Istimewa

1.4K 141 0
                                    

Keduanya berjalan menyusuri trotoar, udara dingin sehabis hujan turun tak menyurutkan semangat mereka untuk menjelajahi jalanan.

Jalanan sepi, meskipun malam belum larut, mungkin hujan membuat semua orang enggan keluar dari rumah. Masing-masing dari mereka membawa satu buah kantong plastik berwarna putih, tentu saja isinya adalah makanan ringan yang mereka beli di mini market.

"Sepi banget deh, aku takut." Gracia merapatkan tubuhnya pada Shani.

"Ya kan udah jam sebelas, lagian abis hujan. Yaudah jalannya cepetan, aku kedinginan nih." Shani mempercepat langkahnya.

Gracia mendengus, lalu menyamai langkah Shani.

"Tau gitu mending kita di hotel aja, kirain bakal rame." Gracia mengeluh.

"Kamu sih, kenapa malah ajak belanja. Udah tau aku capek, besok mesti balik juga ke Jakarta."

"Ya kan aku laper, Shan. Maaf deh,"

Shani diam saja, sesekali memperhatikan sekitarnya. Takut-takut ada orang yang berbahaya, apalagi mereka hanya berdua saja.

"Dimanapun aku berada, selalu terasa istimewa ya," Gracia memecah keheningan.

"Hah?"

"Iya, mau dimanapun aku sekarang, rasanya selalu istimewa. Menjadi kepercayaan orang lain untuk jalani pekerjaan yang ada." Gracia tersenyum.

"Bukan itu alasan sebenarnya, kan?," Shani menebak. "Aku. Aku yang buat semua hal itu jadi istimewa buat kamu."

Oh tidak, Gracia merasakan kedua pipinya memanas.

"Tuh, kan, pipi kamu jadi merah gitu. Berarti bener," Shani menggoda. "Tapi aku juga rasain hal yang sama kok, Gre. Kemanapun aku pergi, selagi itu sama kamu, bakal terasa istimewa."

Gracia tertunduk, mencoba menyembunyikan rona wajahnya yang makin tak terkontrol.

"Apaan sih, Shan. Kok jadi melenceng jauh," Gracia berpura-pura kesal.

Shani tertawa, selalu saja begini tiap kali menggoda Gracia. Selalu menjadi kebahagiaan tersendiri.

Mereka sampai di hotel, menaiki lift yang ada di lobby.

"Aku kayanya langsung tidur aja deh, ngantuk banget." Gracia menguap lebar.

"Biasanya juga duluan aku yang tidur, ntar juga pas sampe kamar, mata kamu bakal melek lagi."

"Tapi aku beneran ngantuk, Shan. Lagian besok kereta kita pagi, aku ngga mau ya sampe harus ketinggalan kereta kaya tempo hari." Gracia mengingatkan.

Shani mengangguk saja, merogoh saku celananya. Lalu menggesekkan kartu akses kamar mereka.

"Yaudah kalo mau tidur, aku belum ngantuk. Tolong pesenin kopi dong, Gre, Aku mau mandi dulu."

"Kamu yakin mau ngopi? Nanti kereta kita pagi loh, Shan."

"Yakin, aku kayanya ngga tidur deh. Mau ngerjain beberapa laporan dulu," Shani mengambil pakaian didalam koper miliknya. "Buruan pesen kopi, nanti keburu kamu lupa."

Setelah mandi, Shani melirik tempat tidur. Benar, Gracia sudah terlelap. Tersenyum simpul, Shani menutupi tubuh Gracia dengan selimut.

"Kenapa kalo tidur mukanya lucu banget sih." Ucap Shani gemas.

Suara ketukan pintu mengalihkan perhatian Shani, itu pasti kopi pesanannya.

"Ada tambahan lain, mbak?"

"Engga ada, cukup kok. Makasih ya, mas." Shani memberi satu lembar uang, petugas lalu pergi sembari mengucapkan terima kasih.

