Naked

2.7K 134 0
                                    

Malam itu, cuaca amat dingin. Shani mengendarai motor tua miliknya, menerjang angin malam. Sesekali bernyanyi mengikuti musik yang tengah berputar di telinganya. Tak butuh waktu lama, motor itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana. Shani mengeluarkan ponsel, lalu menghubungi seseorang.

"Aku udah di depan." Lalu telepon itu ia matikan.

Tiga menit berlalu, pintu rumah terbuka. Gracia, segera berjalan menghampiri Shani.

"Maaf ya lama, tadi ke toilet dulu," sapa Gracia, membuka gerbang rumahnya. Shani tersenyum menanggapi.

Setelah memarkirkan motornya di halaman rumah Gracia, keduanya berjalan memasuki rumah.

"Nih titipannya," Shani menyerahkan sebuah plastik kepada Gracia. "Yang lain kemana?"

"Pada main ke rumah nenek, aku males ikut, besok masih ujian soalnya," Gracia menuntun langkah duluan.

Keduanya singgah di meja makan, Gracia berinisiatif untuk membuatkan minuman, "teh apa kopi?"

"Teh aja, lagi ngurangi konsumsi kopi. Makasih ya, Ge."

Sambil menunggu air matang, Gracia membuka platik yang diserahkan Shani. Aroma manis tercium.

"Akhirnya makan martabak, coklat kacang, kan?"

Shani mengangguk.

Setelah minumannya siap, mereka meninggalkan ruangan itu, menuju kamar Gracia. Shani melihat sekeliling, tak lupa tetap memperhatikan langkahnya. Keduanya sampai di depan pintu kamar Gracia.

"Maaf ya kalo berantakan, aku belum beres-beres soalnya." Gracia membuka pintu kamarnya, mengizinkan Shani masuk.

Shani duduk di kursi belajar milik Gracia, sementara Gracia duduk diatas kasur sambil menikmati martabak ditangannya. Sesekali mereka berbincang ringan.

"Di minum tehnya, nanti keburu dingin," tunjuk Gracia pada segelas teh yang belum juga di jamah Shani.

"Sampe kelupaan aku, abis ini kayanya aku balik ya, Ge. Ngga enak sama mama, soalnya tadi pamit beliin kamu martabak doang." Shani mulai menyesap teh hangat itu.

"Loh, aku kira kamu nginep," nada kecewa Gracia tertangkap oleh telinga Shani, "nginep aja dong. Aku sendirian."

"Yaudah, aku hubungi mama dulu, untung kelasku besok siang. Jadi bisa pulang dulu besok pagi," Shani memainkan ponselnya.

Gracia tersenyum senang. Keduanya berpindah ke balkon kamar Gracia. Larut dalam perbincangan. Sesekali saling melempar candaan.

"Shan, kamu setelah lulus mau gimana?" Tanya Gracia.

"Udah mau mengarah ke obrolan serius nih?" Shani kembali menyesap teh miliknya.

Gracia mengangguk, melempar pandangan ke arah langit. "Aku masih belum kepikiran, otakku buntu."

Bulan malam itu amat terang, beberapa bintang juga mengelilingi bulan malam itu.

"Aku udah di tawari mama sih, buat kelola usaha keluarga. Abangku ngga bisa, soalnya dia dapat tawaran kerja di luar negeri. Sayang katanya kalo ngga di ambil," Shani juga mengikuti Gracia memandang bulan. "Tapi aku juga kepikiran buat buka usaha sendiri, paling nanti nego sama papa buat pinjam modal dulu."

Gracia menoleh, memandang wajah samping milik Shani, "aku juga sempat mikir gitu, kayanya kalo buka usaha sendiri bakal seru. Tinggal beraniin diri aja buat ngomong ke papa."

Shani mengangguk setuju, "apa kamu mau buka usaha bareng aku?"

Gracia tampak berpikir, "boleh sih. Udah kepikiran mau buka usaha apa?"

"Ada tiga, coffee shop, studio, atau butik gitu. Kalo butik, aku mau ajak join kakakku, dia dulu kuliah dan kerja di bidang fashion,"

"Yaudah, nanti kita pikirin lagi, yang penting lulus dulu." Gracia tertawa.

"Masuk yuk, udah mulai dingin banget anginnya," ajak Shani yang diamini oleh Gracia.

Saat keduanya tengah berbaring di atas kasur, saling menatap satu sama lain. Gracia larut dalam tatapannya, mata coklat milik Shani bagai magnet.

"I'm fallin in love with you," ucap Shani mengikis jarak keduanya.

"Really?" Tanya Gracia, senyum terangkat dari bibirnya.

"I do. I'm fallin in love, deeper than i have felt it before with you, Ge."

Bibir keduanya menyatu, saling berlomba melepas rasa. Mencari satu sama lain, melepas kerinduan setelah beberapa hari tak saling sapa. Shani memperdalam ciuman itu, tangannya memegang pinggang kekasihnya dengan erat seolah tak ingin melepaskan. Sementara Gracia menyelipkan tangannya pada leher Shani.

Semakin liar, desahan mulai keluar dari keduanya. Tangan Shani agresif. Makin lama, jemari Shani semakin nakal. Beberapa kali menyapa tubuh bagian depan Gracia, hingga membuat Gracia semakin gelisah. Gracia melepas ciuman, mengambil kesempatan untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya.

"Nakal ya," ucap Gracia seduktif. Shani tersenyum menang.

"Suara kamu candu banget, Ge. Aku suka," bisik Shani sambil mengigit kecil telinga Gracia.

Gracia tersipu, "mau lanjut?"

Shani memejamkan matanya, tampak berpikir. "Cukup sampe situ dulu aja ya," putusnya.

Gracia sedikit terkejut.

"It's easy to take off your clotes and having sex, Ge," Shani membelai lembut pipi Gracia. "Orang-orang bisa ngelakuin itu setiap ada waktu dan kesempatan,"

Gracia menatap Shani, menanti lanjutan dari ucapan sang kekasih.

"But, ada hal yang lebih menarik buat aku, dibandingkan ngelakuin sex," Shani menatap lurus pada kedua bola mata Gracia. "Opening up your soul to someone, letting them into the spirit, thoughts, fear, future, hopes, dreams... That's being naked."

Gracia paham. Shani hanya tidak ingin terlalu terburu-buru, mungkin. Setidaknya, Shani memiliki alasan untuk tidak melakukannya sekarang. Shani juga benar, mungkin masih belum pantas hal itu untuk mereka lakukan. Apapun itu, pilihan Shani akan Gracia ikuti.

Lalu keduanya saling membalas senyum, diakhiri dengan Gracia memeluk erat tubuh Shani dan menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Shani.

---Fin.

Story GrshnWhere stories live. Discover now