17

2K 337 31
                                    

Ketika Sunoo membuka mata, cahaya mentari sudah menyinari sudut-sudut kamar penginapan. Ia mengernyit merasakan sengatan di beberapa titik area kepalanya. Setelah beberapa saat terdiam mencoba mengumpulkan nyawa, Huin itu kemudian mendudukkan diri.

Begitu pintu terbuka, suara lelaki paruh baya menyapa telinganya, "Nak? kau sudah bangun? Bagaimana perasaanmu? Apakah kau lapar? Aku tidak tahu apa kau  menyukai bubur atau tidak, tetapi berdasarkan pengalaman hidup selama lima puluh tahun, orang sakit biasanya memang memakan bubur. Jadi aku membuatkanmu bubur untukmu."

Kalimat panjang itu diucapkan dalam satu tarikan napas. Sunoo mengernyit. Kepalanya terasa pening kembali setelah menerima runtutan pertanyaan tersebut. Mana yang harus dia jawab lebih dulu?

"Terima kasih untuk buburnya," Wajah pucat Sunoo terkena paparan sinar mentari. Paman pemilik penginapan tampak prihatin.

"Tabib akan datang sebentar lagi. Nyamankanlah dirimu. Tuan besar memintaku untuk menjagamu di sini hingga sembuh."

Tuan besar yang dimaksud pastilah Lee Sunghoon. Menyadari hal itu, Sunoo kemudian menyapukan pandangannya ke sekitar. Mencari sosok tinggi berpakaian hitam-hitam.

Pemilik penginapan ternyata cukup peka. Dia lalu berkata, "Tuan besar dan kedua temannya sudah pergi ketika subuh. Mereka terlihat terburu-buru. Apakah salah satu diantaranya adalah kekasihmu?"

Sunoo tidak tahu harus tertawa atau menangis. Dia tidak pernah menjalin kasih dengan siapapun selama ini, "Mengapa paman menanyakan hal itu?"

"Ah bukan apa-apa," cengiran konyol si paman muncul, "Tuan besar dan satu laki-laki manis sangat memperhatikanmu. Tuan besar bahkan mengecek keadaanmu setiap dua jam sekali sebelum akhirnya benar-benar tidur di kamar lain."

Bola mata Sunoo membola heran. Sedetik kemudian, dia memberikan tatapan ragu, "Benarkah? Kurasa paman harus memeriksa mata sekali-kali. Aku dan Tuan besar sebenarnya adalah musuh bebuyutan."

"Jika bukan mataku yang salah, maka dugaanmu lah yang salah. Tidak mungkin seorang musuh begitu peduli padamu, anak muda."

Tak lama kemudian, seorang tabib tua datang. Sunoo menggeser sarapannya yang masih mengeluarkan uap panas. Setelah berbasa basi sebentar, tabib itu kemudian menekan denyut nadi Sunoo.

"Demamnya sudah turun, tetapi dia mengalami takikardia. Energinya juga belum pulih," kata tabib itu tenang, "Ah, benar. Pemuda yang memintaku datang kemarin malam mengatakan bahwa ada racun ditubuhmu. Bisakah kamu menjelaskan apa yang terjadi  sebenarnya? Sebab aku tidak bisa menemukan gejala tak wajar pada tubuhmu. Dari yang kudengar, kau melintasi hutan selama berjam-jam dalam keadaan perut kosong. Energimu habis. Itu sebabnya kamu pingsan dan mengalami demam karena dehidrasi."

Tubuh Sunoo tampak membeku. Kelerengnya bergerak ke sana ke mari entah mencari apa. Dengan suara tergagap, ia kemudian berkata, "A-aku tidak meminum racun—"

Mata si tabib menyipit, "Aku tidak menuduhmu meminum racun. Kenapa tiba-tiba kamu berkata demikian?"

"Bukankah tuan menyuruhku menjelaskan? Aku hanya membela diri. Aku tidak memakan sesuatu yang beracun. Lebih tepatnya, aku tidak memakan apapun kemarin," sambar Sunoo cepat-cepat.

Tabib tidak mengatakan apapun, tetapi matanya menyiratkan sesuatu. Ia pergi setelah memberikan resep ramuan herbal pada pemilik penginapan. Sunoo menghela lesu. Dia memutuskan untuk duduk-duduk di teras. Namun, langkahnya terhenti ketika melihat sebuah lukisan yang digantung di tengah-tengah penginapan.

Di lukisan tersebut, terdapat seorang lelaki yang berdiri menghadap bentangan rumput hijau. Kelereng Sunoo bergetar ketika menangkap detail pada bagian lengan atasnya. Lambang bunga matahari emas yang hanya dimiliki oleh keluarga kerajaan. Detail lain yang lebih menarik perhatian Sunoo adalah pita putih yang menjulang turun mengikat sebagian rambut lelaki itu.

The Shadow ; jaywon auTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang