Pengkhianat?

148K 9.4K 204
                                    


Vano melonggarkan dasi yang terasa mencekik lehernya, ia menatap Jessika yang duduk di depannya. Mereka tidak hanya pergi berdua, namun juga bertiga dengan Samuel. Tapi pria itu izin ke toilet.

"Hm, tuan sudah mengetahui jika investor kita mengadakan pesta?" tanya Jessika berbasa-basi, ia berharap di ajak Vano ke pesta itu.

"Saya tau."

Jessika berdehem sebentar. "Bagaimana jika saya yang menjadi pasangan tuan saat di pesta itu, saya tau jika tuan tidak bisa mengajak nyonya Diana. Jadi saya bersedia menemani tuan."

"Siapa bilang jika Diana tidak bisa?" balas Vano yang membuat Jessika terdiam sesaat.

"Tidak ada tuan, karena biasanya tuan tidak pernah mengajak nyonya Diana. Jadi saya pikir-"

"Mengajakmu?" potong Vano.

"Saya hanya ingin membantu tuan." jawab Jessika setelah berusaha mencari balasan yang tepat. 

Vano terkekeh sinis. "Saya tidak pernah memintamu untuk membantu saya Jessika. Apakah kau ingat jika pesta yang kita datangi bersama saat itu tidak bisa dibilang pesta, karena apa? semua itu bisnis Jessika."

Jessika meremas jarinya, Vano benar. Mereka tidak pernah datang ke pesta yang lebih santai, selalu saja tentang bisnis. 

"Tapi bukankah pesta kali ini juga bisnis tuan?"

Vano mengangguk. "Ya kau benar, pesta ini juga bisnis. Namun di sana banyak temanku yang akan datang, jadi aku tidak bisa membawamu."

Sebenarnya bukan karena temannya yang akan datang, ia juga tidak peduli dengan tanggapan teman-temannya. Alasan yang sebenarnya adalah karena ia tidak mau Jessika berharap lagi dengannya, sudah cukup ia hanya diam selama ini.

Saat Jessika ingin membalas, Samuel datang yang membuatnya mengurungkan niat. "Aku harus membujuk Diana agar tidak mau ikut ke pesta itu." ucap Jessika dalam hati. Ia masih percaya jika Diana masih berada dibawah genggamannya.

***

Diana berjalan menuju ruang kerja Vano, entah apa yang ingin dibicarakan pria itu dengannya. Tadi setelah makan malam pria itu memintanya untuk datang menemuinya.

Diana membuka pintu setelah dipersilahkan, di sana ia melihat Vano yang tampak serius menatap layar komputer.

"Ada apa memanggilku kemari?" tanya Diana setelah ia duduk di depan Vano.

"Kenapa kau berbohong?" bukannya menjawab pertanyaan, Vano malah balik bertanya.

"Berbohong apa maksudmu?"

Diana terkejut saat Vano memperlihatkan berita tentangnya. "Aku tidak tau jika bertemu dengan seorang teman sama dengan menjadi model." ucap Vano datar.

"Iya aku memang berbohong, tapi kau juga tidak bisa melarang ku melakukan apa yang ku mau!" balas Diana sengit.

"Termasuk bekerja?"

"Ya!"

"Apakah uang bulanan yang ku kasih kurang?" tanya Vano sinis.

Diana mengernyit bingung, uang bulanan apa yang dimaksud pria ini? Apakah Vano lupa jika pria itu sendiri yang tidak pernah memberikan dia uang bulanan.

"Ck, kau saja tidak pernah memberikan aku uang bulanan!"

"Tidak pernah kau bilang?"

"Ya! dari awal pernikahan sampai saat ini kau mana pernah memberikan aku uang."

Vano melepaskan kacamata yang ia pakai, pasti ada yang salah disini. Walaupun ia tidak suka dengan Diana, ia tetap memberikan wanita itu uang. Harga dirinya sebagai lelaki merasa tercoreng karena mengetahui jika wanita itu tidak pernah mendapatkan uang darinya.

"Aku selalu mengirimkan kau uang bulanan sebesar tiga puluh juta bahkan sejak awal pernikahan."

Diana berdecak, siapa yang sudah berani mengambil haknya. Lihat saja pelajaran apa yang akan ia berikan.

