sore (2)

1.4K 150 7
                                    

Selepas hari itu, Gracio berubah. Ia menjadi orang tertutup, bahkan dengan keluarganya. Entah, Gracio seperti marah pada dirinya sendiri. Sebab tidak bisa mempertahankan Shani lebih lama.

Shani memperhatikan wajah Cio, bulu-bulu halus tumbuh menutupi bagian bawah hidung dan rahangnya. Kedua mata Gracio menatap kosong, Gracio kehilangan jiwanya.

"Cio," panggil Shani. Namun Gracio tidak merespon. "Samuel Gracio." Ulangnya.

Air mata Shani turun, tidak menyangka jika Gracio bisa seperti ini.

"Cio, ngomong dong." Shani masih berusaha mengajak Gracio berbicara.

Shani mengelus kedua pipi Gracio, berharap ada respon dari lelaki di hadapannya.

Gracio memegang tangan Shani, tersenyum tipis.

"Kenapa, Indira?" Jawab Gracio pelan.

"Kamu yang kenapa? Kamu berubah seperti ini, aku ngga kenal sama kamu yang sekarang."

"Hei, aku ngga apa-apa, cuma sedang melamun." Gracio menggenggam tangan Shani.

"Udah berapa lama kamu ngga cukuran? Kamu udah berapa hari ngga makan?" Tanya Shani khawatir.

"Cukup lama." Jawab Gracio singkat.

"Apa yang terjadi sih sama kamu, Cio?"

"Nothing. Aku cuma benci sama hidupku."

"Benci? Apa yang kamu benci?" Shani bingung.

"Aku ngga bisa mempertahankan kamu, aku pernah bersumpah untuk tetap bertahan. Tapi nyatanya aku gagal, aku ngga bisa lebih lama menggenggam tangan kamu."

Air mata Shani kembali menetes. Ucapan Gracio mampu membuat hatinya teriris.

"Jangan gitu, Cio. Aku merasa bersalah."

"Kamu engga salah, Shan. Aku yang salah. Aku yang terlalu pengecut buat kamu. Aku cuma rindu sama beberapa kebiasaan yang kita lakuin bersama, rindu dengan kenangan tentang kita," Gracio menjeda ucapannya. Menghapus air mata Shani.

"Aku benci banget sama diri aku. Aku juga benci tiap kali aku harus lewat taman kota, tempat kita menghabiskan waktu bersama. Aku juga mulai benci sama coklat dan pasta, aku ngga suka berada di bioskop, aku benci sama gitarku yang dulunya selalu aku mainin tiap kamu minta aku nyanyi," Gracio terdiam "I think i would start hating everything." Lanjutnya.

"Jangan ngomong begitu. Kamu masih bisa lanjutin hidup kamu, Cio. Meksipun sudah engga lagi sama aku." Shani menatap sedih pada sosok Gracio.

"Aku bisa kok hidup tanpa kamu, buktinya aku bertahan, kan? Cuma, hidupku terasa hampa kalo ngga ada kamu. Sepi. Separuh jiwaku ada di kamu. Aku hilang kendali sama diri aku sendiri, Shan. Pengaruh kamu besar buat aku." Jelas Gracio.

"Tapi Ci--" ucapan Shani terhenti.

"Kamu sendiri bagaimana? Apa sudah bahagia? Sudah menemukan pengganti aku?" Tanya Gracio.

Shani mengangguk ragu.

"Aku di jodohin sama anak temen papa, besok aku bertemu sama dia. Cio, aku harus gimana?"

"Ya temuin dia, Shan. Dia laki-laki yang di pilih langsung sama papa kamu, Artinya, dia yang terbaik." Gracio mencubit pipi Shani.

"Apa kamu baik-baik aja setelah tau kabar ini, Yo?"

"Ngga ada yang masih baik-baik aja setelah tau kabar tidak enak, tapi aku coba buat menerima, Shan. Sekalipun itu berat. Aku pernah bersumpah pada Tuhan." Gracio menatap ke arah luar jendela.

"Bersumpah untuk apa?"

"Untuk melihat kamu agar tetap bahagia. With or without me, semoga kamu bahagia sama pilihan yang udah di ambil."

"Bahagiaku ada di kamu, Cio."

Gracio tersenyum, meskipun itu terpaksa. Mendekat ke arah Shani. Gracio memeluk tubuh Shani dengan erat, lalu mencium puncak kepala Shani.

"Aku lapar, aku lagi pengen makan bakso." Ajak Gracio.

Mereka berdua beranjak meninggalkan kamar Gracio.

Dua minggu berselang, Shani kembali datang ke rumah Gracio.

"Loh, Shani. Kok kesini?" Tanya ibu Cio.

"Iya tante, mau ketemu Cio. Sekalian mau kasih undangan buat tante sama om, datang ya." Ucap Shani sedikit tidak enak.

"Pasti, kami bakal datang. Ngga nyangka ya, kamu udah mau menikah. Tante sama papanya Cio ngiranya kamu bakal nikah sama Cio, ternyata engga." Ibu Cio tersenyum miris.

"Hehehe. Cio mana, tante?" Shani mengalihkan pembicaraan.

"Ada di kamarnya, terakhir keluar kamar tadi malam. Tolong anterin makan sama obat buat dia ya, Shan."

Shani mengangguk, lalu mengambil alih nampan dari tangan ibu Cio.

Shani mengetuk pintu kamar Gracio, namun tidak di respon. Lalu Shani memutar gagang pintu, mendorongnya perlahan.

Prang!

Nampan itu terhempas di lantai, Shani menjerit.

"GRACIO!!!!" pekiknya.

Shani mendekat ke arah Cio yang tergeletak di atas lantai. Dengan genangan darah di sekitarnya, dan dengan pistol yang berada pada tangan kirinya.

Selembar kertas di pegang Cio di tangan kanannya.

Shani, maafkan aku. Aku tidak bisa memenuhi sumpahku pada Tuhan. Aku kalah Shani, aku tidak bisa melihat kebahagiaan kamu yang menunggu di depan. Aku tidak sanggup melihat kamu bahagia bersama orang lain, sementara kebahagiaan milikku ada di kamu.
Aku amat mencintaimu.
-Samuel.

Story GrshnWhere stories live. Discover now