Bitter : 22. Family

8K 1.3K 191
                                    

Awalnya niat Jisoo dan Rosé untuk keluar dari apartement adalah mencari keberadaan Lalice yang hilang entah kemana. Namun tujuan itu kini berubah ketika Rosé merengek pada Jisoo untuk mengantarkannya ke suatu tempat.

Dan disini lah mereka sekarang. Layaknya seorang penguntit, kedua gadis itu sedang menatap sebuah rumah yang cukup megah dari balik pepohonan yang ada di trotoar.

"Kenapa kau tidak masuk saja? Kita sudah seperti maling jika begini." Omel Jisoo yang sudah tak tahan berdiri di balik pohon itu.

"Aku sudah di usir, Unnie. Mana mungkin aku masuk dengan seenaknya."

Rosé tak kalah kesal. Bagaimana jika dia kembali di tendang keluar saat berhasil memasuki rumah itu? Lagi pula, Rosé memang tak ingin pulang. Dia hanya rindu. Dan melihat bangunan rumahnya dari kejauhan saja sudah cukup.

"Ya! Kau tidak lihat acara berita? Bahkan Ayahmu itu memasang info kehilanganmu di televisi." Gerutu Jisoo yang ingin sekali memukul kepala Rosé.

Tapi kali ini, sepertinya kalimat Jisoo memiliki pengaruh yang cukup besar untuk perasaan Rosé. Terbukti gadis blonde itu terdiam sesaat. Entah memikirkan apa, yang Jisoo yakin itu berkaitan dengan ucapannya tadi.

"Unnie, kau... Tidak merindukan orang tuamu?" pertanyaan itu sontak membuat Jisoo menegang.

Siapa anak yang tak akan merindukan orang tuanya setelah berpisah cukup lama? Jisoo bahkan merindukan mereka setiap malam. Namun di satu sisi, dia tak ingin pulang. Kehidupannya sekarang jauh lebih berwarna, dibandingkan saat memiliki segalanya dulu.

"Aku merindukan mereka. Tapi aku tak ingin kembali. Jika bisa, selamanya aku ingin seperti ini."

Rosé mengangguk kecil. Dia pun merasakan hal yang sama. Rindu, tapi tak ingin berjumpa. Karena Rosé tidak akan siap untuk melepaskan kehidupannya sekarang. Bersama Jisoo, Jennie, dan Lalice.

"Aku sudah menduganya, Rose-ya. Jika aku kembali pada mereka, aku tak akan bisa menatap kalian lagi." Setelah mengatakan itu, Jisoo tersenyum hambar.

"Kajja, Unnie. Kita pulang saja. Mungkin Lalice sudah kembali." Rosé merangkul Jisoo, berjalan bersama menuju halte bus yang akan membawa mereka kembali ke apartement.

.........

Malam yang tenang, sunyi, dan tampak damai. Perlahan lelaki itu mengangkat kedua tangannya. Memandang sarung tangan berwarna hitam yang kini membalut telapaknya. Menghela napas, merasa dunianya seakan berputar lebih cepat. Lebih menantang, dan jauh dari kata damai.

Selama menjadi anggota NIS, ini pertama kalinya andrenalin Taehyung berpacu cukup kencang. Katakanlah dia takut. Karena memang kenyataannya begitu. Sejujurnya... Dia tak seberani ketika mulutnya berbicara.

"Kau bisa menaikinya kan?" pertanyaan itu membuat Taehyung mengangguk. Dia memandang sejenak pagar yang menjulang tinggi di hadapan mereka. Lalu memanjat dengan cepat. Sekejab mata, dia sudah berada di dalam lokasi pembuangan mobil bekas itu.

Chanyeol menyusul. Sama lincahnya. Karena mereka sudah terlatih dengan baik. Hanya saja, kini perasaan mereka jauh berbeda. Chanyeol yang terkesan tenang, sedangkan detak jantung Taehyung berdetak dua kali lipat.

Seperti layaknya pencuri, mereka berdua jalan mengendap menuju sebuah bangkai bus yang warnanya sudah hangus sempurna. Selain itu, bentuknya jauh dari kata utuh.

Ketika melihat sebuah cahanya senter, keduanya secepat mungkin bersembunyi dengan apik. Menahan napas saat sebuah langkah terdengar cukup jelas. Dan disaat itulah Chanyeol bisa melihat tangan Taehyung yang bergetar ketakutan.

Bitter ✔Where stories live. Discover now