🍷 Tiga

539 72 0
                                    



Chan masih di tempatnya. Duduk di bangku yang ada di depan ruang ICU tempat Minho berbaring tak berdaya usai operasi yang dilakukan selama berjam-jam tadi. Ya, Minho dioperasi karena besarnya pengaruh kecelakaan yang menimpahnya.

Jihyo juga masih di situ. Ia tak berhenti menangis sejak melihat keadaan sang adik sebelum dibawa ke ruang operasi hingga sang adik dipindahkan ke ruang ICU. Sangyeon dengan setia menemani di sampingnya.

Dan Chan.

Hanya mereka bertiga. Hyunjin juga ikut menunggu ketika operasi masih berjalan tadi. Tapi saat jam sudah menunjukan waktu tengah malam, Sangyeon meminta adik sepupu Lee bersaudara itu untuk pulang dan beristirahat agar besok dapat kembali untuk menjaga Minho—menggantikan Jihyo. Sementara Younghoon dan Juyeon sudah pergi sejak Chan menyuruh mereka untuk pergi mencari tahu tentang kecelakaan yang menimpah Minho.

Jam sudah menunjukan pukul setengah empat dini hari, tapi Chan belum juga tidur. Pikirannya masih kalut. Walau dokter mengatakan bahwa operasi yang dilakukan berhasil, tidak ada orang yang bisa memastikan kapan Minho akan bangun dan bagaimana keadaannya saat bangun nanti. Apa ia akan baik-baik saja atau mengalami hal lainnya. Chan tidak bisa berhenti memikirkan itu.

Sementara Sangyeon dan Jihyo saling merangkul untuk berbagi lelah dan kehangatan di penghujung kegelapan itu, ia hanya diam dan terus menatap ke pintu ruang ICU dengan perasaan tak mengenakan. Baru kemarin sore ia menemui Minho dan bocah itu memakinya seperti biasa. Lalu, kenapa sekarang bocah itu jadi berbaring lemah di dalam sana?

Chan tidak suka Minho tertidur dalam diam seperti itu. Ia lebih memilih menghadapi Minho yang selalu menatapnya penuh benci dan memakinya setiap mereka bertemu. Ia lebih suka melihat Minho menatapnya seperti iblis yang bersiap menyelapkan apa saja setiap mereka bertatapan. Ia lebih suka melihat Minho yang terus memakinya, menghujatnya karena semua tingkah tanpa hati yang selama ini ia lakukan.

Ia lebih suka Minho seperti itu.

Ia lebih suka Minho yang membencinya seperti itu.




“Gak usah masang muka sok polos! Bajiangan ya bajingan aja!

“Kok lo tahu gue bajingan?”

“Seluruh dunia juga tahu kalo lo bajing, anjing!”

“Sekarang gue tahu kenapa bokap lo ngusir lo dari rumah. Karna lo bukan anaknya. Gimana bisa bokap lo yang baiknya minta ampun punya anak titisan setan kayak lo? Gak mungkin!”

“Sopan dikit kek, bajing! Dia orang tua lo!”

“Mabuk-mabukan, balap liar?! Lo pikir lo keren?! Cih?!”

“Adab lo gak ada apa? Bisa-bisanya lo cium tuh orang di depan umum kayak gitu? Kenapa gak sekalian aja lo perkosa dia di sana?”

“Gak pernah kepikiran sih, tapi saran lo bagus tuh. Mau gue coba.”

“Setan emang lo!”

“Gimana kalo gue nyobanya ke elo, No. Lo aja yang gue perkosa di sana.”

“BAJINGAN LO, BANG CHAN!”

“KENAPA LO CIUM GUE, BAJINGAN?! LO TUH KOTOR, UDAH SEMBARANGAN NYENTUH ORANG, SEENAKNYA AJA LO CIUM GUE?!”

“Lah kenapa? Lo biasa aja tuh dirangkul sama semua orang, masa gue cium doang lo marah.”

“ITU BEDA, BAJINGAN!”

“Ah, masa?”

“MATI AJA LO, SETAN!”






Chan memejamkan matanya lalu menghela napasnya dengan berat saat beberapa potongan percakapannya dan Minho melintas dipikirannya. Tidak pernah ada hal baik yang terjadi di antara mereka.

Saat mereka pertama bertemu—saat ia masih duduk di bangku kelas tiga SMP—Minho melihatnya mengamuk besar pada ayahnya. Saat itu, ayahnya yang baru pulang dari urusan bisnis di luar negri langsung memaksanya untuk ikut sebuah jamuan makan malam dengan kolega bisnisnya. Chan yang memang tidak suka dengan semua urusan bisnis ayahnya jelas menolak. Tapi paksaan ayahnya membuatnya mengamuk.

Saat itu, Minho adalah tetangga barunya. Bocah itu masih duduk di kelas satu SMP. Ia datang ke rumah Chan bersama kakaknya untuk berkunjung dan membawa bingkisan sebagai bentuk perkenalan dengan tetangga baru. Dan saat itu, Minho melihat bagaimana Chan menentang dan menjawab ayahnya.

Sebagai anak yang berbakti dan dididik dengan baik oleh kedua orang tuanya, Minho jelas tidak suka dengan sikap Chan yang pembangkang. Bahkan di pertemuan pertama mereka, bocah manis itu sudah melemparkan tatapan penuh kebenciannya pada Chan.

Chan tahu itu. Chan tahu jika Minho sudah membencinya sejak pertemuan pertama mereka. Tapi, ia tidak peduli sama sekali. Bahkan ketika seluruh dunia membencinya, ia tidak akan peduli. Hidupnya adalah miliknya, ia berhak melakukan apa saja yang ia mau. Seluruh dunia berhak membencinya, tapi tidak berhak untuk mengaturnya.

Dan Minho hanya sebagian kecil dari dunia yang membencinya. Sekalipun si manis mengucapkan sumpah serapah untuk sikap tidak tahu dirinya, ia tidak peduli. Kebencian Minho tidak memberi kontribusi apapun untuknya bertahan hidup. Jadi, untuk apa ia peduli?

Lalu, ketika pemilik marga Lee itu membencinya hingga sampai ke titik tertinggi dari rasa benci itu, untuk pertama kalinya Chan menyesal.

•oblitus•












Thank you...

o b l i t u s •• banginho/minchanWhere stories live. Discover now