Shani mulai larut dalam kesibukannya, beberapa kali dia mendengus kesal karena salah mengetik laporannya. Punggungnya terasa berat, embusan napas meremangkan lehernya. Seseorang tengah memeluknya dari belakang, Shani sempat terkejut.

"Kok kamu bangun?"

"Mau nungguin kamu selesai kerjain tugas, aku juga laper. Mau pesen nasi goreng ngga, Shan?" Gracia masih betah memeluk tubuh Shani.

"Engga, kamu pesenin kopi satu gelas lagi aja. Ini kayanya aku beneran begadang, aku lupa ada deadline yang harus aku serahin ke Bos." Shani memperhatikan tumpukan-tumpukan kertas yang ada ditangannya.

"Oke. Aku pesan dulu."

Tak butuh waktu lama, Gracia duduk disebelah Shani. Memperhatikan raut wajah Shani yang tengah serius, senyuman tak lepas dari wajahnya.

"Sini aku bantuin, Shan. Biar cepet kelar." Tawar Gracia.

Shani menggeleng, "ngga usah, ini bukan tugas kamu. Lagian kita, kan, beda divisi."

Ketukan pintu terdengar, Gracia beranjak.

"Nih kopinya, kamu jangan keseringan ngopi lah, Shan. Ngga baik." Gracia memberitahu.

"Kalo mepet aja kok, sayang. Selebihnya aku biasa aja tuh sama kopi," Shani mengusap kepala Gracia.

"Eh tapi, seingatku, kamu bukannya lebih suka teh?"

Shani mengangguk. "Memang, tapi itu dulu."

"Kenapa? Kok bisa berubah?"

"Dulu, aku suka teh karena dia. Aku mau berhenti minum teh," Shani tersenyum. "Kopi itu ibarat kamu, aku mau beralih dadi teh ke kopi. Teh itu manis rasanya, tapi kalo terlalu sering diminum, itu bakal jadi penyakit, bakal bikin aku sakit."

"Tapi, kan, kopi itu pahit rasanya."

"Iya, emang pahit kok. Meskipun pahit, tapi tetap bisa dinikmati. Kopi bisa bikin penat dihati dan pikiranku hilang, kopi bisa bikin aku relax. Karena itu aku suka kopi, suka kamu juga, tentunya." Shani menyeruput kopi miliknya.

Gracia terperangah mendengar jawaban Shani, tidak tahu harus memberi tanggapan apa, hatinya terasa tengah terbang menuju langit karena ucapan Shani.

"Kamu juga tumben,"

"Hah? Tumben apa?" Gracia tak tahu.

"Itu, mau makan nasi jam segini. Biasanya kamu paling anti makan makanan berat diatas jam tujuh malam." Shani memperhatikan piring berisi nasi goreng milik Gracia.

"Ho itu. Karena aku lapar, makanya makan nasi. Kalaupun ada makanan lain selain nasi, kayanya aku jauh lebih milih nasi." Gracia menyuap nasi goreng.

"Masa cuma karena itu aja?"

"Ya mau gimana. Menurut aku, lebih baik aku makan nasi sekalian, daripada harus makan yang lain dan ngga bikin kenyang. Ngga peduli mau jam berapapun. Kaya kamu, lebih baik aku sama kamu, kamu bisa bikin aku bahagia. Daripada aku sama yang lain, aku takut kalo aku ngga bahagia,
Mungkin." Tutur Gracia.

Shani hanya mengangguk setuju, lalu kembali fokus dengan laptop miliknya.

*Aku ngerasa makin kesini kayanya makin ngaco aja tulisanku, makin ngga nyambung. Belakangan ini juga minat menulis surut, minat membaca menggunung. Yaudah, sampai bertemu kapan-kapan lagi!*

 Yaudah, sampai bertemu kapan-kapan lagi!*

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Story GrshnWhere stories live. Discover now