"Kalau kau memang memberikan aku uang setiap bulan, lalu uang itu siapa yang mengambil?"

"Saat itu aku menyuruh kepala koki untuk memberikan kartu kredit kepadamu. Tapi mengapa dia tidak memberikannya, bahkan sudah selama ini." geram Vano, ia paling benci dengan pengkhianat.

"Apa kepala koki yang mengambilnya?" tanya Diana.

"Entahlah, aku akan menyelidiki ini."

Mereka terdiam cukup lama. Diana melihat jam yang berada di dinding menunjukkan pukul sebelas malam.

"Jika tidak ada yang ingin kau katakan lagi, aku mau kembali ke kamar." ucap Diana lalu berdiri.

"Tunggu."

Diana menatap Vano, suaminya itu mengeluarkan undangan yang terlihat mewah. "Aku ingin kau menemaniku di pesta ini."

Diana meraih undangan itu dan melihat jika kurang dari seminggu lagi pesta itu diadakan. Tanpa banyak kata, Diana menerima ajakan suaminya itu.

Awalnya Vano terkejut saat Diana dengan gampangnya menyetujui ajakannya. Ia pikir akan ada sedikit drama pemaksaan, rupanya tidak. Baguslah, ia jadi tidak perlu membuang tenaga.

"Samuel akan memberikan mu nanti gaun."

"Baiklah, selamat malam suamiku."

Vano memegang dadanya yang berdetak cepat, apakah ia terkena penyakit jantung. Mengapa mendengar wanita itu memanggil dirinya suamiku membuat dadanya bergemuruh.

Menggelengkan kepalanya, ia tidak mungkin menyukai Diana. Lebih baik sekarang ia mencari tau bagaimana bisa uang yang seharusnya milik wanita itu malah diambil.

Vano mengambil ponselnya dan menghubungi kepala koki agar segera menemuinya. Ia tidak perduli jika hari sudah malam, karena ia tidak bisa membiarkan pengkhianat itu dengan enaknya memakan uang yang bukan miliknya.

Lima belas menit kemudian, kepala koki bernama Davidson itu sudah berdiri didepannya.

"Permisi tuan, ada apa memanggil saya?"

"Bisa kau jelaskan kenapa kartu kredit yang ku berikan kepada mu tidak kau berikan kepada Diana?" tanya Vano dingin.

"Maksud tuan, kartu kredit itu tidak pernah sampai kepada nyonya Diana?!" balas Davidson terkejut.

"Ya, dan kau tau aku sangat malu karena tidak pernah memberikan dia uang selama menikah denganku."

"Walaupun kau sudah lama bekerja di rumah ini, namun aku tidak akan mentolenrasi jika kau terbukti bersalah." lanjut Vano.

"Kartu itu tidak ada sama saya tuan. Tak lama saat tuan menyuruh saya memberikan kartu kredit itu kepada nyonya Diana, nyonya Desi mengambilnya dan mengatakan jika dia saja yang akan langsung memberikannya."

Vano mengeraskan rahangnya, jadi wanita tidak tau diri itu yang mengambilnya. "Kau yakin dengan yang kau katakan?"

"Saya yakin tuan, dan maaf saat itu saya tidak menolaknya." sesal Davidson.

Vano menghela nafas. "Baiklah, kau boleh pergi."

"Terima kasih tuan, dan sekali lagi saya minta maaf."

Menyandarkan tubuhnya, Vano memijat pangkal hidungnya. Padahal dirinya sudah cukup menahan selama ini, tapi kenapa wanita tidak tau diri itu masih berulah.

Vano terkekeh pelan, apakah sudah saatnya ia membalas mereka? Apakah mereka pikir dirinya ini benar-benar sudah menerima mereka?

Ia tidak akan pernah memaafkan mereka. Masih jelas di ingatannya bagaimana mamanya menderita karena kehadiran mereka.

Desi, sudah lama ia ingin menghancurkan wanita gila harta itu.
"Let's play the game." smirk Vano.

***

Gimana part ini?

Makasih yang udah mau vote dan komentar. Aku juga makin semangat karena di semangatin, hehehe.

Kalau vote dan komennya mencapai tiga ratus, aku bakalan update lagi malam Minggu.

See u 😊

Transmigrasi Istri Tak DianggapWhere stories live. Discover now