1. Pertemuan

38 3 0
                                    

Selalu ada kesan menyenangkan saat menjumpai pertemuan, terlebih jika dengan orang-orang tersayang.

"Huh!" Entah untuk ke berapa kalinya, embusan napas kasar lolos dari bibir Wening. Wajahnya tertekuk, sementara tangannya terlipat angkuh di dada.

Wening sedang kesal. Hari masih pagi, jarum pendek jam bahkan belum sempurna mencapai angka delapan. Namun, suasana hati Wening sudah sangat kacau. Itu semua disebabkan adiknya, Ragil.

Sejak lama bocah itu tak berhenti mengusik Wening. Awalnya dengan tiba-tiba menjajah kamarnya di tengah malam, ingin tidur bersama katanya. Tak cukup dua jam, tahu-tahu tubuh Wening sudah mencium lantai karena ditendang adiknya yang lasak.

Masuk waktu sahur, Ragil Lagi-lagi menguji kesabaran Wening. Dengan dramanya dia tidak mau makan masakan bunda mereka dan malah merengek minta dibuatkan makanan khusus oleh Wening, sehingga mau tidak mau Wening harus berkutat di dapur sampai baru bisa sahur di saat sudah sangat mepet waktu azan.

Barusan, di saat waktu mulai pagi dan matahari telah menampakkan diri, bocah itu dengan seenak jidatnya malah minta ditemani main bola. Sungguh menjengkelkan. Sepertinya bocah itu belum sadar bahwa saat puasa seharusnya dia menghemat energinya.

"Argh!" Wening menjambak rambut setelinganya. Mengingat aksi di luar nalar sang adik memang tidak akan ada habisnya.

Sepertinya jika tidak ingin puasanya batal, Wening memang harus pergi menghindarinya. Akan tetapi, Wening bingung, harus ke mana?

"Kak, ayo ngadu cupang!"

Dari posisinya yang rebahan di karpet ruang keluarga, Wening melihat pergerakan Ragil menuruni tanggal dari lantai dua sembari memegangi sebuah wadah.

Seketika Wening bangkit. Kasak-kusuk membenahi celana longgarnya lalu berlari. Begitu sampai di luar dia baru menyadari rambutnya belum tertutup, maka dengan acak dia ambil selembar kerudung instan berwarna abu-abu yang masih agak lembab di jemuran.

Sembari memasang sandal, Wening membisik pada sang bunda yang kebetulan sedang berkebun di sana. "Bunda, aku pergi, ya."

Bunda mendongak, memandang penuh tanya si sulung. "Ke mana?"

"Jalan-jalan!" balas Wening cepat tanpa balik menatap. Setelahnya dengan kekuatan penuh dia ngibrit. "Daah, Bunda!"

"Hati-hati di jalan! Jangan kelamaan!"

***

Wening baru menghentikan langkah cepatnya setelah melewati beberapa rumah tetangganya. Kini dia berada di persimpangan. Ada dua jalan yang membentang di hadapannya.

Wening dilema harus memilih yang mana. Dia agak linglung, kurang ingat ke mana saja tujuan dari arah-arah di hadapannya. Sudah cukup lama dia tidak menyusuri kampung halamannya. Sebab, sejak lulus SMA sampai sekarang, kuliahnya sudah akan memasuki semester tiga, dia tinggal di pusat kota tanpa pernah pulang sama sekali.

"Kiri-kanan, kiri-kanan." Untuk beberapa saat, kepala Wening bergerak bolak-balik. Setelahnya sembari mendengkus dia hendak memutar tubuh. "Balik saja ... lah."

Akan tetapi, pergerakannya terhenti ketika melihat sesuatu di sisi kanannya. "Itu ... Tifanny?" kecapnya tak yakin, dengan tatapan tertuju pada seorang gadis berbaju merah muda yang terlihat sebagian tubuh atasnya sedang berada di pekarangan rumahnya.

Wening menggosok-gosok mata, setelahnya dengan yakin berucap, "Bener, itu Tifanny. Samperin, deh."

Akhirnya Wening menuju ke sana. Awalnya dia bergerak setengah berlari, tetapi ketika sudah dekat, dia malah memaku di dekat rumpun tanaman yang tadi menghalangi pandangannya dari bagian bawah tubuh Tifanny.

Bola mata Wening melebar, mulutnya ternganga. "Kur-kursi roda?" ucapnya tak percaya ketika menyadari benda yang menopang tubuh teman kecilnya itu.

Entah karena suara Wening yang terlalu keras, atau memang takdir yang sudah mengharuskan mereka berinteraksi.

Tiba-tiba saja Tifanny menoleh. "Wening? Hei, ayo sini!" panggilnya dengan tangan terangkat melambai-lambai.

