🍷 Sepuluh

438 60 4
                                    


"Ayo, kak."

Minho mengangguk saja saat Hyunjin mengajaknya masuk ketika mereka sudah sampai di tempat Hyunjin akan bertemu dengan temannya. Ia tidak tahu pasti tempat ini, tapi suasananya sangat tidak menyenangkan. Apalagi saat mereka masuk, mereka langsung disambut suara musik yang keras dan bau alkohol yang menguar di mana-mana.

Minho meringis kecil sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. Ia paham sekarang kenapa Hyunjin mengatakan bahwa ia tak pernah menyukai tempat itu.

Walau tak menyukai tempat itu, ia tetap melangkahkan kakinya untuk memasuki tempat itu lebih dalam, mengekor di belakang Hyunjin yang berjalan satu langkah di depannya.

Mereka menapaki tangga, sebelum Hyunjin mengajaknya masuk pada sebuah ruangan besar. Lalu, ketika bocah itu terus melangkah, kaki Minho jadi berhenti begitu saja pada suatu titik. Ia tidak tahu pasti apa yang ada di sana, tapi ia dengan sendiri menoleh ke kanan sebelum matanya menangkap keberadaan seseorang yang tidak asing di matanya.

Pemilik marga Lee itu lalu memincingkan matanya, menatap lebih seksama orang itu karena keadaan penerangan di tempat itu yang minim. Lalu, entah mendapat dorongan dari mana, kakinya jadi melangkah begitu saja untuk mendekati tempat orang itu berada.

Ah, orang ini ternyata adalah seseorang yang bertemu dengannya siang tadi. Yang menutup pintu gerbang besar di rumah sebelah. Ya, memang benar orang itu.

Tapi, apa-apaan yang ia lihat saat ini?

Bagaimana bisa orang itu duduk dengan dikelilingi 1, 2, 3, 4.... astaga, ada berapa perempuan yang bersamanya? Dan yang membuat Minho semakin tidak percaya dengan apa yang ia lihat adalah orang itu terus berciuman secara bergantian dengan semua perempuan itu. Ia bahkan membiarkan semua perempuan itu menyentuh tubuhnya begitu saja.

"Kamu ngapain?"

Minho tidak mengerti mengapa ia tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu. Tapi, ada sebagian kecil dari dirinya yang menyuruhnya untuk menghentikan kegiatan gila yang orang itu lakukan. Ia juga tidak tahu pasti, tapi rasanya ia juga ingin marah-marah pada orang itu saat ini juga.

Saat ia sibuk sendiri dengan pemikirannya, orang itu tiba-tiba menatapnya--tepat setelah pertanyaan itu ia ajukan. Ini tidak salah kan? Ia pikir suaranya sangat pelan dan ditutup keributan di tempat itu. Lalu, kenapa orang itu langsung menatapnya seakan mendengar pertanyaan tadi?

"Wow, berani ke sini juga?"

Minho tidak menjawab, tapi ia masih menatap tidak nyaman orang itu. Sementara orang itu nampak acuh dan kembali bercumbu dengan salah satu perempuan yang bersamanya.

"Bisa berhenti gak? Gak enak banget liatnya."

Dua kalimat ia ucapkan dan sukses membuat orang itu kembali menatapnya. Beberapa detik terdiam orang itu lalu bergerak menyingkirkan tangan-tangan perempuan yang masih bergerak di atas tubuhnya.

"Stop dulu, malaikat gue kayaknya ntar lagi marah nih."

"Tapi, kita jadi kan?"

"Jadi dong, tunggu aja di kamar."

"Semuanya kan?"

"Iya."

Para perempuan itu lalu beranjak dari posisi mereka dan berjalan pergi dari sana. Lalu, saat melewati Minho, beberapa dari mereka sempat menyenggol si manis dan memasang wajah menilai yang menyebalkan.

"Kenapa, sayang?" pertanyaan itu diajukan orang tadi, membuat perhatian Minho beralih padanya. Ia kini sudah melangkah santai dan berdiri tepat di depan Minho, "Gak mau marah-marah? Padahal gue udah siap loh dimarahin sama lo."

"Aku boleh marah?"

"Kok nanya? Biasanya kan juga lo marah."

Diam sesaat, Minho lalu memukul kepala orang itu.

"Anjing!"

Dan sukses mengundang umpatan dari orang tersebut.

"Kamu kok gak ada otak sih? Kalo mau main ya sama satu orang aja. Gak usah banyak-banyak kayak gitu. Kalo penyakitan gimana?"

"Gue lagi stres, butuh hiburan. Lo gak ada hak ngatur-ngatur gue."

"Hiburan banyak, gak hanya itu aja."

"Tapi gue butuh itu."

"Kalo gitu sama pasangan kamu aja sana. Gak usah nyari penyakit."

"Gue gak punya."

"Gak usah bodoh! Ya cari. Pilih salah satu dari mereka, gak usah sama semuanya."

"Tapi kalo sama mereka, gue gak bisa milih."

"Ya udah, kalo gitu sama aku aja."

"Hah?"

Sekali lagi, Minho tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia ucapkan. Tapi, setelah ia sadar dengan apa yang baru saja ia ucapkan, tidak ada penyesalan sama sekali. Ia justru tetap menatap orang itu dengan tatapan yang--entahlah. Ia juga masih tidak paham, tapi saat maniknya bertemu dengan manik orang itu, ia merasa seluruh dunia berhenti di sana saat itu juga.

"Lo bilang apa?"

"Sama aku aja."

Jawaban itu terlalu meyakinkan. Tapi ia yang tidak yakin jika itu memang dirinya.

"Lo sadar gak ngomong kayak gitu?"

"Sadar. Aku kan gak mabok kayak kamu."

Minho tidak tahu pasti apa yang orang itu pikirkan. Tapi, ia dapat melihat jika orang itu menatap ke sembarang arah selama beberapa saat sebelum kembali menatapnya. Detik berikutnya, orang itu kembali melangkah maju, mengikis jarak di antara mereka hingga hampir tak tersisa--karena ia bisa merasakan ujung hidungnya yang hampir menyentuh hidung orang itu.

"Kalo gue cium lo, lo gak akan bisa lepas dari gue."

•oblitus•






















Thank you...

o b l i t u s •• banginho/minchanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang