Bitter : 41. There's No Certainty

3.2K 653 100
                                    

Hidup yang terlalu rumit ini, Jennie tidak ingin berakhir dengan menyedihkan. Tapi apa yang bisa ia perbuat ketika pertemuannya kembali dengan Lalice justru harus terjadi seperti ini?

Dia sudah membayangkan, bagaimana ketika ia akan mendekap adiknya itu. Bagaimana ia akan merawatnya sebaik mungkin. Bagaimana dia akan memberikan kebahagiaan yang selama ini tak Lalice rasakan.

Keinginannya itu seakan harus ditenggelamkan dengan paksa, ketika dia disadarkan oleh kenyataan ini. Kenyataan yang sama sekali tak mau ia terima.

Dokter bilang, racun yang ada di tubuh Lalice sudah merusak sebagian organ vital gadis itu. Sebagian hati, limpa, dan ginjal kanan Lalice sudah di angkat karena tidak berfungsi lagi. Saat ini, keluarganya hanya menunggu keadaan Lalice stabil agar bisa kembali melakukan operasi pada jantungnya yang membengkak.

Jika saja Jennie bisa, ia akan membalaskan semua kesakitan adiknya itu pada So Jisub. Tapi ia tak mampu, karena dia sendiri pun hanya gadis lemah yang selalu berlindung di balik punggung Lalice.

"Aku bahkan belum menyapanya sebagai seorang kakak."

Suara serak Jennie muncul ketika ia sudah tak bisa memendam rasa sesak di hatinya lagi. Sejak Lalice dibawa ke rumah sakit itu dengan keadaan kritis, Jennie hanya terus menangis tanpa mengatakan apa pun.

Kalimat pertama yang keluar dari mulut Jennie itu membuat Sehun yang ada di sampingnya terhenyak.

"Kendalikan dirimu, Jennie-ya. Ingat, lukamu juga belum pulih." Dalam situasi menyedihkan seperti ini, Sehun bahkan harus menahan dirinya agar tetap menjadi penopang adiknya.

"Apa aku akan sempat memanggilnya dengan sebutan adik? Apa aku sempat memberikannya pelukan sebagai seorang kakak?" Jennie mulai menatap Sehun, dengan wajah sembabnya.

"Jangan khawatir. Dia pasti akan terus berada di sisimu."

Kalimat Sehun sebernarnya berniat untuk menenangkan Jennie. Tapi justru membuat gadis itu tertawa hambar mendengarnya.

"Kau terlihat tidak khawatir padanya, Oppa." Jennie mengutarakan pendapat yang sejak tadi ia pendam.

Sejak Lalice menjalani operasi dan di pindahkan ke ICU, Sehun terlihat tidak terlalu terbebani saat semua orang justru merasa terpuruk.

"Jennie---"

"Tentu saja. Kau bahkan tidak mengenalnya. Kau bahkan tidak tahu bagaimana buruknya hidup Lili selama ini." Jennie menelan salivanya susah payah.

"Kau tahu? Saat pertama kali melihatnya, yang ada dipikiranku hanya bagaimana caranya agar aku terus berada di sampingnya. Sekeras apa pun dia mengusirku, aku tak peduli jika harus mengemis untuk tinggal bersamanya."

Jennie meremas ujung jaketnya dengan erat. Membayangkan bagaimana pertemuan pertamanya dengan Lalice membuat Jennie merasa sesak. Sosok itu, adalah sosok terkuat yang pernah Jennie temui seumur hidup. Sosok dingin yang menyembunyikan seluruh kepahitan hidupnya.

"Lalu kau mau aku bersikap seperti apa? Menangisinya? Mengasihaninya?" tanya Sehun dengan menahan amarah.

Dia bersikap tenang bukan berarti tak peduli. Jennie pikir siapa yang menggendong Lalice hingga tangannya terasa kaku?

"Kau pikir aku tidak menyayanginya, hanya karena aku tak mengenalnya?" Sehun kembali bertanya dengan nada frustasi.

"Jennie-ya, perlu kau tahu satu hal."

Sehun mulai meraih kedua bahu sang adik dengan tangannya. Menatap mata sayu itu dengan yakin.

"Selama ini..."

Bitter ✔Where stories live. Discover now