Bitter : 43. Reality

3.2K 637 142
                                    

Setiap hari, ia selalu pulang larut malam. Ia bahkan tak memiliki waktu selain pergi ke markas untuk latihan dan pulang kerumah untuk tidur.

"Apakah hal yang kau jalani saat ini begitu menyenangkan?" Suara itu menyambutnya saat Rosé baru saja masuk ke dalam rumah.

Terlihat sosok Park Seojoon dengan kacamata sedang menatapnya. Rosé sama sekali tidak tahu arti tatapn ayahnya itu.

Sejak kembali ke rumah, mereka tak terlalu banyak berinteraksi. Mungkin hanya ketika Rosé berusaha keras kepala dan Seojoon selalu menentangnya.

Perasaan canggung masih melingkupi sepasang ayah dan anak itu. Rosé pun sebenarnya belum memaafkan kesalahan sang ayah seutuhnya.

Jika saja bukan karena bujukan Jisoo untuk ikut kembali ke rumah bersama orang tuanya, Rosé mungkin akan memilih tinggal di apartement lamanya bersama ketiga sahabatnya itu.

"Setidaknya hal yang aku jalani sekarang adalah kemauanku sendiri. Bukan paksaan dari orang lain."

Seojoon tahu jika perkataan Rosé sedang menyindirnya. Lelaki itu tahu jika ia salah besar dalam memanfaatkan sang anak untuk kemajuan bisnisnya kala dulu. Tapi sampai sekarang, rasanya sulit untuk sekedar mengutarakan kata maaf.

"Yang aku lakukan dulu, itu semua demi masa depanmu---"

"Kau memang tak pernah mau disalahkan." Rosé terkekeh memotong ucapan sang ayah.

Bagaimana Park Seojoon bisa berpikir jika menikahkan anaknya dengan lelaki berumur adalah demi masa depan Rosé sendiri? Apakah lelaki itu sedang bercanda?

"Mungkin perasaanmu sudah mati karena dikhianati sahabatmu sendiri." Ucapan Rosé itu, tentu mengarah pada So Jisub yang memang adalah mantan sahabatnya dahulu.

"Tapi jangan lampiaskan kemarahanmu padaku. Bersikaplah layaknya ayah pada umumnya." setelah mengatakan itu, Rosé berlalu dengan perasaan kesal.

Ia pikir, ketika kembali ke rumah ayahnya telah berubah menjadi perhatian atau setidaknya mengerti perasaannya. Tapi Park Seojoon masih sama seperti dulu. Egois dan tak pernah mau mengakui kesalahannya.

.........

Suasananya sungguh terasa asing. Aroma obat-obatan, suara aneh yang ia yakini berasal dari suatu mesin. Lalice begitu tidak nyaman dengan ini.

"Lili, bahkan kita belum melakukan banyak hal setelah berbaikan. Kenapa kau ingin pergi?" Itu suara Rosé. Tapi kenapa Lalice tak bisa mendapati sosoknya? Ia hanya mampu menangkap kegelapan.

"Hey, adik sepupu. Aku tidak ingin kau meninggalkanku setelah banyak waktu yang kita habiskan bersama. Kau harus bertahan, eoh? Aku janji tidak akan menyembunyikan permen lollipop mu lagi." Kali ini, terdengar suara Jisoo yang sepertinya sangat dekat dengan telinganya.

Tapi, adik sepupu? Jisoo ini melantur atau bagaimana? Atau apakah dia sedang berbicara pada Jennie, bukan pada Lalice?

Ah! Lalice rasanya sungguh frustasi. Mungkinkah saat ini dia sedang bermimpi? Semua suara-suara itu terus berganti di telinganya, membuat kepala Lalice berdenyut sakit.

"Tidak ada yang boleh mengambilnya dariku! Kau siapa, eoh? Bisa memvonis kematiannya seperti itu?" Apakah Jennie sedang menangis?

Dalam hati, Lalice menggeram. Siapa yang berani membuat Jennie menangis? Jika saja ini nyata, Lalice pasti akan langsung menghajar manusia yang telah membuat air mata Jennie jatuh.

Tapi tunggu. Bukankah gadis Kim itu sedang dalam kondisi kritis akibat tertembak? Ah! Sepertinya Lalice benar-benar sedang bermimpi.

"Aniya! Tolong, Lili-ya. Tolong beri kesempatan Eomma untuk menemani hidupmu. Jangan pergi lagi, Eomma mohon."

Bitter ✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora