Bloom

1.4K 141 4
                                    

Shani menatap pada langit malam, tak ada bintang, sebab hujan tengah turun meskipun tak begitu deras. Duduk di balkon apartemen adalah kegemarannya, sembari merenungkan hal-hal apa saja yang telah dia lewati dalam keseharian.

Suara pintu digeser mengusiknya, Shani menoleh lalu tersenyum hangat menyambut Gracia yang baru saja memutuskan untuk bergabung.

"Aku cariin taunya ada disini, kebiasaan banget!" Celoteh Gracia.

Shani tersenyum menanggapi, kemudian menggeser tubuhnya agar Gracia bisa ikut duduk disebelahnya.

"Cerewet," cibir Shani. "Mending kamu masuk aja, disini dingin."

Gracia menyipitkan matanya, "harusnya kamu yang masuk, dari tadi duduk disini terus."

"Nanti aja, aku masih betah."

"Iya deh," Gracia berjalan masuk kedalam sebentar, kalu kembali lagi ketempat Shani. "Nih aku buatin kopi, kata kamu tadi, kan, pengen kopi."

Dengan senang hati, Shani menerima mug yang diberikan Gracia. "Makasih ya."

Gracia mengangguk, lagi, dia kembali masuk kedalam.

Pelan-pelan Shani menyeruput kopi yang ada didalam mug, Gracia memang pintar sekali soal meracik minuman kesukaannya.

"Shan," panggil Gracia.

"Kenapa?"

"Ngga sih, cuma panggil aja." Gracia duduk disebelah Shani, tangannya memegang mug berukuran sama dengan milik Shani.

"Kamu ngapain bawa selimut?" Shani menatap heran.

"Ya aku mau temenin kamu duduk disini, kasian kamu sendirian."

"Ah biasanya juga sendirian kok," Shani meletakan mug itu diatas meja. "Di pake dong selimutnya."

Gracia melilitkan selimut itu pada tubuhnya, "kamu kesini dong, ngga dingin apa?"

Shani merapatkan tubuhnya pada Gracia.

"Shan?"

"Iya, kenapa, Gracia?"

Gracia diam beberapa saat, menatap lurus pada pagar pembatas balkon.

"Kita udah berapa tahun sih pacaran?"

Shani mengerutkan keningnya, "cukup lama, sih. Aku ngga tahu angka pastinya."

"Shan, kalo suatu saat aku pergi. Apa kamu bakal baik-baik aja?"

Shani tersenyum, "menurut kamu gimana? Apa aku bakal baik-baik aja?"

Gracia tidak tahu.

"Ngga akan baik-baik aja. Aku pasti hancur, tapi kalo itu keputusan kamu, aku coba buat ikhlas," Shani menatap Gracia. "Kamu sendiri gimana? Apa kamu bakal baik-baik aja?"

"Same," jawab Gracia. "Shan, aku bingung."

"Bingung kenapa?" Shani tahu, kali ini Gracia ingin mengajaknya berbicara serius.

"Kita. Aku bingung soal kita. Ya kamu tahu, kan, kalo kita----" Gracia tak bisa melanjutkan kalimatnya, terlalu takut.

"Iya. Aku paham," Shani mengerti kemana arah pembicaraan ini.

Keduanya bungkam. Terlalu berat jika meneruskan topik pembicaraan.

Shani meraih mug, bahkan kopi didalamnya sudah dingin, tak dapat lagi menghangatkan pikirannya.

"I have a big dream." Shani menatap wajah samping Gracia.

"Apa?"

"Maybe we can go home, and stay. Disini. That'd be nice, right?," Shani menjeda ucapannya, menatap Gracia yang tampaknya tengah berfikir.

"Lalu?"

"Atau kita bisa pergi, cari rumah impian kita. Aku pengen tinggal di pedesaan, jauh dari bisingnya perkotaan," Shani merangkul tubuh Gracia.

"Rickety chair, calm night, two cups off coffee that will drive us into heated arguments about petty," Shani kembali melanjutkan. "Useless things until the end of the night."

Gracia tampak fokus mendengar ucapan Shani.

"Aku janji, itu akan jadi hal yang akan bertahan selamanya. Ya, we'll try to make it last." Shani mengenggam tangan Gracia, tatapannya begitu serius.

Gracia terdiam, begitu dalamnya rasa yang Shani punya, begitu besarnya mimpi Shani. Gracia membiarkan Shani berbicara, dia akan menjadi pendengar yang baik.

"Kita hanya perlu satu tempat, untuk dijadikan tujuan kita pulang. Aku cuma mau sama kamu, selamanya. Sekalipun kita harus tersesat, terdampar, bahkan lebih parah dari itu. Just with you," Shani menarik napas dalam.

Gracia masih memperhatikan Shani, sungguh, ucapan Shani mampu membuat hatinya tersentuh.

"Mungkin ini bukan keputusan yang bijak, untuk mempertahankan sesuatu yang sangat besar, menurutku. Tapi aku mau mencoba, dan aku mau mencobanya sama kamu." Shani mengusap air mata Gracia yang mulai jatuh.

"Shan, aku terharu." Gracia meraih tangan Shani yang sibuk mengusap air matanya.

"Loh? Kok terharu?"

"Impian kamu sederhana banget, tapi sangat berarti besar buat kamu," Gracia mengusap pipi Shani. "Aku juga punya impian, Shan."

"Wah, apa itu?" Shani tampak penasaran.

"Impianku adalah mewujudkan mimpi yang kamu punya. Aku juga mau hidup bareng kamu, tua bareng sama kamu. Cuma ada kamu dan aku, serta anak-anak kita nanti." Gracia tertunduk malu, rona merah diwajahnya tak dapat dia sembunyikan.

Shani tertawa melihat Gracia yang tersipu, "udah deh, ngga usah malu-malu gitu. Kita harus belajar mempercayai diri kita sendiri, Gre. Kita juga harus mulai belajar banyak hal, kalo mau sama-sama."

Gracia mengangguk antusias.

"So, grow old with me, ok? Aku tahu, kita ngga akan bisa terikat dengan pernikahan, jadi kita cuma butuh sebuah janji suci. Anggap aja itu yang jadi bukti kalo kita terikat," Shani mengeluarkan sesuatu dari dalam saku piyamanya. "Ini aku tadi beli snack, dapet cincin meskipun cuma plastik. Kalo uangku udah cukup, nanti aku ganti jadi cincin yang asli."

Gracia memakai cincin itu di kelingkingnya, lalu tertawa. "Ngga usah pake cincin asli juga ngga masalah, Shan."

Lalu mereka tertawa bersama, mencairkan suasana tegang beberapa saat yang lalu. Saling merengkuh tubuh satu sama lainnya, berharap malam ini tidak berlalu dengan cepat. Malam yang indah, bersejarah, serta malam paling menegangkan sekaligus mengharukan bagi Gracia.

Yasudah, biarkan mereka berbahagia barang sejenak. Kita sudahi part ini, vote beserta komentarnya saya tunggu!

P.s; maaf kalo jelek, ga dapet feel, namanya juga anak-anak. Maaf juga kalo ngga nyambung, cowok kan emang ngga pernah nyambung kalo diajak cerita.
P.s.s; kalo penulisan bahasa Inggrisnya ada yang salah, tolong koreksi ya! Hehe

s; kalo penulisan bahasa Inggrisnya ada yang salah, tolong koreksi ya! Hehe

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Story GrshnWhere stories live. Discover now