Bagia robot, Wening bergerak kaku untuk memangkas jarak. "Halo ... Tifanny!"

"Hai, assalamu'alaikum." Tifanny merentangkan tangan, seolah mengajak pelukan.

Wening membalas salam, kemudian mengingat kebiasaan mereka setiap bertemu dulu, dan akhirnya segera mencondongkan tubuhnya, menempel sejenak dengan badan Tifanny, yang dalam perasaan Wening terasa lebih ramping dari sebelah.

"Apa kabar?" Tifanny lagi-lagi bertanya lebih dulu, setelah pelukan mereka terurai dan dia menepuk kursi plastik yang kebetulan berada di sebelahnya.

"Baik." Wening mendudukkan diri dengan posisi menyerong, memandang intens Tifanny. "Kamu ... gimana?" tanyanya gamang.

Tifanny tersenyum amat lebar. "Alhamdulillah, luar biasa, aku juga baik."

Wening malah sekali lagi memindai raga Tifanny dari atas ke bawah. Melihat yang ada di depan matanya, Wening yakin bahwa Tifanny tidak baik-baik saja. Namun, dia juga segan jika seenaknya menanyakan kebenarannya, terlebih mereka sudah lama tak berkomunikasi. Wening khawatir melanggar privasi.

"Gimana kuliah kamu? Masih lanjut dari rumah?" Akhirnya Wening mengalihkan. Biarlah untuk sekarang dia redam dulu rasa penasarannya. Dia yakin seiring berjalannya waktu, semua akan terbuka.

"Alhamdulillah, masih. Itu memang aktivitas utamanya, belajar mandiri, di mana saja. Kalau versi aku ..., ya, di rumah, hehe." Tifanny terkekeh. Menceritakan bagaimana fleksibelnya aktivitas yang dilakoninya sebagai mahasiswa di sebuah universitas yang konsep belajarnya berbeda dari universitas konvensional kebanyakan. Dia memang sengaja memilih itu agar bisa tetap meraih pendidikan tinggi tanpa harus tinggal berjauhan dengan kakak laki-lakinya.

Wening membulatkan mulut. Mendengar renyahnya suara Tifanny membuatnya agak lega. Setidaknya itu mulai meruntuhkan kekhawatirannya. Kini dia mulai menggeser perkiraan, bahwa mungkin Tifanny baik-baik saja, terlepas dari keadaan raganya yang tidak lagi terlihat sempurna.

"Kalau kamu gimana? Di kota pasti seru, ya?" Tifanny membalik pertanyaan.

Wening menekan-nekan jempol tangan sendiri. "Ya ... gitu, kuliah langsung banyak nguras tenaga, apalagi yang kaitannya sama praktek. Duh, capek rasanya. Tapi ...." Ekspresi Wening berubah, dia mulai cengengesan. "Di sana banyak cogan dan tempat hiburan, jadi lumayan bisa cuci mata lah, hehe."

Tifanny menggeleng-geleng. "Ndak berubah kamu."

"Jelas!" tanggap Wening teramat cepat. Dia rasakan atmosfer mereka sudah mencair, jadi dia putuskan untuk bercanda saja. "Apalagi urusan hati, meski banyak cogan menggoda pandangan, perasaan aku tetap sama buat kakakmu seorang."

"Heh!" Tifanny memelotot. "Ndak akan aku biarin, ya, kamu mepet-mepet Kak Tio!"

Wening malah mengusapkan kedua telapak tangan ke muka. "Iya, iya, aamiin, adik ipar. Terima kasih untuk doanya agar aku bisa segera bersanding dengan kakakmu tersayang."

Tifanny pun berseru geram, dan akhirnya jadilah mereka saling menggoda. Sampai beberapa jam berlalu tanpa terasa karena asiknya mereka.

Wening melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan hampir tengah hari. Maka segeralah dia berdiri. "Aku pulang dulu, ya, tadi pamitnya ke Bunda nggak lama, takut beliau khawatir."

Tifanny mengangguk. "Iya, silakan. Terima kasih sudah mampir, ya. Nanti-nanti kamu ke sini lagi."

Wening mengangkat kedua jempol. "Sip, kamu pun nanti main ke rumahku, ya."

"InsyaAllah. Kita jalani Ramadhan ini bersama, ya. Bareng-bareng mengejar kebaikan."

Wening menelan ludah susah. Itu ... tidak ada dalam rencananya. Namun, dia segan untuk menolak. Jadi, haruskah dia menyepakatinya? Sebulan bersama dengan Tifanny?

~~~

Yuhu ... terima kasih sudah membaca🥰

Gimana kesannya untuk bab pembuka ini?

Salam hangat dari aku dan Kak toetikhdhyh_ 🤗

Mengejar LenteraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang