Bitter : 6. Not Alone

10.5K 1.7K 312
                                    

Rintik hujan sudah turun sejak setengah jam lalu. Lalice yang ingin segera sampai di apartemen sore itu, terpaksa menerobos hujan dengan payung hitamnya. Menapaki trotoar basah itu dengan kaki kurusnya. Sesekali bergidik merasakan dingin yang menyapa.

Di tangan sebelah kiri gadis itu juga terdapat sebuah kantung plastik hitam yang berisi sayuran sisa dari tempatnya bekerja. Kondisinya masih bagus, jadi sangat disayangkan jika dibuang. Lebih baik Lalice bawa pulang dan Jisoo serta Jennie bisa memasak sayur itu.

Lalice menghela napas berat. Hidupnya sudah sulit sejak lahir. Dan entah kapan dia bisa menikmati hidup dengan baik. Hanya lulusan Senior High School tak akan mungkin bisa membawa Lalice menjadi seseorang yang sukses. Kecuali ada seorang mafia yang menawarkannya untuk bergabung.

Ah, pikiran Lalice semakin jauh melambung ketika sedang memiliki beban berat seperti saat ini. Menjadi bagian dari mafia? Yang benar saja. Hati Lalice masih terlalu bersih untuk melakukan hal kotor yang mereka tawarkan.

"Ya! Apakah dia tidak waras?"

"Sepertinya dia memiliki gangguan jiwa."

"Kenapa semakin banyak orang gila berkeliaran di daerah sini."

Dahi Lalice mengerut mendengar ujaran orang-orang di sekitarnya. Menghentikan langkah, Lalice memilih mencari sesuatu yang menjadi topik perbincangan orang-orang itu.

Lalice mematung, dengan pancaran mata terkejut. Melihat seorang gadis berambut blonde sedang menangis terisak dengan posisi terduduk di tengah trotoar. Seakan dirinya sudah sangat frustasi akan hidupnya sendiri.

"Apakah dia sudah gila?" gumam Lalice memandang Rosé dengan tatapan serba salah.

Kakinya seakan berat untuk melangkah. Dan sampai di menit kelima, Lalice tetap berdiam sembari terus memperhatikan Rosé dari jauh. Menelan salivanya berkali-kali karena sedang berperang dengan batinnya sendiri.

"Oh Tuhan. Kenapa aku harus memiliki hati yang baik?" gerutu Lalice kesal, yang akhirnya mulai melangkah mendekati Rosé.

Lalice menggeser payung hitam yang di genggamnya untuk menutupi tubuh Rosé dari guyuran hujan. Hal itu tentu membuat si gadis blonde terkejut dan spontan mendongak. Terpaku melihat mata cokelat yang menatapnya datar.

"Lalice," lirih Rosé seakan tak percaya jika yang ada di dekatnya itu adalah Lalice.

"Kau tidak sadar? Kelakuanmu ini sangat memalukan. Berdirilah." Ujar Lalice dingin. Benar-benar kesal dengan dirinya sendiri yang mudah luluh melihat kesulitan orang lain.

Di tengah tangisnya, Rosé tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Dia bangkit dengan cepat dan menabrak tubuh Lalice dengan pelukan. Hingga payung yang semula di bawa Lalice terjatuh begitu saja.

"Ya!" Pekik Lalice kesal, hendak melepaskan dekapan Rosè namun gadis blonde itu memeluknya dengan sangat erat.

"Bisakah aku meminjam bahumu sebentar? Aku sungguh membutuhkannya," lirihan Rosé itu membuat Lalice terdiam. Pasrah saja ketika Rosé kembali menangis keras sambil memeluknya, tanpa Lalice berniat membalasnya.

.......

"Ya! Kenapa kau basah--- Rosé-ssi?" Jennie hendak mengomeli Lalice yang pulang dengan kondisi basang kuyup, namun mengurungkan niat ketika ketika mendapati Rosé ada di belakang tubuh Lalice. Juga dengan kondisi yang sama.

"Woah! Kalian habis main hujan-hujanan? Apa masa kecil kalian kurang bahagia?" setelah Jisoo mengatakan itu, Jennie langsung menghadiahinya sebuah pukulan di pundak. Membuat gadis berambut hitam itu harus meringis merasa pundaknya tiba-tiba panas.

Bitter ✔Where stories live. Discover now