🍷 Delapan

471 62 1
                                    

Pertemuan dengan ayahnya memang tidak pernah berhasil dengan baik, membuat Chan lagi-lagi hampir baku hantam dengan pria itu. Kali ini pembicaraan mereka semakin sensitif dan Chan semakin tidak suka diatur.

Bagaimana bisa pria itu ingin menjodohkannya? Urusan apa yang mau ia lakukan di masa depan saja, ia tidak ingin diatur, bagaimana bisa pria itu mengatur siapa yang boleh mendampinginya kelak? Lagi pula, seluruh hatinya sudah ia berikan untuk Minho, tidak ada kesempatan untuk orang lain memilikinya.

Membuka gerbang besi rumahnya karena ia akan pergi dari sana, lelaki bermarga Bang itu melangkah dengan emosi yang masih sama. Lalu, saat ia sudah keluar, lagi-lagi gerbang besi itu menjadi korban karena ditutupnya dengan cara dibanting.

Chan tidak tahu, tapi hasil perbuatannya membuat seseorang yang kebetulan lewat di depan rumahnya jadi kaget dan menjatuhkan belanjaannya. Lelaki itu baru sadar ketika ia menoleh dan melihat orang itu sibuk memungut kantong belanjaannya sebelum kembali berdiri tegak dan menatapnya.

"Kamu gak apa-apa?"

"Hah?"

Chan terdiam, tidak tahu reaksi macam apa yang harus ia berikan. Ini terlalu tiba-tiba dan ia belum memproses dengan baik beberapa hal yang terjadi saat ini.

Pertama tentang orang yang ada di depannya dan baru saja mengajukan pertanyaan tadi padanya.

Ini Minho kan?

Bocah ini benar-benar Minho, adik sahabatnya, seseorang yang tinggal di samping rumahnya itu. Ia terlampau mengenali pemilik wajah indah bermarga Lee itu dengan baik.

Tapi, apa yang ia lihat saat ini?

Kenapa Minho menatapnya dengan tatapan antara polos dan khawatir seperti itu?

Dan di mana tatapan tajam penuh kebenciannya?

Kedua, tentang panggilan yang si manis sematkan saat bertanya padanya tadi.

Kamu?

Tidak salah kan?

Bahkan 'lo' lebih sopan untuk Minho sematkan dalam setiap pembicaraan mereka. 'Setan', 'bajingan', 'brengsek' lebih baik untuknya jika digunakan oleh si manis.

Apa yang terjadi pada kecelakaan itu sehingga Minho jadi seperti ini?

Ddrrrttt....

Chan yang masih asyik dengan pemikirannya, jadi tersentak kecil begitu dirasanya ponsel yang ada di saku celananya bergetar. Dengan segera ia mengalihkan tatapannya dari Minho yang masih menatapnya sebelum bergerak meraih ponselnya. Lalu, saat melihat nama Hyunjae yang tertera di layarnya, tanpa menunggu ia menjawab telpon itu dengan kaki yang melangkah cepat ke motornya, sebelum pergi dan meninggalkan Minho di situ.











•oblitus•











"Kak, kenapa?"

Minho yang baru memasuki dapur, jadi menoleh pada Hyunjin yang saat ini berdiri di depan kulkas. Bocah itu sepertinya baru saja mengambil minuman dari sana. Segera saja, Minho menggeleng sebagai jawaban atas pertanyaan yang sebelumnya Hyunjin ajukan padanya.

"Gak apa-apa," menjawab kemudian, pemilik marga Lee itu lalu meletakan belanjaannya di atas meja sebelum menatap Hyunjin lagi, "Ini mau diapain?"

"Kakak mau makan apa?" tapi bukannya menjawab pertanyaan Minho, Hyunjin memilih mengajukan pertanyaan lain sambil berjalan mendekati sang kakak, "Biar gue masakin."

"Emang bisa?"

"Bisa. Selama ini kan kalo asisten rumah tangga pada pulang, emang gue yang masak."

"Kak Ji gak masak?"

"Kan dia kerja."

Mengangguk saja, Minho lalu kembali menatap belanjaan di atas meja sebelum kembali menatap Hyunjin, "Aku biasanya suka makan apa?"

"Hah?"

Sebenarnya sudah sejak Minho bangun, si kakak itu menggunakan 'aku-kamu' dalam setiap pembicaraan dengan siapa saja. Hanya saja, Hyunjin belum terbiasa dengan itu. Ia masih kaget setiap Minho mengucapkannya.

Baiklah, Minho memang tidak sekasar yang orang lain pikirkan--selain pada Chan, tentu saja--tapi 'aku-kamu' terlalu lembut untuknya. Hyunjin masih belum bisa beradaptasi.

"Heh, lo kok diem?"

"Lo?"

Hyunjin kaget, ia tidak salah dengar kan?

"Gak tahu, tapi gue rasa, kita ngomongnya gak pake aku kamu deh, Jin," jawab Minho sedikit ragu, "Sama kak Ji... juga kan?"

Tidak ingin membuat masalah, Hyunjin mengendik acuh. Tangannya lalu bergerak mengeluarkan beberapa barang dari dalam kantong belanja.

"Ngingetnya sebisa lo aja, kak. Jangan dipaksain, nanti lo sakit."

Walau tidak memahami apa yang dimaksud Hyunjin, Minho tetap mengangguk seadanya. Selanjutnya, ia juga ikut menatap belanjaannya tadi sebelum jadi tersentak kecil saat Hyunjin bertanya kaget.

"Kak, kok telurnya pecah semua?"

Mengerjap polos, Minho menatap kantong lebih kecil yang berisi telur yang sudah pecah dan Hyunjin bergantian.

"Kayaknya karna jatuh tadi deh."

"Lo jatuh?"

"Gak, kantongnya doang yang jatuh."

"Kok bisa?"

"Gue kaget. Ada yang nutup pintu gerbang pake dibanting. Bunyinya keras banget makanya gue kaget sampe jatuhin belanjaannya. Gue lupa kalo ada telur di dalam."

Apa yang keluar dari mulut Minho setelah itu sukses membuat Hyunjin menatapnya kaget, "Pintu gerbang yang mana?"

"Tuh rumah sebelah, yang gede banget."

"Satpam bukan?"

"Bukanlah," jawab Minho cepat, "Orang dia gak pake seragam satpam. Dia juga punya motor gede."

"Motor gede?"

"Heem," berdehem sambil mengangguk Minho lalu kembali menatap Hyunjin, "Btw, dia siapa ya, Jin? Kok gue ngerasa kenal sama dia?"

•oblitus•





















Thank you...

o b l i t u s •• banginho/minchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang