belum mengirim pesan, Yang Mulia. Sepertinya belum ada perkembangan."

Jongseong menghela, "Aku ragu Pangeran Heeseung bisa mengatasi masalah ini. Jika sampai wabahnya semakin menyebar, ini bisa menjadi masalah nasional."

"Anda cukup memercayainya, Baginda Raja," Sunghoon menjawab dengan suaranya yang dalam.

"Posisiku hari itu benar-benar terpojok. Solusi dari menteri lain sama sekali tidak menunjukkan perkembangan, dan saat itulah tuan Hoseok merekomendasikan Pangeran Heeseung."

Embusan angin malam menerpa pakaian Jongseong, membuat sutera merah itu sedikit mengembang. Dari balik rerumputan, suara jangkrik-jangkrik saling bersahutan, berikut dengan burung hantu yang tengah menetap sementara di atap-atap pavilliun.

Sunghoon menyapukan jempolnya pada pelapah pedang, "Keputusan Anda sudah benar Baginda Raja. Jika menolak, orang-orang akan meragukan kebijaksanaan Anda."

Merasa perlu menghilangkan kekhawatirannya, Jongseong kemudian memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar istana. Akhir-akhir ini hal buruk terus terjadi. Jongseong menghela napas. Beruntung selama masa pemerintahannya, masa paceklik tidak pernah datang—atau mungkin belum. Jongseong harus membuat waduk di beberapa daerah yang berkemungkinan besar akan mengalami kekeringan.  Setidaknya ia harus siaga.

Seorang Pangeran tidak boleh berurusan dengan politik. Entah sudah berapa banyak kudeta yang terjadi di dalam silsilah keluarga Park. Paman membunuh keponakannya, adik membunuh kakaknya. Pertumpahan darah tak bisa dielakkan jika hati seorang keturunan Raja selain daripada Putra Mahkota menginginkan tahta.

Itu sebabnya Jongseong selalu memberikan pekerjaan sosial bagi Pangeran Heeseung. Salah satunya adalah mengawasi pekerjaan tabib muda di kantor kesehatan ibu kota. Jongseong diam-diam memerintahkan salah satu dari mereka untuk membuat Heeseung tertarik pada dunia medis hingga akhirnya Heeseung memutuskan untuk belajar di dinasti Guan selama tiga tahun.

"Aku ingin menjadi tabib hebat yang melayani Baginda Raja suatu hari nanti," cita-citanya kala itu.

Lantas mengapa Jongseong tidak membunuh Heeseung jika merasa terancam? Bukankah dengan mengayunkan pedang segalanya akan menjadi lebih mudah? Entahlah. Jongseong juga tidak tahu mengapa ia tidak bisa mengotori tangannya sendiri atau bahkan mengirimkan pembunuh bayaran, padahal Pangeran Heeseung merupakan bentuk dari ancaman terbesar. Namun, tanpa alasan yang jelas, Jongseong tidak bisa melakukannya.

The Shadow ; jaywon auWhere stories live. Discover now