Meminta Izin

159K 9.1K 57
                                    

***

Semua orang tampak makan dengan tenang, Diana melirik Vano dan Bima yang malam ini juga bergabung. Pokoknya setelah makan malam, ia harus berbicara dengan Vano perihal kepergiannya ke Bali.

"Pah." panggil Megan yang membuat semua orang menatap wanita itu.

Bima mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatap Megan sambil menaikkan sebelah alisnya. "Ada apa?"

Megan menampilkan senyum terbaiknya. "Aku mau minta uang dong buat liburan ke Bali bersama teman-temanku."

"Bukannya papah gak mau ngasih uang Megan, tiga bulan yang lalu juga kamu sudah minta uang buat party bersama teman-teman gak jelas mu itu."

"Itu beda pah, kalau yang ini liburan semester. Masak aku dirumah aja, sedangkan teman-temanku yang lain pada liburan?"

Bima menghela nafas kasar. Enggak istri enggak anak perempuannya, sama-sama suka menghamburkan uang. "Papa tetap tidak akan kasih! Seharusnya kamu belajar nabung jika menginginkan sesuatu." Lalu pria paruh baya itu bangkit meninggalkan meja makan.

"Mah!" rengek Megan sambil menatap mata Desi.

Desi menggeleng. "Mama gak bisa bantu kalau papa kamu udah buat keputusan."

"Tapi mah! Teman-temanku semuanya pergi liburan ke Bali."

"Kenapa kamu gak minta ke kakak kamu aja." saran Desi yang membuat Megan menaikkan sudut bibirnya. Walaupun kakaknya dingin tak tersentuh, tapi tidak ada salahnya jika ia mencoba.

"Kak, please! Kasih aku uang buat liburan. Hanya kakak harapanku satu-satunya, kakak dengar sendiri tadi kan kalau papa gak mau kasih aku uang."

Megan menunggu balasan dari Vano tak terkecuali Diana. Ia penasaran apakah lelaki cuek itu akan memberikan Megan uang atau tidak.

"Hanya dua puluh juta."

Megan tersenyum kecut, biasanya ia akan diberi uang sebesar lima puluh juta. Tapi ia harus bersyukur, setidaknya Vano mau memberinya uang. "Terima kasih kak."

Vano mengangguk, lalu pandangan pria itu bertemu dengan istrinya meski hanya sesaat karena ponselnya berbunyi menampilkan nama Jessika di layar.

Setelah kepergian Vano untuk mengangkat telfon, Desi menatap Diana dengan tatapan merendahkan. "Lihatlah Diana, siapa yang barusan menelfon suami mu itu. Dia adalah wanita yang kelak menggantikan posisi mu sebagai istri Vano."

Diana tersenyum tipis. "Ah benarkah? Kita lihat saja nanti, siapa yang paling berhak menempati posisi itu."

Desi mengepalkan kedua tangannya, ia merasa marah. Mengapa menantu kampungannya itu semakin berani menjawab perkataannya. Biasanya wanita itu hanya diam dan menunduk, tapi sekarang wanita itu bahkan dengan terangan-terangan menampilkan raut tak sukanya.

Megan yang melihat mamanya marah dengan segera membawa wanita itu pergi dari sana. Ia sekarang sadar jika kakak iparnya yang kampungan itu benar-benar sudah berubah. "Kamu ngapain sih bawa mama ke sini. Mama itu belum balas perkataan Diana!!" kesal Desi.

"Mah, Diana itu benar-benar udah berubah. Dia enggak diam lagi jika kita tindas, jadi percuma aja jika mama marah-marah gak jelas sama wanita itu. Yang ada kak Vano atau papa yang malah marah sama mama."

Desi terdiam, perkataan Megan ada benarnya juga. "Jadi kita harus apa, mama udah kesal banget karena dia selalu bisa menyulut emosi mama."

"Untuk saat ini kita sabar dulu mah, kita perhatikan aja gerak-gerik Diana. Pasti ada alasan mengapa dia berubah. Gak mungkin kan hanya karena amnesia langsung benar-benar bisa merubah sifat orang dengan drastis."

Transmigrasi Istri Tak DianggapWhere stories live. Discover now