21

2.3K 359 46
                                    

Seseorang pernah berkata, dia yang tidak mengetahui wujud dari sebuah gunung tidak akan menyadari bahwa gunung itu berada di bawah telapak kaki mereka sendiri—


Seorang pria berdiri tegap membelakangi dayang Haeyong yang berlutut. Kepala wanita itu menunduk patuh. Kipas berlatar emas bergerak pelan, menyapukan angin ringan ke wajah tampan Jaehyun. Siapapun di dunia ini yang telah melihat Na Jaehyun, pasti tidak akan percaya bahwa pria terhormat dari garis keturunan pendiri klan Na itu sebenarnya telah memiliki seorang putra dewasa, bahkan adalah normal jika saat ini dia sudah memangku cucu.

Na Jaehyun terlihat rupawan di usianya yang tak lagi muda. Hal itu merupakan sesuatu yang amat Jaehyun banggakan. Dia sadar dirinya tampan, jadi dia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk tebar pesona setiap kali dia pergi ke ibu kota. Namun, jika berada di wilayahnya sendiri, Jaehyun tidak berani mengggoda gadis-gadis atau pria cantik karena takut pada suaminya.

"Kau sudah menghilangkan seluruh jejak?" Jaehyun memutar badan. Rambut panjangnya bergerak-gerak tertiup angin.

Dayang Haeyong mengangguk, "Ya, Tuan, tetapi aku tidak bisa menghilangkan jejak panah yang menancap di batang pohon. Kami tidak memiliki cukup waktu karena telah mendengar gonggongan anjing penjaga."

"Bukan masalah. Hari sudah gelap, dan para tentara yang dikerahkan mungkin tidak akan menyadari hal itu," Jaehyun kemudian memasang nada main-main, seolah dia sedang membujuk anak kecil, "Tetapi jika sampai kau melewatkan sesuatu dan terjadi hal yang tidak diinginkan, jangan salahkan Gubernur ini, oke? Aku sudah memberikan kesempatan bagimu untuk membalas dendam. Meskipun pihakku juga diuntungkan, tetapi tetap saja mengandung resiko."

Na Jaehyun adalah calon ayah mertua Raja lainnya. Jika orang lain mengetahui bahwa Na Jaehyun bersekongkol dengan keluarga penghianat dan memanfaatkan dendamnya untuk menyingkirkan Pangeran Permaisuri, Na Jaehyun jelas tidak akan selamat. Langkah yang benar seharusnya Na Jaehyun menyerahkan Haeyong pada Kehakiman sejak lama, tetapi jelas Na Jaehyun tidak ingin mengotori tangannya sendiri.

Haeyong tertegun sejenak, lalu berkata lirih, "Aku mengerti."

"Hanya ini yang bisa kulakukan sebagai kawan lama Shim Shugeun. Aku harap kau bisa memaafkanku karena tidak bisa membela Shim Shugeun pada waktu itu," Na Jaehyun memasang tampang sedih, "Bukan hanya kau atau aku yang merasakan kejanggalan dibalik kematian mendiang Pangeran Permaisuri Jihoon, tetapi Badan Penyelidik, Putra Mahkota, bahkan Tuan Jinseong sendiri tidak bisa menemukan apapun."

"Lalu pada akhirnya, Shim Shugeun mengakui perbuatannya, dan Putra Mahkota murka."

Begitu mengatakan bagian ini, wajah Dayang Haeyong berubah gelap. Jemari tangannya mengepal hingga menonjolkan urat. Namun, sepasang mata itu mulai berkaca-kaca. Jaehyun menyadari tubuh Haeyong yang bergetar. Dia berhasil menyerang titik kesakitan dalam diri Dayang Haeyong untuk kepuasannya sendiri.

Setelah tujuh hari digantung di tembok istana, kepala dan tubuh Shim Shugeun yang terpisah dilempar begitu saja ke lembah di tengah-tengah dataran gersang tak jauh dari ibu kota. Tanpa dikubur atau ditutupi jerami, membiarkan mayatnya membusuk habis dimakan gagak. Ini merupakan bentuk hukuman bagi siapapun yang melakukan kejahatan tingkat tinggi.

Orang yang tidak berniat memasuki kawasan itu akan mencium bau busuk yang menyengat bahkan dari kejauhan. Namun, Dayang Haeyong terlalu sedih kala itu. Dia tidak peduli pada mayat-mayat yang saling tumpang tindih di sekitarnya dan bersikeras mencari bagian tubuh Shim Shugeun yang saling terpisah.

Shim Shugeun adalah orang baik. Penyelamat hidupnya. Shugeun menyelamatkan Haeyong yang hampir mati kelaparan di tengah jalan dengan memberinya semangkuk bubur hangat di tengah musim dingin, juga dua lapis mantel berbulu. Di saat orang-orang memandang Haeyong jijik tanpa peduli dia hidup atau mati, hanya Shim Shugeun yang datang padanya.

The Shadow ; jaywon auTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon