Sekamar

171K 9.4K 174
                                    

Diana menutup kedua telinganya saat mendengar suara gemuruh petir, kecelakaan malam itu seakan berputar di kepalanya. Duarr! kembali suara petir terdengar, seakan bersahut-sahutan.

Melirik jam yang saat ini menunjukkan pukul satu pagi membuat Diana tidak punya pilihan lagi, ia keluar kamar dan melangkah menuju kamar Vano. Persetan jika pria itu memarahinya, tapi yang jelas ia sangat takut dengan suara gemuruh petir yang semakin besar.

"Kenapa aku harus mengalami hal ini." lirih Diana.

Dengan tidak sabaran ia mengetuk pintu kamar suaminya itu. "Aakh!" pekik Diana saat suara petir kembali terdengar.

Dengan wajah bantal Vano menatap bingung Diana yang berjongkok sambil menutup kedua telinganya. "Diana." panggil Vano yang membuat istrinya itu mendongak dengan air mata dikedua pipinya.

Melihat Vano yang berdiri didepannya membuat Diana segera menerjang pria itu dengan pelukan. "Hiks.. Vano." isak Diana.

Hampir saja Vano terjengkang ke belakang saat Diana memeluknya, untung ia dengan sigap menahan menggunakan kakinya. Jika tidak sudah dipastikan mereka akan berakhir di lantai.

"Kenapa? siapa yang membuatmu menangis?"

"Petir."

Vano terdiam, ia sedang berfikir keras atas perkataan Diana. Kenapa petir bisa membuat istrinya itu menangis, tidak mungkin kan jika wanita itu tersambar petir. Tidak ingin menerka-nerka, Vano memilih membawa Diana ke dalam kamarnya dan mendudukan wanita itu di atas ranjangnya.

Diana masih memeluk Vano, entah memang masih merasa takut atau sedang mencari kesempatan. Yang jelas Diana enggan untuk melepaskan diri dari tubuh Vano.

"Sekarang jelaskan kepadaku kenapa kau bisa menangis."

"Karena petir."

Vano menghela nafas, apakah istrinya itu tidak tau bahwa dirinya ini bukan tuhan yang bisa membaca isi pikiran orang. "Iya aku tau karena petir, tapi bisa kau jelaskan lebih detail."

"Aku takut mendengar suara petir." cicit Diana.

"Karena kau takut makanya datang ke kamarku?" tanya Vano yang diangguki Diana.

"Bisakah kau melepaskan pelukan ini?"

"Tidak!"

"Aku tau jika hujan malam ini sangat deras, dan petirnya juga terdengar besar. Tapi tidak mungkin kita semalaman akan duduk sambil berpelukan." jawab Vano malas.

Dengan segera Diana melepaskan pelukannya, lalu berbaring diranjang pria itu. "Kalau begitu biarkan aku tidur disini."

Vano menghela nafas. "Baiklah hanya kali ini."

Setelah memastikan Vano berbaring disampingnya, Diana kembali masuk ke dalam pelukan suaminya itu. Biarlah pria itu kaget dan menganggap dirinya aneh. Yang jelas malam ini ia hanya ingin tidur dengan nyenyak.

"Kenapa kau malah seenaknya, huh." ucap Vano, ingin mendorong wanita itu tapi entah kenapa ia tidak rela. "Karena aku berbaik hati, maka malam ini kau boleh memeluk ku sepanjang malam." batin Vano.

Tak lama kemudian suara dengkuran halus terdengar, Vano mengusap rambut Diana. Entah apa yang merasuki dirinya saat memperbolehkan wanita yang dulunya ia jauhi tidur di ranjang yang sama dengannya.

***

Diana melenguh lalu mengerjabkan matanya, ia melihat ke sekitar yang seketika membuatnya panik. Namun ia sadar jika tadi malam mendatangi Vano, tapi dimana pria itu sekarang?

Tak lama Vano keluar dari walk in closet dengan memakai kemeja putih dan kini sedang menatap datar Diana. "Aku harap kejadian semalam tidak terulang kembali."

Setelah mengatakan itu, Vano kembali ke walk in closet meninggalkan Diana yang sedang menggerutu. "Ck, dasar pria enggak punya hati. Semoga hari ini kau mengalami kesialan!"

Diana segera turun dari ranjang, ia akan kembali ke kamarnya sekarang. Namun saat membuka pintu ia bertemu dengan Jessika. "Wah sangat pas sekali ada pelakor ini." batin Diana sambil menyeringai.

Jessika mengepalkan tangannya, ia tidak suka melihat Diana yang keluar dari kamar Vano. Dirinya saja belum pernah masuk ke dalam kamar pria itu, tapi kini malah wanita jelek itu yang lebih dulu ketimbang dirinya. "Kau ngapain di kamar Vano?"

"Aku? tentu saja tidur disini." balas Diana angkuh.

Jessika tertawa lalu memasang wajah merendahkan. "Diana, aku harap kau tidak usah halu. Mana mungkin Vano mau tidur seranjang denganmu!"

Diana menggeram, ingin rasanya ia ceburkan sekretaris Vano itu ke dalam kolam yang ada ikan piranha-nya. "Untuk apa aku menghalu? Vano itu suamiku, sudah sewajarnya jika kami tidur seranjang. Yang menghalu itu kamu Jessika, menghalu menjadi nyonya Dirgantara. Tapi sayangnya aku tidak akan membiarkan itu terjadi."

Jessika ingin membalas, namun suara pintu terbuka mengurungkan niatnya. Dimana kini Vano memandang bingung antara kedua wanita itu. "Ada apa?"

"Tolong kau ajarkan sopan santun kepada sekretarismu itu, aku ini nyonya Dirgantara tapi dengan seenaknya dia memanggil namaku." balas Diana lalu segera pergi menuju kamarnya untuk membersihkan diri.

"Maafkan saya tuan, saya tidak bermaksud untuk tidak sopan kepada Dian- nyonya Diana. Saya pikir nyonya Diana menganggap saya sahabatnya, rupanya tidak."

Vano tidak menanggapi ucapan Jessika yang seakan menjelekkan Diana. "Ngapain kau berdiri di depan kamarku?"

"Ah itu, mama Desi menyuruh saya memanggil anda untuk sarapan."

"Lain kali kau tidak usah memanggilku."

"Tidak apa-apa tuan, saya tidak merasa repot." balas Jessika yang membuat Vano menghela nafas, padahal bukan itu maksudnya.

Kini semua orang sudah berkumpul dimeja makan, kecuali Diana. "Papah mau sarapan pakai apa?" tanya Desi.

"Tunggu sebentar lagi, Diana belum turun."

"Ck, ngapain harus nunggu wanita itu. Biarkan aja dia makan nanti!" marah Desi, namun ia tidak bisa membantah ucapan suaminya.

Lima menit kemudian Diana turun menggunakan celana bahan berwarna hitam dengan kemeja pink membuat kesan anggun pada dirinya. Di meja makan, Diana melihat jika Jessika duduk ditempat ia biasa duduk, yaitu di samping Vano. "Ck, gak nyerah-nyerah juga ni pelakor."

"Maaf aku terlambat."

"Tidak apa-apa nak, ayo sekarang kita sarapan." ucap Bima.

"Iya pah." balas Diana, lalu pandangannya menatap ke arah Jessika. "bisakah kau pindah, tempat yang kau duduki itu adalah tempatku."

Mereka semua segera menatap Diana dan Jessika bergantian. "Duduk aja di tempat yang kosong, mengapa kau merepotkan sekali." ketus Desi.

Diana tersenyum tipis. "Iya aku tau masih banyak tempat yang kosong, namun jika terus-terusan begitu takutnya dia akan mengambil posisiku yang lain, dan aku tidak bisa membiarkannya. Jadi Jessika, bisakah kau pindah?"

Jessika mengepalkan kedua tangannya, ia menatap benci Diana. Sekarang ia harus mengalah, namun ia akan membalas atas sikap kurang ajar wanita itu. "Enggak apa-apa mah, biar aku aja yang pindah."

"Terima kasih Jessika, aku harap kejadian ini tidak akan terulang kembali." balas Diana sambil meniru ucapan Vano tadi pagi.

Saat Jessika ingin mengambilkan Vano sarapan, Diana dengan segera mendahuluinya. "Nasi gorengnya mau pakai telur atau udang?"

"Udang."

Diana melirik Jessika yang tampak menahan marah, ah- sangat menyenangkan membuat wanita pelakor itu tidak bisa berbuat apa-apa. "Ini baru permulaan." batin Diana.

***

HAI AKU UPDATE LAGI "."

Jangan lupa vote dan koment ya, biar aku makin semangat.

Minggu, 11 Juni 2023.

Spam next disini






Transmigrasi Istri Tak DianggapWhere stories live. Discover now